Publik setuju bahwa bantuan yang dibutuhkan kepada warga kota yang miskin saat pandemi ini adalah penyediaan lapangan pekerjaan dan bantuan modal usaha.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·5 menit baca
Kemiskinan masih menjadi masalah besar yang dihadapi kota-kota besar seperti Jakarta. Belum optimalnya penanganan oleh pemerintah daerah membuat kaum miskin kota masih tersebar luas. Mengatasi penyebab utama kemiskinan dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan akses modal usaha dinilai publik sebagai kunci memberantas warga miskin di kota.
Belum optimalnya penanganan kaum miskin kota tecermin dari hasil jajak pendapat Kompas 15-17 Juni 2021. Sebagian besar responden (69 persen) menilai kinerja pemerintah untuk mengatasi penanganan kemiskinan di perkotaan belum optimal. Penilaian publik ini tidak dapat dilepaskan dari pemandangan banyaknya penduduk miskin di kota-kota, termasuk DKI Jakarta.
Berdasarkan data BPS, pada September 2020 jumlah penduduk miskin perkotaan di Indonesia mencapai 12,04 juta jiwa. Jumlah tersebut naik dari Maret 2020, yaitu sebanyak 11,16 juta orang dan September 2019 sebanyak 9,86 juta jiwa.
Situasi pandemi Covid-19 yang menekan laju perekonomian membuat jumlah penduduk miskin di kota semakin banyak. Jumlah warga miskin kota pada September 2020 ini hampir sama dengan kondisi satu dekade lalu, yaitu sebesar 12,8 juta (2008).
Tidak hanya dalam aspek jumlah, tetapi juga proporsinya dalam angka kemiskinan nasional semakin meningkat. Pada 2008, sebanyak 36,5 persen dari total jumlah penduduk miskin nasional adalah warga kota. Persentasenya terus meningkat menjadi 39,8 persen pada 2019.
Melihat kondisi kemiskinan yang belum tertangani hingga kini, bahkan rentan bertambah parah saat situasi krisis, upaya pemberdayaan warga miskin kota harus lebih menjawab akar penyebabnya. Di mata publik, penyebab utama kemiskinan di kota adalah karena kurangnya lapangan pekerjaan. Penilaian ini disebutkan setidaknya oleh 51,7 persen responden jajak pendapat.
Selain minimnya lapangan kerja, ketiadaan modal usaha juga dinilai responden menjadi faktor penyebab langgengnya kemiskinan di perkotaan. Baik ketiadaan lapangan pekerjaan dan modal usaha menjadi gambaran perjuangan kaum miskin bertahan hidup di perkotaan.
Tanpa pekerjaan atau usaha yang pasti, pendapatan yang tak seberapa dihadapkan dengan biaya hidup yang tinggi di perkotaan. Ini mengakibatkan kaum miskin kota tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan layak. Sekalipun layanan pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum lainnya tersedia, banyak pula yang tidak dapat mengaksesnya.
Demikian pula dengan kualitas hunian. Permukiman padat cenderung kumuh tanpa akses air bersih serta sanitasi yang layak juga menjadi wajah kemiskinan di perkotaan, seperti DKI Jakarta. Kaum miskin Ibu Kota ini juga rentan terhadap bencana seperti banjir atau kebakaran di permukiman padat.
Ini belum terhitung mereka yang tidak memiliki tempat tinggal sehingga harus bermukim di bantaran sungai, kolong jembatan, bahkan gerobak. Dari sini terlihat, kompleksitas kemiskinan yang terjadi di perkotaan juga tidak dapat dilepaskan dari faktor ketimpangan dalam mendapatkan hak-hak hidup layak.
Sempitnya lapangan kerja
Kondisi tersebut kontras dengan gambaran ”gula-gula” ekonomi yang selama ini menarik para pendatang untuk mengadu nasib di Ibu Kota. Daya tarik kota besar seperti Jakarta dengan pembangunan masif dan aktivitas ekonomi yang tumbuh dianggap memberikan kesempatan hidup lebih baik dibandingkan dengan desa.
Karena itu, setiap tahunnya, orang berbondong-bondong pindah ke kota dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Pada 2019 saja, diperkirakan terdapat 71.000 pendatang saat arus balik Lebaran yang mencoba peruntungan di DKI Jakarta.
Jumlah ini belum ditambah para pendatang yang masuk ke Ibu Kota sebelum atau setelah arus balik Lebaran. Sektor pekerjaan yang ditawarkan kota, seperti bidang jasa, perdagangan, dan industri, dinilai lebih memberikan peluang penghidupan yang lebih baik.
Namun, seperti pendapat publik, mendapatkan pekerjaan di kota tidak mudah. Hal ini dapat terlihat dari tingginya tingkat pengangguran terbuka di kota dibandingkan dengan di desa. Pada 2019, tingkat pengangguran terbuka kota mencapai 6,29 persen, sedangkan di desa hanya 3,92 persen.
Padahal, tingginya tingkat pengangguran di kota ini sudah terekam dalam Survei Sakernas sejak 1976. Dalam periode 1976-1979, tingkat pengangguran terbuka kota mencapai 6,4 persen. Dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi, tingkat pengangguran terbuka kota tidak banyak berubah. Pada periode 2016-2019, persentasenya mencapai 6,53 persen.
Hal ini menunjukkan, problem sulitnya mencari pekerjaan menjadi problem laten perkotaan sejak dulu. Lapangan kerja di kota yang tersedia bagi pendatang acap kali berada pada sektor nonformal, seperti asisten rumah tangga, pengasuh, serta wirausaha.
Jika bekerja di sektor formal pun, publik berpendapat, kesempatan besar ada di pekerjaan kerah biru, seperti buruh pabrik dan kasir toko yang tidak memerlukan kualifikasi tinggi.
Dengan pekerjaan seperti itu, ketahanan ekonomi tidak dapat dijamin. Sebab, para pekerja informal dan kerah biru ini hanya mendapatkan upah rendah dengan hak-hak pekerja yang tidak terjamin. Akibatnya, mereka rentan terhadap guncangan eksternal, misalnya saat terjadi krisis ekonomi.
Perluas peluang kerja
Pandemi Covid-19 menjadi buktinya. Di saat perekonomian jatuh karena dampak pandemi, ketenagakerjaan pun kena imbasnya. Waktu dan upah kerja dipotong. Pekerja diberhentikan sementara dan bahkan terpaksa di-PHK.
Usaha-usaha kecil tidak berjalan karena pembatasan mobilitas dan aktivitas. Menurut publik (62,4 persen), imbas ini menambah dalam jurang kemiskinan di masa pandemi.
Dampak ini sangat terasa di kota, tidak hanya bagi pekerja informal, tetapi juga pekerja formal. Hingga Agustus 2020, lebih dari 450.000 pekerja formal di DKI Jakarta kehilangan pekerjaan. Kondisi ini membuat tingkat pengangguran terbuka DKI Jakarta meningkat 4,4 persen menjadi 10,95 persen dibandingkan dengan Agustus 2019.
Melihat situasi ini, publik setuju bahwa bantuan yang dibutuhkan saat ini kepada warga kota yang miskin adalah penyediaan lapangan pekerjaan dan bantuan modal usaha. Ini sejalan dengan pendapat publik bahwa kurangnya lapangan pekerjaanlah yang menyebabkan dominannya kemiskinan di kota.
Hal ini menyiratkan perhatian publik pada perlunya kepastian penghidupan warga miskin kota dalam jangka waktu panjang. Publik menyadari bahwa bantuan tunai bersifat sementara dan cepat habis. Pemberian akses pekerjaan dan modal usaha ini sekaligus memastikan hak-hak warga miskin perkotaan untuk mendapat pekerjaan dan menjalankan usaha terakomodasi dengan baik.
Sebagaimana bantuan Kartu Prakerja bagi pekerja korban PHK, bantuan kepada 12,8 juta pelaku usaha mikro, serta subsidi gaji bagi pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta, kaum miskin kota selayaknya juga mendapat porsi perhatian yang sama saat pandemi.
Apalagi, saat pandemi berakhir, diperkirakan terjadi gelombang urbanisasi besar-besaran. Jika tidak terkontrol, akan menambah parah kondisi kemiskinan kota. Di sisi lain, ini mengingatkan pentingnya mengatasi akar permasalahan kemiskinan kota yang juga bersumber dari ketimpangan antardaerah. (LITBANG KOMPAS)