Menilik Enam Dekade Penanganan Kemiskinan di DKI Jakarta
Untuk dapat menangani kemiskinan, perlu ada perubahan paradigma pembangunan dan program yang berpusat pada rakyat.
Kemiskinan merupakan persoalan yang lekat dengan kota metropolitan seperti Jakarta. Beragam bantuan dan program sudah diluncurkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tapi kemiskinan tak juga hilang dari Ibu Kota. Pengurangan beban pengeluaran warga miskin harus diimbangi dengan kebijakan pemberdayaan dan peningkatan produktivitas.
Di wilayah DKI Jakarta, keberadaan warga yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi masalah laten yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah. Pada 1999, terdapat 379,6 ribu orang penduduk miskin di DKI Jakarta atau 3,99 persen dari total populasi.
Kondisi sekarang tidak jauh berbeda dengan 23 tahun yang lalu, bahkan lebih banyak warga menjadi miskin akibat pandemi Covid-19. Penduduk miskin di Ibu Kota pada September 2020 sebanyak 496,8 ribu orang atau 4,69 persen dari total penduduk Jakarta. Data tersebut menunjukkan tantangan menahun yang dihadapi Ibu Kota dalam menangani masalah kemiskinan, terutama saat krisis seperti saat ini.
Potret kemiskinan di suatu wilayah dapat dilihat dengan menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi dari populasi. Badan Pusat Statistik memberikan definisi tentang penduduk miskin, yaitu mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada Maret 2020, garis kemiskinan yang digunakan adalah Rp 454.652 per kapita per bulan atau Rp 15.155 per hari.
Merujuk definisi dan indikator di atas, populasi orang miskin erat kaitannya dengan ketidakmampuan memenuhi standar hidup minimum. Tidak heran, jika salah satu program penanganan kemiskinan yang dilakukan pemerintah menyasar pada pengurangan beban pengeluaran warga miskin. Jejak kebijakan tersebut dapat dilihat dari berbagai program bantuan seperti di sektor kesehatan dan permukiman.
Sejak dulu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menginisiasi program untuk menjamin kesehatan masyarakat kalangan bawah. Bantuan yang diadakan pada 1966 berupa potongan biaya pembelian obat sebesar 40 persen untuk kelompok berpenghasilan rendah. Dana bantuan diperoleh dari donasi kelompok usaha farmasi DKI Jakarta.
Jaminan kesehatan lainnya berupa program perawatan orang telantar yang ditemukan di tempat umum dalam kondisi sakit ataupun meninggal. Bantuan yang diluncurkan pada 15 Maret 1969 ini didasari realitas Ibu Kota yang kala itu terdapat banyak gelandangan dengan kondisi sakit, bahkan meninggal dunia karena tidak mampu berobat.
Gubernur Ali Sadikin yang menjabat ketika itu mengamanatkan kepada seluruh warganya apabila menjumpai orang sakit yang telantar untuk segera menghubungi Palang Merah Indonesia (PMI). Warga telantar tersebut kemudian akan dibawa ke RS Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk dilakukan perawatan. Apabila ditemukan dalam kondisi tak bernyawa, warga segera menghubungi polisi dan Palang Hitam, kemudian dimakamkan secara layak.
Masih soal bantuan kesehatan, pada 1975 dibuat ketentuan bahwa rumah sakit di seluruh wilayah Jakarta wajib mengalokasikan seperempat kapasitas tempat tidurnya bagi orang yang tidak mampu. Model pembiayaannya diserahkan kepada setiap kebijakan rumah sakit. Kebanyakan menggunakan skenario subsidi silang dengan mengambil dana dari biaya perawatan ruang VIP.
Corak pemberdayaan
Bentuk-bentuk bantuan untuk mengentaskan warga dari kemiskinan terus berkembang sesuai kebutuhan dan kondisi masyarakat. Aspek kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar yang tergolong darurat dan harus ditangani secara cepat dan efisien. Maka pendekatan yang dilakukan adalah memberi bantuan secara langsung.
Pada tataran yang lebih tinggi, uluran tangan dari pemerintah bukan berupa pemberian semata, melainkan dalam bentuk ajakan supaya kaum miskin Jakarta dapat berdaya dan mandiri sehingga mentas dari kondisi terpuruk. Corak kebijakan ”memberi ikan” pada era 1970-an mulai dikombinasikan dengan metode ”memberi kail”.
Salah satunya adalah Proyek Kampoong Improvement Program (KIP) atau program perbaikan kampung melalui Proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT). Awalnya, program yang diajukan oleh Pemprov DKI Jakarta ini tidak mendapat dukungan dari DPRD DKI Jakarta.
Perdebatan kala itu bersumber dari perbedaan cara pandang mengenai konsep penanganan kemiskinan bercorak partisipatif yang belum banyak dikenal.
Setelah melalui beragam upaya, akhirnya tercapai kesepakatan bahwa program didanai sebagian dari APBD dan separuhnya lagi dari pinjaman Bank Dunia (Kompas, 12/1/1988). Tujuan proyek ini untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup masyarakat miskin sehingga lebih sehat dan produktif yang muaranya menuju kesejahteraan warga.
Bantuan model berikutnya berupa dana pinjaman bergilir yang dikemas dalam program Bantuan Asistensi Keluarga (BAK). Program yang diperkenalkan pada 1975 ini dikelola oleh Pembinaan Kegiatan Kesejahteraan Keluarga dan Anak (PK3A) di tiap kelurahan. Melalui pendampingan yang berkesinambungan, periode perdana program ini mampu meningkatkan taraf hidup 123 keluarga berpenghasilan minim.
Pada masa awal program, bantuan disalurkan kepada 10 kelurahan dengan rincian dana sejumlah Rp 200.000 untuk tiap kelurahan. Sebagai perbandingan, harga 1 liter beras kualitas menengah saat itu Rp 75. Artinya, dana bantuan per kelurahan tersebut setara dengan 2,3 ton beras.
Dana diperuntukkan sebagai dana pinjaman untuk membuka usaha dan uang yang dikembalikan akan dipinjamkan lagi kepada yang membutuhkan. Model bantuan partisipatif ini dinilai berhasil. Pada tahun anggaran selanjutnya, diperluas jangkauannya menjadi 25 kelurahan dengan target 500 keluarga.
Terpaan krisis
Model bantuan berbasis komunitas atau individu terus bergulir hingga memasuki era 1990-an. Program Pengentasan Kemiskinan terus berpacu dengan jumlah warga yang belum sejahtera. Pada 1994, ada sekitar 400.000 sampai 500.000 penduduk DKI Jakarta yang tergolong dalam kategori penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Salah fenomena yang muncul adalah semakin banyak anak jalanan dan pedagang asongan yang berkelana di Jakarta (Kompas 21/6/1994).
Melihat kondisi ini, Pemprov DKI Jakarta merespons dengan menggelar Operasi Esok Penuh Harapan (OEPH) yang bertujuan melakukan pembinaan kepada pedagang asongan. Salah satu caranya dengan membantu mengatur keberadaan dan memberi rompi khusus sebagai penanda pedagang asongan.
Upaya penanganan kaum miskin Jakarta juga dilakukan pemerintah pusat. Bantuan disalurkan melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) berupa dana hibah untuk desa yang digunakan sebagai modal kerja masyarakat miskin.
Walau Jakarta merupakan perkotaan, warga kalangan menengah bawah di wilayah ini tercakup program IDT. Skenarionya serupa dengan BAK yang sudah ada sebelumnya, hanya berbeda dari pihak pemberi bantuan. Program yang dilaksanakan pada 1994 ini mendistribusikan bantuan kepada 2.500 keluarga miskin.
Situasi krisis ekonomi 1997/1998 mengakibatkan lesunya perekonomian nasional yang diikuti penutupan sejumlah bank dan dunia usaha. Akibatnya, terjadi lonjakan pengangguran dan kemiskinan termasuk di Jakarta.
Kajian Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan (2008) dari BPS DKI Jakarta mencatat tingkat pengangguran terus bertambah. Jika pada 1997 pengangguran terbuka 10,94 persen, jumlahnya meningkat menjadi 15,01 persen pada 1999. Demikian pula dengan polulasi warga miskin. Jumlah penduduk miskin pada 1999 sebanyak 379,6 ribu meningkat menjadi 416,1 ribu pada 2000.
Berbagai kebijakan dijalankan pemerintah pusat untuk menekan dampak krisis moneter bagi masyarakat Indonesia melalui program jaring pengaman sosial. Secara umum, pelaksanaan program tersebut dikelompokkan dalam empat program, yaitu Ketahanan Pangan, Padat Karya, Perlindungan Sosial, serta Pengembangan Industri Kecil dan Menengah.
Untuk sektor perlindungan sosial, pemerintah mengalokasikan dana Rp 17,25 triliun pada 1998/1999. Dari anggaran itu, sektor tenaga kerja menerima alokasi Rp 1,01 triliun bagi program padat karya.
Program jaring pengaman sosial terus berlanjut pada tahun anggaran 1999/2000. Pemerintah mengalokasikan dana jaring pengaman sosial dan pemberdayaan masyarakat sebesar Rp 3,45 triliun. Sasarannya, antara lain, kelompok masyarakat yang kesulitan memperoleh lapangan kerja dan kesempatan berusaha.
Upaya khusus meredam dampak krisis di Ibu Kota, Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan supaya pejabat di lingkungan pemprov menyerahkan sebagian gajinya untuk dikumpulkan sebagai dana bantuan bagi warga miskin.
Soal pangan pun mencuat sebagai salah satu kekhawatiran. Akibat huru-hara dan krisis ekonomi, muncul risiko krisis pangan di Jakarta. Melihat hal ini, Pemprv DKI Jakarta membangun pusat cadangan logistik di wilayah Kebon Jeruk dan Paseban.
Era reformasi
Pascakrisis ekonomi pemulihan ekonomi berjalan setahap demi setahap. Upaya penanganan kemiskinan pada titik ini didominasi oleh corak perlindungan sosial. Bantuan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gardu Taskin) dilaksanakan mulai tahun 2000 pada masa Gubernur Sutiyoso dengan sumber pendanaan dari APBD.
Bentuk bantuan langsung pada awal tahun 2000-an semakin banyak digelar, utamanya oleh pemerintah pusat. Sedikitnya ada tiga jenis bantuan langsung yang diberikan dari anggaran APBN. Salah satunya adalah program beras untuk keluarga miskin (raskin) pada 2003.
Kemudian ada kartu kompenasi BBM yang diberlakukan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Selain itu, ada juga bantuan langsung tunai (BLT). Kedua program ini dijalankan mulai tahun 2005.
Di lingkup provinsi, bentuk jaring pengaman sosial lainnya berupa program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) pada 2003. Program ini dilaksanakan atas kerja sama dengan 109 rumah sakit di DKI Jakarta. Fasilitas dasar dalam bidang kesehatan menjadi perhatian sentral dalam linimasa upaya mengentaskan penduduk dari kemiskinan. Hingga kini, program serupa terus diperbarui melalui Kartu Jakarta Sehat (KJS).
Upaya terkini
Upaya penanganan kemiskinan terus dilakukan hingga saat ini. Beberapa waktu terakhir, sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Pemprov DKI Jakarta mengupayakan penataan kantong-kantong miskin dengan merelokasi ke rumah susun sewa (rusunawa).
Strategi lain yang diupayakan selanjutnya adalah dengan melakukan penataan kampung kumuh lewat program Community Action Plan. Dalam perencanaannya, warga akan didampingi oleh konsultan tata ruang dalam memperbaiki lingkungan tempat tinggal mereka.
Jalan panjang penanganan kemiskinan di Jakarta sekarang ini menghadapi tantangan perekonomian yang masih dalam masa pemulihan akibat pandemi Covid-19. Walaupun begitu, Pemprov DKI masih memberikan perhatian bagi kaum miskin kota.
Bentuk-bentuk bantuan langsung kembali digelontorkan sebagai jaring pengaman pandemi. Pada 2021, program Bantuan Sosial Tunai senilai Rp 300.000 per bulan masih diberikan Pemprov DKI Jakarta dari Januari-April 2021. RAPBD DKI Jakarta 2021 juga memberikan tambahan alokasi penanganan fakir miskin dan perlindungan sosial.
Lebih dari enam dekade kebijakan dan program diluncurkan Pemprov DKI untuk mengatasi kemiskinan di Ibu Kota. Apabila dirunut secara historis kebijakan, sampai titik ini ada pola siklus program Pengentasan Kemiskinan yang dijalankan.
Ragam model program yang ditawarkan dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu jaring pengaman sosial, perbaikan lingkungan tempat tinggal, serta program partisipatif atau pemberdayaan komunitas dan individu warga.
Untuk menjawab kompleksitas kemiskinan, tiga corak model penanganan kemiskinan harus terus dilaksanakan secara berkesinambungan dan selaras. Pasalnya, kemiskinan terjadi sedikitnya akibat tiga faktor. Penyebab pertama terjadi karena penduduk miskin hanya sedikit memiliki harta atau sumber daya untuk bertahan hidup.
Faktor yang kedua disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia yang rendah sehingga tidak produktif dan sulit mencari penghidupan atau bekerja dengan upah rendah. Apabila keterampilan sumber daya manusia memadahi, diperlukan akses terhadap modal supaya dapat berdaya, ini menjadi faktor yang ketiga.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kondisi kemiskinan antarkelompok atau setiap individu berbeda-beda. Maka, membutuhkan penanganan yang beragam dan bekesinambungan.
Di luar tiga pertimbangan tersebut, upaya dasar menyapa kaum miskin Jakarta juga harus berpegang pada paradigma penduduk miskin sebagai aktor. Merujuk pada konsep penanganan kemiskinan yang disusun oleh Guru Besar Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo Yulianto Kadji pada makalah Kemiskinan dan Konsep Teoritisnya (2012) disebutkan bahwa untuk dapat menangani kemiskinan perlu adanya perubahan paradigma pembangunan dan program yang berpusat pada rakyat.
Baca juga : Mereka Tak Hanya Butuh Bansos
Ini artinya, pembangunan yang dijalankan harus menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan atau sebagai aktor yang berperan aktif. Melalui skema pemberdayaan yang mengikutsertakan kaum miskin, kelompok rentan, dan para penganggur, program Pengentasan Kemiskinan dapat dijalankan secara maksimal.
Keberhasilan program Bantuan Asistensi Keluarga (BAK) yang dilakukan di kelurahan-kelurahan pada 1975 yang mampu meningkatkan taraf hidup 123 keluarga miskin dapat dikembangkan untuk mengatasi kemiskinan kota sekaligus menekan tingkat pengangguran dan ketimpangan pendapatan masyarakat Jakarta. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Berselubung Cat Perak dan Berbaju Boneka Mengakali Pandemi