Menimbang Pilihan Jurusan dan Masa Depan Dunia Kerja
Memilih jurusan atau program studi di perguruan tinggi tidak cukup hanya melihat potensi, minat, dan bakat, tetapi juga perlu mempertimbangkan persaingan peminat dan prospeknya dalam dunia kerja.
Memilih jurusan atau program studi di perguruan tinggi bagi calon mahasiswa baru bukan perkara mudah. Tidak cukup hanya melihat potensi, minat, dan bakat tetapi juga perlu mempertimbangkan persaingan peminat dan prospeknya dalam dunia kerja masa depan.
Hasil penerimaan mahasiswa baru lewat jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang diumumkan pada 14 Juni lalu menunjukkan, jumlah pendaftar yang lolos masuk 85 PTN mencapai 184.942 orang atau 23,8 persen dari total pendaftar (777.858).
Meski jumlah ini terbanyak dibanding tahun-tahun sebelumnya, tetapi persentasenya cenderung tak berubah dalam tiga tahun terakhir saat Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) pertama kali diselenggarakan pada tahun 2019.
Berdasarkan data peserta yang diterima dengan nilai tertinggi, pilihan program studi (prodi) favorit tak banyak bergeser dari tahun-tahun sebelumnya. Di bidang sosial humaniora (soshum), peserta masih tersebar di prodi favorit, seperti hukum, manajemen, psikologi, komunikasi, akuntansi, dan hubungan internasional. Adapun prodi bidang sains teknologi (saintek) yang paling diminati ialah teknik kimia, pendidikan dokter, teknik elektro, dan aktuaria.
Meski jaman dan peta ketenagakerjaan sudah berubah akibat perkembangan teknologi yang semakin canggih, namun tak membuat perubahan yang signifikan pada prodi yang dipilih. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi masa depan pekerja Indonesia.
Tantangan Pekerjaan Industri 4.0
McKinsey dalam laporannya berjudul \'Otomasi dan masa depan pekerja Indonesia: Pekerjaan yang hilang, muncul dan berubah\' pada 2019 lalu memprediksi tahun 2030 akan ada 23 juta pekerjaan yang hilang karena digantikan otomasi. Terutama pekerjaan-pekerjaan yang bersifat repetisi atau berulang-ulang.
Namun demikian, pada saat Indonesia mencapai bonus demografi tahun 2030 tersebut juga diprediksi akan muncul 27 juta hingga 46 juta lapangan kerja baru yang dapat diciptakan. Dimana 10 juta dari lapangan kerja tersebut merupakan jenis pekerjaan baru yang tidak ada sebelumnya.
Hilangnya sejumlah pekerjaan dan munculnya pekerjaan baru di masa datang tak lepas dari perubahan yang sangat cepat dalam perubahan industri, yang kini sudah memasuki era revolusi industri keempat (Revolusi Industri 4.0).
Era dimana kecanggihan teknologi kecerdasan buatan dan mekanika memungkinkan robot menggusur manusia di banyak bidang pekerjaan. Isu ini sebenarnya sudah mulai mengemuka dalam Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, 20-23 Januari 2016.
Industri 4.0 menggambarkan tren yang berkembang menuju otomasi dan pertukaran data dalam teknologi dan proses dalam industri. Paling tidak ada tiga tren yang akan berkembang pada era transformasi digital ini.
Pertama, teknologi benda-benda canggih, seperti kendaraan otonom, percetakan tiga dimensi, robot canggih, dan material baru yang lebih baik. Kedua, tren digital yang diwakili dengan makin multigunanya penggunaan internet untuk berbagai kebutuhan atau sering disebut dengan Internet of Things (IoT). Ketiga, teknologi di bidang biologi untuk penyembuhan penyakit, rekayasa genetik, dan lainnya.
Melihat tren yang berkembang di era revolusi industri 4.0 tersebut, mencari pekerjaan akan menjadi semakin ketat dan penuh persaingan karena banyak pekerjaan saat ini maupun di masa depan yang membutuhkan keterampilan baru yang relevan dengan perkembangan zaman.
Oleh karena itu bagi generasi Z sebagai calon mahasiswa saat ini diharapkan bisa memilih jurusan kuliah yang tepat dan mendukung agar nantinya bisa menyesuaikan dengan situasi zaman.
Apalagi generasi Z bisa dibilang sebagai generasi yang tidak pernah mengenal kehidupan tanpa teknologi dan mahir tentang hal digital, sehingga terkadang disebut sebagai i-gen.
Program Studi Kekinian
Saat tantangan menghadang di depan bersifat kompleks dan tak ringan, SDM yang berkemampuan dan kompeten sangat dibutuhkan. Mengantisipasi laju transformasi digital ini, perguruan tinggi di Indonesia sebagai Kawah Candradimuka, tempat “menggodok” generasi penerus bangsa agar siap terjun ke dalam dunia kerja, melakukan penyesuaian. Diantaranya sejumlah perguruan tinggi merespon dengan membuka prodi baru yang mensupport kebutuhan era 4.0.
Dari laman resmi Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (ltmpt.ac.id), sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sejak 2018 tercatat telah membuka beberapa prodi baru. Misalnya, prodi Bisnis Digital telah dibuka di 4 PTN (Universitas Negeri Medan, Universitas Padjajaran (UNPAD), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Negeri Makassar).
Kemudian prodi Akturia yang peluang kariernya semakin terbuka sudah ada di 7 PTN yaitu UNPAD, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Brawijaya, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), dan Universitas Hasanuddin (UNHAS).
Di bidang kesehatan, prodi Teknik Biomedis juga sudah dibuka dan menarik banyak peminat di paling tidak 5 PTN (Universitas Andalas (UNAND), Universitas Airlangga (UNAIR), UI, UGM, dan ITS). Sementara prodi Bioteknologi ada di Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Malang.
Prodi Desain Komunikasi Visual telah hadir di Universitas Negeri Padang, UPI, ITS, dan Universitas Negeri Makassar. Namun Prodi Sains Data yang melahirkan profesi Data Scientist sebagai profesi yang paling dibutuhkan di berbagai industri, baru ada di IPB dan UNAIR.
Bahkan beberapa prodi baru di buka di satu PTN seperti prodi Animasi di Universitas Negeri Padang dan Pendidikan Teknik Otomasi dan Robotika di UPI. Sementara Prodi Rekayasa Nanoteknologi serta Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan baru ada di UNAIR Surabaya.
Baca juga : Kampus Merdeka Dorong Perguruan Tinggi untuk Fleksibel
Dari sisi peminat tampak antusiasme yang besar dari calon-calon mahasiswa untuk mengisi bangku di prodi-prodi baru dan kekinian tersebut. Namun sayang persebarannya belum merata. Di Sumatera hanya ada di UNAND, Universitas Negeri Padang, dan Universitas Negeri Medan. Sementara di Indonesia Timur baru tersedia di UNHAS dan Universitas Negeri Makassar.
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) mencatat, tahun 2020 dari 36.592 program studi di 4.582 PT sebanyak 55,99 persen program studi telah bekerja sama dengan mitra kelas dunia, meski program studi berstandar internasional rerata capaiannya baru 5,66 persen. Sementara rerata capaian lulusan mendapat pekerjaan yang layak sebesar 55,62 persen.
Dengan semakin banyak prodi-prodi baru yang di buka diharapkan semakin meningkatkan lulusan yang mendapat pekerjaan layak bahkan melahirkan SDM yang handal untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan yang berprospek cerah dan bergengsi saat ini dan masa datang. Seperti pekerjaan di bidang kecerdasan buatan atau artificial intelligence dan saintis data. Mengingat permintaan data sains hingga analis data terbilang tinggi.
Demikian pula di bidang kesehatan, tak hanya dokter yang dibutuhkan. Prodi Teknik Biomedis bisa mengisi kebutuhan tersebut. Perkembangan teknologi di bidang kesehatan membutuhkan keahlian Biologi dan teknologi dan inovasi-inovasi dari jurusan ini. Di negara-negara maju, Teknik Biomedik merupakan jurusan kuliah yang menjanjikan dan sangat menghasilkan.
Baca juga : Program Studi Favorit Belum Banyak Berubah
Kompas melaporkan masih adanya kekurangan tenaga kerja yang cukup besar, misalnya kebutuhan talenta digital bidang kecerdasan buatan, mahadata, dan keamanan siber, mencapai 600.000 orang per tahun. Kebutuhan tenaga kerja bidang logistik hingga aktuaria juga tinggi karena industrinya tumbuh pesat. (Kompas, 14 Juni 2021)
Peluang dan tantangan tersebut hendaknya segera direspon institusi perguruan tinggi untuk membuka prodi-prodi baru. Apalagi pemerintah telah mendukung melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2020 tentang kebijakan Kampus Merdeka, dimana terdapat poin yang memperbolehkan perguruan tinggi membuat prodi baru untuk menjawab tantangan di masa depan. (LITBANG KOMPAS)