Kejayaan Kerajaan Majapahit juga diikuti oleh terbitnya peraturan terkait hukum pidana yang menjadi pedoman kehidupan masyarakat saat itu. Aturan ini bernama Kutaramanawadharmacastra atau yang juga disebut sebagai Kitab Perundang-undangan Agama.
Menurut catatan sejarawan Slamet Muljana dalam buku Perundang-undangan Madjapahit (1967), tak ada catatan pasti terkait waktu pembuatan hukum pidana ini. Namun, berdasarkan beberapa bukti, dapat disimpulkan bahwa kitab perundang-undangan yang ditemukan dalam bahasa Jawa kuno ini dari Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Prabu Radjasanagara.
Salah satu bukti yang menguatkan bahwa aturan ini berasal dari Kerajaan Majapahit tercantum dalam Kidung Sorandaka. Dikisahkan, Demung Sora, seorang menteri dari Majapahit, dikenakan hukuman mati berdasarkan ketentuan astadusta karena membunuh Mahisa Anabrang. Astadusta adalah salah satu bagian dari kitab perundang-undangan saat itu yang mengatur tentang hukuman bagi tindakan pembunuhan.
Secara keseluruhan, kitab hukum pidana ini terdiri dari 19 bagian yang mengatur beragam aspek kehidupan. Selain pembunuhan yang terangkum dalam bagian astadusta, juga terdapat aturan tentang jual beli, utang piutang, perkawinan, hingga pegadaian.

Baca juga: Ekskavasi Lanjutan Sempurnakan Kenampakan Kompleks Situs Kumitir
Tanpa pandang bulu
Jika menilik dari setiap pasal, aturan ini tampak dibuat sedemikian rupa tanpa adanya keberpihakan berdasarkan jabatan atau kedudukan di tengah-tengah masyarakat. Setiap lapisan masyarakat hingga pejabat sekalipun harus siap dihukum hingga ancaman maksimal hukuman mati jika melakukan sejumlah kejahatan dan pelanggaran.
Hal ini salah satunya terekam dalam Pasal 6 di bagian kedua tentang astadusta. Dalam bagian ini, seorang pejabat kerajaan dapat dikenai hukuman mati jika ia terbukti melakukan pencurian atau corah. Bahkan, jika pejabat tersebut terbunuh karena perbuatannya, pembunuh itu tidak akan digugat. Pasalnya, pembunuh tersebut dinilai telah memberikan hukuman kepada pejabat yang melakukan pencurian.
Kasus pencurian oleh para pejabat, jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, juga dapat dipahami sebagai korupsi. Artinya, pada era Kerajaan Majapahit, tidak ada toleransi sekecil apa pun bagi pejabat yang melakukan kejahatan, terutama mencuri.
Hukuman tanpa pandang bulu juga tergambar pada Pasal 11 pada bagian astadusta. Cendekiawan, guru, hingga kaum lansia tetap dikenakan hukuman mati jika melakukan kesalahan. Bahkan, kaum Brahmana, yang begitu dihormati sebagai tokoh agama, juga tak luput dari ancaman hukuman mati.
Ada enam kesalahan yang dapat menyebabkan hukuman mati bagi para tokoh hingga kaum lansia pada zaman itu. Keenam kesalahan ini disebut sebagai tatayi, yakni membakar rumah orang dan rumah raja yang berkuasa, meracuni sesama manusia, mengamuk, menenung atau mencelakai seseorang dengan ilmu hitam, fitnah raja yang berkuasa, dan merusak kehormatan perempuan.
Kerajaan Majapahit saat itu begitu tegas mengatur persoalan ini untuk menciptakan tertib sosial di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, raja yang memerintah juga dilarang untuk menghindari atau menolak pemberian hukuman bagi siapapun jika menemukan jenis kesalahan yang telah tertulis dalam kitab hukum pidana saat itu.
Kondisi ini menggambarkan bahwa pada masa Kerajaan Majapahit telah terdapat kesadaran yang begitu tinggi untuk membuat sebuah aturan bagi setiap lapisan masyarakat. Prinsip yang digunakan dalam pembuatan aturan ini mulai memperhatikan asas kesamaan di depan hukum. Meskipun berdiri sebagai kerajaan Hindu yang semestinya begitu kental dengan strata, tak ada pembeda antara pejabat kerajaan dan masyarakat biasa dalam aturan hukum.
Bahkan, dalam kitab hukum pidana ini hanya terdapat empat jenis hukum pidana pokok yang berlaku bagi semua kalangan, yakni hukuman mati, potong bagian tubuh yang bersalah, denda, dan ganti rugi. Selain itu, juga terdapat pidana tambahan, yakni tebusan, penyitaan, dan uang pembeli obat. Tak ada pidana penjara dan kurungan sehingga para pelaku kejahatan, termasuk para pejabat, harus menanggung risiko secara langsung jika melakukan tindak kejahatan ataupun pelanggaran.

Baca juga: Preman: Dari Pialang Kuasa hingga Tertib Sosial
Persoalan lingkungan
Selain memperhatikan asas kesamaan di depan hukum, peraturan pidana di Kerajaan Majapahit juga mengatur berbagai hal secara lebih rinci. Dalam bidang lingkungan, misalnya, orang-orang yang hidup di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, terutama di sekitar pusat kerajaan, dilarang untuk menebang pohon tanpa izin pemiliknya.
Dalam Pasal 92 bagian sahasa atau paksaan disebutkan, jika tindakan ini dilakukan pada malam hari, maka pelaku akan dikenakan hukuman mati. Sementara jika dtindakan ini dilakukan pada siang hari, maka pelaku wajib mengembalikan pohon yang ditebang sebanyak dua kali lipat.
Artinya, setiap orang pada masa itu tidak serta-merta dapat menebang pohon sebelum menemukan dan meminta izin secara langsung kepada pemiliknya. Aturan ini sekaligus dapat menjaga kelestarian lingkungan dan menjaga perkebunan penduduk dari pencurian.
Aturan lainnya terkait lingkungan juga terdapat pada pasal yang mengatur tentang pencurian palawija dan buah-buahan. Saking pentingnya hasil perkebunan ini, pelakunya bahkan dapat terjerat hukuman mati jika terbukti melakukan aksinya pada malam hari. Sementara jika tertangkap tangan atau terbukti melakukan kegiatan pada siang hari, maka hasil pencurian yang diperoleh harus dikembalikan hingga tiga kali lipat.
Aturan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan adalah larangan untuk berburu di hutan tertutup. Bagi setiap pemburu, hukuman harus diberikan terlepas dari berhasil atau tidaknya memperoleh hasil buruan.
Jika berhasil mendapatkan hewan buruan, maka pemburu tersebut wajib membayar denda dan hewan buruan harus dikembalikan sebanyak dua kali lipat dari jumlah yang ditangkap. Walakin, jika tidak berhasil memperoleh hewan buruan, maka pemburu tersebut hanya diwajibkan untuk membayar denda.

Baca juga: Situs Kumitir Singkap Jejak Istana Singgah Bangsawan Majapahit
Persoalan sosial
Selain lingkungan, ragam persoalan sosial lainnya juga turut diatur dalam kitab hukum pidana era Kerajaan Majapahit. Persoalan utang makanan, misalnya, seseorang yang berutang, jika tidak mampu membayar dengan cara bekerja, maka ia tetap dikenakan kewajiban untuk membayar senilai harga makanan yang dimakan. Dalam aturan ini, tidak ada bunga atau biaya tambahan yang harus dibayarkan oleh orang berutang selain nilai pokok dari utang yang dimiliki.
Persoalan pencurian hingga pembunuhan juga menjadi fokus yang tak kalah penting. Hukuman mati bahkan menjadi ancaman yang menanti bagi siapa pun yang mencuri atau mengajak dan menyuruh orang lain mencuri.
Hukuman tak kalah tegas juga diterapkan bagi pembunuh dan orang-orang di sekitarnya. Bahkan, bagi orang yang bersahabat dengan pembunuh, tetapi tidak mengetahui bahwa sahabatnya adalah seorang pembunuh, maka akan dikenakan hukuman denda. Artinya, saat itu setiap orang dituntut untuk melakukan kontrol sosial yang dimulai dari orang-orang terdekat.
Persoalan sosial lainnya yang juga menjadi sorotan adalah tentang perselingkuhan. Hal ini diatur secara rinci pada setiap tindakan. Naik ke tempat tidur orang lain tanpa izin, misalnya, maka akan dikenakan hukuman denda.
Hukuman yang lebih berat dikenakan bagi laki-laki yang berani memegang perempuan yang telah bersuami. Ancaman hukumannya adalah potong tangan dan diusir dari desa. Aturan ini diterapkan agar orang tersebut mudah dikenali sebagai pelaku perselingkuhan.
Hukuman terberat diberikan bagi laki-laki yang berselingkuh dengan perempuan yang telah bersuami. Jika terbukti, maka hukuman mati akan diberikan tanpa pandang bulu. Tegasnya hukuman yang diberikan menggambarkan bahwa persoalan ini bukanlah hal sepele karena dapat merusak moral dan tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Secara keseluruhan, kitab hukum pidana pada era Kerajaan Majapahit adalah cermin bahwa Indonesia mampu membuat dan pernah memiliki konsep aturan sesuai kondisi kehidupan masyarakat. Hal ini tentu dapat menjadi gambaran dan cermin bagi Indonesia yang masih berjuang untuk merumuskan konsep hukum pidana setelah menggunakan warisan kolonial sepanjang usia kemerdekaan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?