Covid-19 Menantang Kualitas Capres Gubernur
Kemampuan setiap gubernur dalam menangani pandemi Covid-19 di daerahnya harus menjadi rujukan rekomendasi kepemimpinan. Sayangnya, hingga saat ini belum terlihat yang mumpuni.
Ujian kualitas kepemimpinan sesungguhnya bagi para gubernur yang berniat maju dalam persaingan Pemilu Presiden 2024 tidak hanya besaran elektabilitas saja. Kemampuan setiap gubernur dalam menangani pandemi Covid-19 di daerahnya harus menjadi rujukan.
Bersandar pada ukuran elektabilitas sosok kepala daerah, yang dihasilkan dari suatu pengukuran opini masyarakat (calon pemilih), mengandung berbagai kelemahan, di antaranya elektabilitas yang didasarkan pada persepsi individu itu tidak selalu merujuk pada kualitas kemampuan sosok personal sesungguhnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam banyak kasus, justru sisi tampilan dominan menjadi sandaran penilaian elektabilitas. Begitu pula sisi di luar individu yang tidak terkait dengan kualitas kepemimpinan dirinya, seperti latar belakang suku, keturunan, derajat keagamaan dan keimanan (religiusitas), hingga penguasaan harta kekayaan menjadi acuan. Semuanya ini secara sistematis ditunjukkan dengan harapan menarik perhatian masyarakat.
Model penilaian semacam inilah yang kerap menyertai setiap ajang pemilu. Itulah mengapa, dalam persiapan pemilu, setiap calon pemimpin tertarik mendongkrak citra dirinya. Parahnya, segenap perhatian ditujukan pada berbagai personal branding, mencoba merekonstruksi tampilan sesuai keinginan khalayak. Selanjutnya, memanfaatkan seoptimal mungkin means of communication yang berkait langsung dengan kehidupan khalayak. Dalam kondisi semacam itu, nilai-nilai otentisitas kepemimpinan sosok menjadi kabur.
Pada Pemilu 2024, sepatutnya ”kegenitan” politik semacam ini sepatutnya tidak lagi menjadi sandaran. Pengalaman sudah cukup menunjukkan, pemimpin yang tidak otentik, apalagi dibesarkan lantaran konstruksi citra diri, tidak banyak menyisakan kemanfaatan publik. Jejak kehadirannya sekilas saja, tidak kekal berbekas. Tidak tampak kenangan dan kerinduan pasca-kepemimpinannya. Apa yang dihasilkan, justru meninggalkan beban.
Kini saatnya, ukuran-ukuran kualitas kepemimpinan yang berbasis kompetensi sosok harus ditempatkan sebagai sandaran utama. Namun, yang menjadi persoalan standar acuan apa yang patut digunakan?
Khusus bagi para kepala daerah, gubernur, yang kini menjadi rujukan para pendukung untuk mencalonkan diri sebagai presiden, saat ini tidak sulit menentukannya. Sesungguhnya, pandemi Covid-19 dapat menjadi ukuran riil terhadap seberapa tinggi kualitas kepemimpinan para kepala daerah. Terdapat beberapa alasan menguatkan hal ini.
Pertama, dari sisi derajat kualitas ancaman. Covid-19 yang muncul secara tiba-tiba telah menyebar di setiap wilayah Indonesia dan telah menjadi ancaman paling serius saat ini. Selain berkait dengan ancaman kesehatan jiwa penduduk, juga berkaitan langsung dengan segenap aktivitas kehidupan lainnya, seperti kehidupan sosial dan ekonomi warga di setiap wilayah.
Dalam pandemi Covid-19, pemerintah pusat punya kendali besar dalam menanganinya. Namun, pada saat yang sama, besaran ancaman pandemi Covid-19 itu menguji langsung perhatian dan kepiawaian para kepala daerah dalam mencegah penyebaran kasus, penanganan kasus, ataupun besaran korban yang ditimbulkan.
Sudah barang tentu, semakin berdaya kualitas kepemimpinan para kepala daerah, semakin tanggap menghadapi pandemi. Idealnya, akan semakin kecil risiko dari ancaman yang terjadi di wilayahnya. Begitu juga kondisi sebaliknya, semakin besar dampak terjadi semakin kurang berdaya kepala daerah. Berkaitan dengan indikator ini, ukuran-ukuran terkait dengan besaran kasus terkonfirmasi positif, jumlah dan besaran proporsi kasus sembuh, hingga angka kematian akibat Covid-19 layak digunakan.
Semakin berdaya kualitas kepemimpinan para kepala daerah, semakin tanggap menghadapi pandemi.
Pada sisi yang terkait, akan menjadi semakin nyata jika keseriusan ancaman pandemi tampak dalam besaran dampak yang terjadi pada aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Setahun lebih berhadapan dengan pandemi, secara langsung sudah memengaruhi sisi kesejahteraan masyarakat. Indikator-indikator sosial dan ekonomi daerah sepanjang tahun 2020 dapat menunjukkan dampak pandemi pada setiap daerah. Indikator tersebut sekaligus menunjukkan kemampuan daerah, dalam kepemimpinan gubernurnya, mengatasi situasi krisis yang menerjang.
Kedua, dari sisi dimensi waktu. Semenjak pandemi-Covid 19 dinyatakan, hingga kini telah lebih dari setahun terlalui. Kasus-kasus Covid-19 nyatanya masih bermunculan. Bahkan, gelombang ancaman kasus diprediksikan masih terjadi. Semuanya menunjukkan jika pandemi tidak berakhir dalam waktu singkat. Praktis, pertarungan mengatasi pandemi berjalan dalam dimensi waktu yang panjang dan masih belum jelas pula kapan berakhirnya.
Perjalanan kasus, semenjak awal pandemi, kini, bahkan ke depan nanti, sejatinya menjadi rekaman perjalanan kepemimpinan para gubernur dalam menghadapi ancaman di daerah kekuasaannya. Dalam rekam jejak tersebut, kualitas kepemimpinan yang ditunjukkan dapat ditelusuri, dengan membandingkan perbedaan-perbedaan tindakan pencegahan dan penanganan kasus dari satu daerah dengan daerah yang lainnya.
Dengan kedua pertimbangan di atas, terbilang cukup akurat menilai sosok kepemimpinan gubernur. Persoalannya kini, seberapa jauh prestasi kinerja para gubernur dalam menangani pandemi selama ini?
Membandingkan kondisi Covid-19 pada enam provinsi di Pulau Jawa setidaknya cukup menggambarkan bagaimana keberdayaan setiap daerah dalam mencegah penyebaran dan penanganan korban selama ini.
Dari segi jumlah penduduk, Jawa Barat merupakan provinsi terbanyak. Sekitar 48 juta jiwa atau 17,9 persen dari total penduduk Indonesia bermukim di provinsi yang dipimpin Gubernur Ridwan Kamil. Berdasarkan data Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), sejak kasus awal hingga pencatatan 13 Juni 2021, sebanyak 328.940 kasus positif Covid-19 terkonfirmasi. Jumlah sebesar itu masih di bawah 1 persen dari total penduduknya. Namun, dari total kasus nasional, kasus di Jawa Barat berkontribusi hingga 21,5 persen.
Kondisi sejenis terjadi di DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di DKI Jakarta, kondisi relatif lebih parah. Dengan proporsi penduduk hanya 3,9 persen dari total nasional, tetapi daerah Ibu Kota negara yang dipimpin Gubernur Anies Rasyid Baswedan ini justru mencatatkan jumlah kasus Covid-19 terbesar. Sejauh ini, jumlahnya sudah 4,2 persen dari total penduduk DKI Jakarta. Terbilang di atas rata-rata nasional (0,6 persen). Begitu pula, jumlah kasus di DKI menyumbang hingga 29,3 persen dari total kasus nasional.
Jawa Tengah yang dikendalikan Gubernur Ganjar Pranowo masih terbilang proporsional. Dengan proporsi penduduk 13,5 persen dari total nasional, per 13 Juni 2021 tercatat 215.684 kasus. Artinya, 0,7 persen dari total penduduk. Dari sisi sumbangan kasus secara nasional, Jawa Tengah menyumbang hingga 14,1 persen dari total kasus Covid-19 nasional.
Sementara di wilayah kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono X, dengan proporsi penduduk hanya 1,4 persen dari total penduduk nasional, tercatat 48.751 kasus terkonfirmasi. Sebesar 1, 3 persen penduduk terjangkit Covid-19. Tergolong di atas rata-rata kasus per penduduk nasional. Dengan jumlah tersebut, dari seluruh kasus nasional, Daerah Istimewa Yogyakarta menyumbang 3,2 persen.
Di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur dan Banten yang terbilang lebih kecil proporsi penderita Covid-19 dibandingkan dengan proporsi penduduk ataupun kontribusi terhadap total kasus nasional. Khusus Jawa Timur, misalnya, provinsi yang dipimpin Khofifah Indar Parawansa ini proporsi kasus per jumlah penduduk sebesar 0,4 persen, masih di bawah rata-rata nasional (0,6 persen). Dengan proporsi penduduk 15 persen dari total nasional, Jawa Timur menyumbangkan 10,4 persen kasus dari seluruh jumlah kasus Covid-19 nasional.
Apa yang terjadi di Provinsi Banten relatif lebih rendah. Di wilayah kepemimpinan Wahidin Halim itu tercatat 51.201 kasus positif yang berarti 0,4 persen dari total penduduk. Hanya 4 kasus positif dari setiap 1.000 jumlah penduduk. Kontribusi kasus di Banten terhadap total kasus nasional sekitar 3,3 persen.
Semua catatan jumlah kasus terkonfirmasi positif yang berbeda-beda di setiap provinsi ini sebenarnya dapat menggambarkan bagaimana kemampuan daerah, lebih khusus dalam kepemimpinan gubernurnya, dalam pencegahan penyebaran ataupun perluasan Covid-19. Terkait hal ini, kepemimpinan Anies, Ridwan, dan Ganjar, tiga sosok yang paling mendapatkan dukungan signifikan dalam survei elektabilitas, secara berturut dapat dipersoalkan kinerjanya, khususnya dalam pencegahan penyebarluasan kasus Covid-19. Selain memberikan sumbangan kasus terbesar, proporsi jumlah kasus terhadap penduduk di ketiga wilayah tersebut sudah berada di atas rata-rata nasional.
Justru sebaliknya, di wilayah yang para pemimpinnya sejauh ini belum masuk dalam radar elektabilitas calon presiden, seperti Jawa Timur dan Banten, mencatatkan kinerja yang relatif di bawah rata-rata nasional.
Apabila di sisi pencegahan, khususnya terkait penyebarluasan kasus, kapasitas kualitas setiap gubernur dipersoalkan, tidak berarti di sisi penanganan kasus setiap daerah juga problematik. Indikator tingkat kesembuhan dan angka kematian pada setiap daerah dapat menuturkan bagaimana kualitas penanganan korban yang berlangsung.
Dari indikator tingkat kesembuhan, Jawa Barat dan DKI Jakarta relatif lebih baik dari rata-rata nasional. Di DKI Jakarta, misalnya, proporsi kesembuhan tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa. Sebesar 94,4 persen penderita dinyatakan sembuh. Angka kematian tercatat hanya 1,7 persen dari total kasus. Sementara Jawa Barat tercatat 91,9 persen sembuh dan angka kematian sebesar 1,3 persen. Pada kedua provinsi ini dapat disimpulkan kualitas penanganan kasus Covid-19 masih lebih baik dari kondisi rata-rata nasional.
Dari keenam provinsi yang dikaji, Jawa Tengah tampak lebih problematik. Provinsi ini menjadi yang terendah dalam catatan proporsi kesembuhan kasus. Sejauh ini, terbilang 86,7 persen tingkat kesembuhan. Begitu pula dalam angka kematian, sebesar 4,5 persen, berada di atas rata-rata nasional. Berdasarkan catatan ini, Covid-19 di Jawa Tengah masih bermasalah dari sisi pencegahan dan penanganan. Bisa jadi kasus Covid-19 yang tengah menerjang Kudus dan wilayah sekitarnya menjadi gambaran dari problem yang dihadapi.
Selain Jawa Tengah, Jawa Timur menjadi provinsi yang tergolong problematik dalam penanganan kasus yang tengah terjadi. Fakta yang paling menonjol tampak pada angka kematian. Saat ini, proporsi korban kematian di Jawa Timur paling tinggi, 7,4 persen, jauh di atas tingkat kematian nasional (2,8 persen). Kendati upaya pencegahan di provinsi ini tergolong lebih baik, dari sisi penanganan korban justru menjadi yang terburuk.
Belum terlihat korelasi positif antara derajat kualitas penanganan Covid-19 suatu daerah dan derajat keterpilihan (elektabilitas) para kepala daerah.
Semua catatan penanganan Covid-19 yang terpaparkan ini menjadi fakta empirik kemampuan setiap wilayah menghadapi bencana pandemi. Tampaknya, sejauh ini masih belum terlihat korelasi yang positif antara derajat kualitas penanganan Covid-19, baik pencegahan maupun penanganan kasus, di suatu daerah dan derajat keterpilihan (elektabilitas) para kepala daerah tersebut sebagai sosok calon presiden dukungan masyarakat.
Apabila kondisi semacam ini tidak juga membaik jelang Pemilu 2024, jangan berharap elektabilitas calon presiden para gubernur terdongkrak. Apa hebatnya? (LITBANG KOMPAS)