Penyakit Kecacingan Terabaikan di Tengah Pandemi
Penyakit infeksi cacing tanah (STH) ternyata masih menjadi beban besar bagi sejumlah negara.
Selain masih dianggap sepele, penyakit kecacingan juga masih kerap terabaikan penanggulangannya. Perilaku hidup bersih dan diagnosa yang lebih cermat menjadi hal yang tidak boleh dilalaikan.
Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Penyakit infeksi akibat cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga seringkali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan.
Pandemi membuat sejumlah penanggulangan penyakit lain harus ‘menunggu giliran’. Jauh sebelum Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia WHO mengelompokkan sejumlah penyakit yang disebut penyakit tropis terabaikan atau Neglected Tropical Diseases (NTD). Penggolongan itu menjadi semacam simbol tentang kemiskinan dan stigma yang melilit sejumlah masyarakat miskin yang hidupnya terpinggirkan.
Ada 20 penyakit yang dikategorikan NTD. Lima di antaranya terjadi di Indonesia, yaitu kusta, filariasis (kaki gajah), frambusia (patek, puru), skistosomiasis (demam siput), dan cacingan (soil transmitted helminthiasis, STH).
Penyakit infeksi cacing tanah (STH) ternyata masih menjadi beban besar bagi sejumlah negara. Secara global, hingga 2019 sekitar 820 juta penduduk terinfeksi penyakit ini. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) penyakit terabaikan ini menyebabkan lebih dari 500 ribu kematian setiap tahunnya.
Begitu pula untuk Indonesia. Sampai dengan tahun 2018, angka prevalensinya sangat bervariasi, dari 2,5 persen hingga 60-an persen, namun bisa juga lebih. Laporan tentang “Neglected Tropical Disease in Indonesia” (Fauziyah et.al, 2021) menyatakan, kasus STH di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) pernah mencapai 91 persen di tahun 2019.
Dampak penyakit
Dari sisi sejarah, pemberantasan penyakit ini sebetulnya sudah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda. Secara nasional, upaya ini dilakukan mulai tahun 1975 namun terealisasi per tahun 1979. Program ini sempat terhenti pada tahun 1984-1989, namun berlanjut lagi di tahun 1989.
Meski sudah berlangsung lama, penyakit ini tetap saja dipandang enteng. Menurut Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, penyakit kecacingan masih sering dianggap sepele karena akibatnya tidak terlihat langsung. Padahal, dampak jangka panjangnya menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi penderita dan keluarganya.
Sejumlah studi tentang kecacingan umumnya menjelaskan, penyakit ini banyak terjadi pada wilayah beriklim tropis, dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah, tingginya kepadatan penduduk, dan rendahnya pengetahuan tentang sanitasi serta higiene.
Iklim tropis memang menjadi lahan subur bagi berkembang biaknya cacing. Jenis (cacing) yang menjadi penyebabnya adalah, cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing kremi (enterobiasis). Penularan biasanya terjadi dari tangan ke mulut melalui telur (cacing) matang yang tertelan, maupun akibat memakan buah atau sayur yang terkontaminasi.
Tjandra Yoga, yang juga mantan Direktur WHO Asia Tenggara ini mencontohkan, cacing tambang mengisap 0,2 mL darah, atau cacing gelang mengisap 0,14 gram karbohidrat dan 0,035 gram protein. Sepintas angka ini kecil. Tetapi, kalau dikalkulasikan dengan jumlah penduduk, prevalensi, rata-rata jumlah cacing yang mencapai 6 ekor per orang, dan potensi kerugian akibat kehilangan karbohidrat, protein, dan darah, akan menjadi sangat besar.
Penyakit ini menyerang segala umur, tetapi umumnya lebih pada anak-anak. Infeksi parasit ini mengganggu status gizi, prestasi dan produktivitas anak. Mulai dari kehilangan zat besi dan protein, anemia, gangguan penyerapan (malabsorpsi) nutrisi pada usus, hilangnya nafsu makan, disentri, malas belajar, hingga turunnya IQ. Pada ibu hamil kecacingan juga bisa mengganggu persalinan dan berat badan lahir rendah (BBLR) pada bayi.
Upaya pemerintah dalam hal ini, salah satunya adalah melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Cacingan. Intinya, penanggulangan dilakukan melalui pemberian obat massal, peningkatan higiene sanitasi, dan pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui promosi kesehatan
Soal pencegahan, terbagi dalam dua tahapan. Untuk jangka pendek, dilakukan kemoterapi. Biasanya ini dilakukan pada mereka yang tinggal di wilayah endemisitas tinggi, kelompok prevalensi infeksi tinggi, maupun berdasarkan intensitas infeksi sebelumnya. Untuk jangka panjang, biasanya berupa perbaikan sanitasi dan tempat pembuangan feses, menghentikan pemakaian kotoran manusia sebagai pupuk, dan penyuluhan.
Manifestasi klinis
Selama masa pandemi, penanganan kecacingan seharusnya tetap berjalan dengan baik. Sebagai wilayah yang masih mengalami prevalensi yang tinggi, ketersediaan data mendasar rupanya masih belum ideal.
Menurut Yulia Sari dkk (Edukasi PPHBS di Boyolali, Jurnal Abdidas, 2020), data terkait masalah pemberantasan cacing kebanyakan berupa sejumlah studi terpisah yang belum diintegrasikan oleh pemerintah. Akibatnya banyak daerah yang belum memiliki data yang jelas terkait dengan jumah kejadian infeksi tersebut.
Di sisi lain, kondisi klinis penyakit kecacingan ternyata juga memiliki sejumlah kemiripan dengan Covid-19. Menurut Reqgi First Trasia, dalam “Covid-19 dan Koinfeksi Penyakit Parasit (Medica Hospitalia, Agustus 2020) manifestasi klinis yang terjadi pada kasus Covid-19, seperti demam, batuk, diare, muntah, sakit kepala, mialgia (nyeri otot), dan kelelahan, cenderung sama dengan cacingan, terutama di daerah endemik.
Begitu pula dengan adanya risiko infeksi bersamaan (koinfeksi, atau infeksi simultan), seharusnya tetap harus menjadi perhatian karena terlalu membebani layanan kesehatan dan kemungkinan pula kelangkaan sumber daya.
Selain manifestasi tersebut, interaksi yang kompleks antara cacing dan hospes (tempat parasit hidup dan berkembang) menghasilkan efek sistemik pada kekebalan tubuh. Hal ini tidak lepas dari kadar sitokin (atau protein yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh). Dalam kasus Covid-19, dikenal istilah badai sitokin atau reaksi berlebihan sistem kekebalan tubuh.
Pasien dengan Covid-19 biasanya disebut memiliki respons tipe 2, atau terdapat peningkatan kadar sitokin tipe 2 IL-4 dan 16 IL-10. Dalam konteks imunopatologi SARS dan Covid-19, keterlibatan respons tipe itu menjadi hal yang mengkhawatirkan jika dikaitkan dengan efek potensial koinfeksi cacing. Dengan kata lain, koinfeksi cacing bisa mempengaruhi tingkat keparahan infeksi virus pada manusia.
Penyakit ini menyerang segala umur, tetapi umumnya lebih pada anak-anak
Laporan yang diterbitkan Medica Hospitalia pada Agustus 2020 tersebut menegaskan, koinfeksi kecacingan bisa menurunkan respon imunitas di saat meningkatnya viral load (tingkat replikasi virus dalam tubuh). Dampak anemia yang sering muncul dalam cacingan juga bisa menyebabkan kondisi yang lebih berat pada anak-anak dan wanita hamil.
Tingginya prevalensi kecacingan di sejumlah daerah tak lepas dari kondisi iklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi, serta keadaan sanitasi dan higiene yang buruk. Hal ini bisa dilihat dari masih tingginya persentase rumah tangga yang membuang air limbah ke saluran air (got, selokan atau sungai).
Baca juga: Mengetahui Manfaat Delima, Buah yang Kini Naik Pamor
Begitu pula dengan proporsi penanganan tinja balita di perkotaan maupun perdesaan. Data dari Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, sekitar 30 persen rumah tangga di perkotaan maupun perdesaan masih membuang tinja balita secara sembarangan.
Penanggulangan kecacingan di tengah pandemi memang tak mudah. Covid-19 bisa dibilang masih ‘mengancam’, atau memperlambat, penanganan. Pandemi yang belum selesai sampai sekarang sudah banyak berdampak pada keamanan kesehatan, ekonomi dan kondisi para nakes, dan semua ini mempengaruhi akses terhadap layanan kesehatan di negara-negara ekonomi menengah dan bawah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Penyakit Merugikan yang Sering Terabaikan