Ganjar Diganjar Bonus ”Ketersingkiran” Politik
Fenomena lonjakan dukungan Ganjar tampaknya tidak terlepaskan dari proses “eksklusi” politik yang menyertai keberadaannya sebulan terakhir. Eksklusi merujuk suatu bentuk “penyingkiran” politik, baik sengaja atau tidak.
Menjadi semakin menarik jika mengamati dinamika preferensi publik terhadap calon presiden sebulan terakhir ini. Pasalnya, meskipun Pemilu Presiden 2024 relatif masih jauh, gerak persaingan antarsosok yang menjadi referensi calon presiden semakin kompetitif. Pada papan atas dukungan publik, terindikasi kecenderungan perubahan posisi, sejalan dengan peningkatan popularitas Ganjar Pranowo.
Hasil survei bertajuk ”Partai Politik dan Calon Presiden: Sikap Pemilih Pasca Dua Tahun Pemilu 2019” yang diselenggarakan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), menegaskan perubahan tersebut. Survei nasional yang dilakukan 21-28 Mei 2021 lalu, mengungkapkan, jika pemilu presiden dilakukan saat ini, Prabowo Subianto meraih dukungan terbesar. Ia mampu mengumpulkan 21,5 persen pendukung. Posisi dukungan terbesar berikutnya, diduduki Ganjar Pranowo (12,6 persen), Anies Baswedan (12 persen), dan beberapa sosok lain, seperti Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Basuki Tjahaja Purnama, Agus Harimurti Yudhoyono, Tri Rismahartini, yang meraih dukungan di bawah 5 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Apabila dibandingkan dengan hasil berbagai survei periode sebelumnya, SMRC mengungkapkan, sejak enam tahun lalu dukungan terhadap Prabowo tergolong stagnan, berkisar di proporsi 20 persen. Sementara sosok Anies, Ganjar, dan Ridwan yang mengalami kemajuan berarti sejak 2020. Namun, diungkapkan pula, dalam dua tahun setelah Pemilu 2019, yang mengalami kemajuan signifikan hanya Ganjar. Pada 2021 ini saja, hasil survei SMRC pada Maret menunjukkan elektabilitas Ganjar sebesar 8,8 persen. Survei terakhir di bulan Mei 2021 melesat menjadi 12,6 persen. Periode survei yang sama, menunjukkan dinamika keterpilihan Anies dan Ridwan yang tidak sekuat Ganjar.
Melengkapi dinamika perubahan preferensi publik yang terjadi, survei periodik Kompas dapat disandingkan. Secara metodologi, kedua survei relatif sama dengan variasi dalam bentuk pertanyaan. Dimensi waktu pelaksanaan saja yang membedakan. Dengan perbedaan waktu, kedua survei semakin melengkapi dalam memahami dinamika yang berkembang. Rentetan survei sejak Januari hingga Mei, menegaskan jika kenaikan paling mencolok pada Ganjar terjadi sebulan terakhir ini, antara April 2021 (survei Kompas) dan Mei 2021 (Survei SMRC). Lonjakan semacam ini tidak terjadi pada para pendukung calon presiden lainnya (Grafik 1).
Pertanyaannya, mengapa sebulan terakhir ini terjadi lonjakan peningkatan sangat signifikan pada Ganjar dan tidak pada sosok lainnya?
Apabila yang menjadi rujukan penyebab lonjakan peningkatan dukungan lantaran pertimbangan kinerja Ganjar dalam kapasitas sebagai kepala daerah, agak sulit membenarkannya. Pasalnya, praktis dalam sebulan terakhir, tidak tampak suatu perubahan kondisi akibat kinerja kepemimpinan yang ia torehkan. Kepuasan masyarakat Jawa Tengah terhadap kinerja Ganjar, dapat saja tinggi. Begitu pula, sebagai sosok gubernur, tidak banyak resistensi yang dihadapinya. Namun, jika kepuasan sebulan terakhir ini terbilang menjadi pendongkrak keterpilihan dalam skala peningkatan sedemikian besar, masih teragukan.
Jawaban paling memungkinkan terkait fenomena lonjakan dukungan Ganjar tampaknya tidak terlepaskan dari proses ”eksklusi” politik yang menyertai keberadaannya sebulan terakhir. Eksklusi merujuk pada suatu bentuk ”penyingkiran” politik yang terjadi secara sengaja ataupun tidak sengaja pada Ganjar akhir-akhir ini.
Bermula dari rapat penguatan soliditas PDI-P menuju Pemilu 2024 yang digelar Sabtu (22/5/2021) di Kantor DPD DPI-P Jawa Tengah. Konsolidasi kader partai itu sejatinya menghadirkan seluruh kader struktural, baik legislatif maupun eksekutif. Kendati sebagai kader PDI-P dan gubernur Jawa Tengah, Ganjar tidak diundang. Ketua DPP PDI-P Bidang Pemenangan Pemilu Bambang Wuryanto mengatakan khusus Ganjar memang dikecualikan. Ia beralasan, langkah Ganjar dianggap berseberangan dalam pencapresan PDI-P. ”Tidak diundang! wis kemajon. Yen kowe pinter, ojo keminter,” ungkap Bambang Wuryanto kepada wartawan saat itu.
Sejak komentar Bambang Wuryanto, diskursus kepresidenan Ganjar terkuak. Di satu sisi, Ganjar dianggap terlalu berambisi menjadi presiden. Ia sudah diingatkan berkali-kali dan dianggap tidak menganggap suara Ketua DPD PDI-P. Pada sisi yang lain, saat yang bersamaan, Puan Maharani, Ketua DPR dalam pidato pembukaan pelaksanaan rapat penguatan soliditas kader partai itu, menyinggung kebiasaan bermedia sosial ketimbang kerja nyata, yang ditafsirkan banyak kalangan ”serangan politik” terhadap Ganjar. Maklum saja, Puan Maharani yang juga banyak disebut-sebut sebagai calon PDI-P dalam Pilpres 2024 itu, kalah pamor dalam setiap survei preferensi.
Sejak 22 Mei itu, polemik Ganjar mencuat. Ia menjadi sosok yang banyak dibicarakan. Media sedemikian gencar menguak konflik, sementara Ganjar tidak banyak berkomentar dalam menanggapi eksklusi politik yang ia hadapi. Sehari sebelumnya, Ganjar didapati berkunjung ke rumah Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri. Secara simbolik, tampaknya ia mau menunjukkan sekaligus menegasikan bobot eksklusi politik yang ia alami.
Mengaitkan dengan proses ”penyingkiran” politik dan peningkatan elektabilitas Ganjar, yang berlangsung secara bersamaan, dapat dipandang sebagai suatu alasan relasi sebab-akibat yang paling dapat diterima. Dibandingkan dengan alasan peningkatan elektabilitas karena kinerja Ganjar, kasus eksklusi politik inilah yang menjadi alasan peningkatan popularitas. Terlebih, dalam kultur politik negeri yang kuat dengan sisi emosionalitas ini, kerap kali aspek ketersingkiran politik justru mengundang balik simpati publik terhadap korban politik.
Berbagai pengalaman politik masa lalu menguatkan sisi semacam ini. Sebagai contoh, peningkatan popularitas Susilo Bambang Yudhoyono, menjelang pencalonannya sebagai presiden pada 2004, tidak lepas dari sisi ”penyingkiran” politik semacam ini. Yudhoyono, saat itu merupakan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam kabinet pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Popularitas Yudhoyono saat itu tengah beranjak naik. Ia sudah banyak dirujuk sebagai calon presiden pada saat pemilihan presiden tidak langsung. Ketika ambisi politik mencalonkan diri sebagai presiden mulai terbaca, dengan sendirinya akan berhadapan dengan Presiden Megawati yang berniat melanjutkan jabatan kepresidenannya dalam Pemilu 2004, eksklusi politik ia hadapi.
Dalam berbagai kegiatan kabinet terkait dengan politik dan keamanan, sebagai Menko Polkam, ia jarang dilibatkan. Yudhoyono berupaya mempersoalkan eksistensi dirinya kepada Megawati. Persoalan ”ketersingkiran” Yudhoyono sontak menjadi pemberitaan luas media. Menjadi semakin luas lagi, tatkala Taufik Kiemas, suami Presiden Megawati, menyebut Yudhoyono kekanak-kanakan (1/3/2004). Hampir dua minggu berpolemik, 11 Maret 2004, Yudhoyono memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam.
Hasilnya, semua proses penyingkiran politik yang dialami justru semakin meningkatkan popularitas Yudhoyono. Simpati publik tertuju padanya. Selanjutnya, memilih berpasangan dengan Jusuf Kalla dalam Pemilu 2004, dengan elektabilitas yang tinggi, ia menyingkirkan karier politik kepresidenan Megawati.
Dibandingkan dengan kasus penyingkiran politik Yudhoyono yang justru membawa keuntungan politik, persoalan Ganjar tentu belum sedramatis itu. Apalagi jika dikaitkan dengan proses pemilu yang masih terbilang panjang. Tidak seperti yang dialami Yudhoyono, bertepatan dengan momentum menjelang Pemilu 2004. Kendati demikian, sekadar memberikan kejutan peningkatan popularitas ataupun dukungan, yang terjadi pada Ganjar jelas sudah menguntungkan posisi politiknya.
Adanya peristiwa ”ketersingkiran” politik tersebut memperkuat posisi keterpilihan Ganjar yang memang tengah beranjak naik. Dengan kenaikan elektabilitasnya, peluang Ganjar dalam memperluas basis dukungannya semakin nyata. Setidaknya, peningkatan elektabilitas mulai menutup sebagian celah dukungan yang selama ini belum mampu ia wujudkan.
Hanya, persoalan selanjutnya, apakah simpati politik yang ia dapatkan itu dapat bertahan hingga dua tahun ke depan? Masih serba kabur. Pada masa mendatang, persaingan internal kader partai dapat saja semakin menekan posisi politik Ganjar. Kekuatan partai, apalagi PDI-P, sebagai sarana pencalonan presiden terbilang sangat kuat. Sementara Ganjar hanyalah seorang kader politik yang tidak memiliki ruang privilese berlebih.
Namun, di tengah tekanan semacam itu, dapat pula posisi elektabilitasnya semakin meningkat. Hanya, lagi-lagi simpati publik yang menjadi juru selamat peningkatan dukungan. Bersandar pada model dukungan simpati ketertindasan semacam itu, cenderung meninggalkan esensi persaingan politik rasional yang didasarkan pada keunggulan kualitas kepemimpinan personal.
Dengan kondisi yang kini tengah ia hadapi, semua strategi berpulang pada kepiawaian Ganjar. Guna menjaga keberlangsungan peningkatan elektabilitasnya hingga dua tahun ke depan, ia harus kembali berhitung terhadap segenap potensi kekuatan dukungan politik yang ia kuasai. Alternatif jalan yang paling masuk akal ia tempuh, dengan melipatgandakan pengakumulasian output kinerja kepemimpinannya.
Sebagai gubernur Jawa Tengah, ia perlu lebih intens menunjukkan jika kinerja kepemimpinannya mampu mentransformasikan daerahnya lebih kompetitif dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Ganjar perlu membuktikan, keberhasilan daerah yang ditopang dari kreasi dirinya. Sosoknya tidak lagi hanya sebatas katalisator perubahan, tetapi justru pendeterminasi perubahan itu sendiri.
Paling mendesak, di tengah ancaman penyebaran Covid-19 yang tengah dihadapi Jawa Tengah, misalnya, bagaimana ia tampil sebagai sosok terdepan dalam mengatasi pandemi. Sederhananya, tatkala sebagian masyarakat mulai jenuh dengan ketidakpastian, bagaimana kepala daerah mampu meyakinkan publiknya akan ancaman yang masih nyata dihadapi. Prestasi menjadi wilayah paling konsisten dalam penurunan Covid-19 sepanjang pandemi, sebenarnya harus menjadi acuan paling riil saat ini bagi setiap kepala daerah untuk dapat dikatakan sukses dalam kepemimpinannya. Keberhasilan terukur semacam inilah paling layak menjadi modal dalam perluasan dukungan publik.
Dalam upaya pencapaian dukungan publik yang lebih besar, Ganjar memiliki potensi yang memadai. Dibandingkan dengan berbagai sosok calon presiden lainnya, para pendukung Ganjar lebih banyak memiliki kedekatan dengan para pemilih Jokowi. Artinya, peningkatan dukungan pada Ganjar berpotensi mencapai besaran dukungan yang selama ini terjadi pada Jokowi.
Kedekatan semacam ini terlihat dari sisi identitas sosial ataupun orientasi politik para pendukungnya (Grafik 2). Baik pendukung Jokowi maupun Ganjar lebih banyak dipilih oleh kalangan dalam klasifikasi kelompok sosial bawah dan yang secara politik menjadi para pendukung keberhasilan kinerja pemerintah. Keduanya, dilekatkan pula oleh dukungan kekuatan politik partai yang relatif sama, PDI-P sekalipun pada Ganjar masih terbilang banyak pula didukung oleh pemilih partai politik selain PDI-P.
Terdapat memang perbedaan ruang pemilih yang berbeda, misalnya dalam keterbatasan para pemilih Ganjar yang berdomisili di Jawa. Namun, dalam keterbatasan semacam itu justru menunjukkan potensi ruang penaklukan politik yang terbentang. Ia berpotensi mewarisi efek Jokowi dan bahkan berpotensi pula menarik dukungan di luar simpatisan pendukung Jokowi. Persoalannya tinggal bagaimana Ganjar mampu melesat dengan mengapitalisasikan semua potensi itu, sekaligus menepikan bonus dukungan dari ”ketersingkiran” politik
(Bestian Nainggolan, Litbang Kompas)