Problematika proses pencairan dan penyaluran insentif bagi tenaga kesehatan di Indonesia perlu segera diselesaikan, mengingat peran besar yang dijalankan di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
Yoesep Budianto
·6 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Petugas medis beristirahat usai menangani pemeriksaan orang tanpa gejala (OTG) di Rumah Lawan Covid, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (29/12/2020). Tenaga kesehatan menjadi garda terdepan penanganan Covid-19 di Tanah Air.
Selain berisiko terinfeksi virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19, tenaga kesehatan Indonesia juga menghadapi permasalahan insentif yang belum dibayarkan dengan tuntas. Baru 24 persen dana yang telah disetujui untuk pembayaran tunggakan 2020 dan insentif 2021 bagi para tenaga kesehatan.
Peran tenaga kesehatan di tengah pandemi tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Para tenaga kesehatan tersebut berada di garda depan penanganan Covid-19, mulai dari fase pelacakan, pengetesan, hingga perawatan pasien positif Covid-19. Besarnya peranan para tenaga kesehatan juga diikuti risiko besar transmisi virus korona di tempat kerjanya. Catatan Pusara Digital LaporCovid-19 menyebut, ada 945 pahlawan kesehatan yang gugur hingga 15 Juni 2021.
Banyaknya tenaga kesehatan yang gugur menjadi salah satu gambaran beratnya perjuangan mereka menangani dan merawat pasien Covid-19 serta mengantisipasi paparan virus yang setiap saat mengintai para tenaga kesehatan. Sebagai bentuk dukungan, pemerintah memberikan insentif bulanan bagi setiap tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan yang merawat pasien atau ditugaskan di fasilitas kesehatan rujukan Covid-19 berhak mendapatkan insentif dari pemerintah pusat. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan aturan baru melalui KMK Nomor HK.01.07/MENKES/4239/2021, di mana seluruh insentif akan dikirim langsung ke rekening tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Sebagai catatan, usulan penerima insentif harus berasal dari fasilitas kesehatan dan besaran nilai yang dibayarkan disesuaikan dengan tingkat risiko infeksi. Tingkat risiko infeksi tersebut mengacu pada status zona wilayah tempat bekerja tenaga kesehatan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pekerja kesehatan yang tergabung dalam Perkumpulan Pekerja Ambulans Gawat Darurat (PPAGD) Dinas Kesehatan DKI Jakarta menggelar aksi di depan Balai Kota Jakarta untuk dapat bertemu Gubernur DKI Jakarta, Kamis (22/10/2020). Mereka juga menyampaikan persoalan insentif yang tidak diterima meski turut bekerja mengangkut pasien Covid-19.
Batasan tertinggi insentif yang dibayarkan terbagi menjadi lima kategori, yaitu dokter spesialis (Rp 15 juta), peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (Rp 12,5 juta), dokter umum dan gigi (Rp 10 juta), bidan dan perawat (Rp 7,5 juta), serta tenaga kesehatan lainnya (Rp 5 juta). Skema pembiayaan yang dibayarkan langsung ke rekening tenaga kesehatan bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadi pungutan atau pemotongan.
Praktik pungutan atau pemotongan insentif menjadi salah satu bentuk penyimpangan mekanisme pemberian insentif tenaga kesehatan di Indonesia. Pada beberapa kasus lain, ditemukan juga praktik penundaan pembayaran tanpa kepastian kapan akan dilunasi. Berdasarkan pemantauan LaporCovid-19 hingga awal Mei 2021, ada contoh kasus permasalahan insentif.
Kasus pertama terjadi di Batu, Jawa Timur. Tenaga kesehatan di salah satu rumah sakit melaporkan adanya pemotongan insentif Rp 7,5 juta menjadi Rp 3 juta per bulannya. Praktik tersebut terjadi sejak awal pandemi hingga September 2020. Ironisnya, insentif mulai bulan November 2020 hingga Mei 2021 belum dibayarkan.
Kasus kedua berasal dari Nganjuk, Jatim, di mana pembayaran insentif tidak dilakukan dengan konsisten. Insentif dibayarkan bulan Maret-Mei 2020 sebesar Rp 8,7 juta, lalu berhenti pada Juni 2020, dan kembali dibayarkan Juli-Agustus 2020 sebesar Rp 15 juta. Namun, insentif tidak dibayarkan lagi sejak September 2020 hingga April 2021.
Kasus ketiga dialami oleh dokter di Bojonegoro, Jatim. Selain insentif yang dipotong hingga 50 persen, pembayarannya juga baru dilakukan mulai Februari 2021. Tiga kasus tersebut adalah potret karut-marut insentif tenaga kesehatan di Indonesia.
Sementara kasus penundaan pembayaran insentif terlihat dari jumlah aduan yang dilaporkan para tenaga kesehatan. Selama periode 8 Januari hingga 6 Mei 2021, LaporCovid-19 telah menerima 4.696 laporan. Apabila didetailkan berdasarkan statusnya, sebanyak 74,2 persen tenaga kesehatan belum menerima insentif hingga awal Mei 2021, sementara 7,3 persen telah menerima dengan disertai sejumlah catatan.
Realisasi pembayaran
Keterlambatan pembayaran insentif tenaga kesehatan berakibat pada besarnya tunggakan di tahun sebelumnya. Kemenkes mencatat ada tunggakan Rp 1,48 triliun di tahun anggaran 2020. Hingga 10 Mei 2021, dari jumlah tunggakan tersebut, baru 53,4 persen anggaran yang disetujui untuk dicairkan.
Jumlah fasilitas kesehatan yang diusulkan untuk pencairan tunggakan tahun 2020 sebanyak 4.866 unit dengan jumlah tenaga kesehatan 190.532 orang. Jenis fasilitas kesehatan terbanyak adalah kelompok Persatuan Internsip Dokter Indonesia (PIDI), rumah sakit swasta, dan rumah sakit TNI/Polri.
Dari jumlah yang diusulkan tersebut, cakupan alokasi anggaran belum sepenuhnya menyasar fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Jika dilihat sebarannya, yang persetujuan pencairan insentif tunggakan tahun anggaran 2020, baru menjangkau 22,4 persen fasilitas kesehatan dan 65,6 persen tenaga kesehatan. Artinya, masih banyak tenaga kesehatan yang sebenarnya belum menerima hak insentif mereka untuk masa bakti tahun lalu.
Senada dengan 2020, usulan untuk tahun anggaran 2021 juga minim yang disetujui. Jumlah usulan fasilitas kesehatan pada 2021 mencapai 2.820 unit dengan jumlah tenaga kesehatan 168.049 orang. Total anggarannya mencapai Rp 1,05 triliun.
Data sementara per 10 Mei 2021, sebanyak 13 persen fasilitas kesehatan telah disetujui pembayaran insentifnya. Sementara untuk tenaga kesehatan yang disetujui mencapai 18,5 persen. Melihat skema persetujuan ini, dari alokasi anggaran Rp 1,05 triliun baru akan dicairkan sebesar Rp 202, 4 miliar. Jumlah tersebut mencapai 19,3 persen dari total anggaran.
Di luar insentif yang diperuntukkan bagi tenaga kesehatan yang masih hidup, ada anggaran santunan kematian bagi tenaga kesehatan yang telah gugur. Kemenkes memiliki batasan tertinggi untuk santunan, yaitu Rp 50 miliar. Data per 10 Mei 2021 menyebutkan, 64,2 persen dana tersebut telah disetujui.
Pengawasan anggaran
Melihat kasus-kasus keterlambatan pemberian insentif dan realisasi pembayaran, manajemen insentif bagi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan menjadi hal yang perlu diperhatikan untuk mengelola mekanisme pembayaran insentif.
Poin penting dari mekanisme pembayaran insentif tenaga kesehatan adalah pembentukan tim verifikasi. Terdapat dua skema tim verifikasi, yaitu dibentuk pada fasilitas pelayanan kesehatan dan institusi kesehatan milik pemerintah/swasta serta milik pemerintah daerah.
Sementara unsur-unsur tim verifikasi yang perlu diperhatikan adalah harus terdapat unsur pelayanan dan unsur manajemen di fasilitas kesehatan, satuan pengawas internal atau unsur lain yang memiliki tugas pengawasan, serta koordinator pendidikan yang akan melakukan verifikasi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Tim verifikasi memiliki tiga tugas, yaitu memastikan keabsahan dokumen usulan insentif yang disampaikan pimpinan fasilitas kesehatan, membuat catatan hasil verifikasi dan validasi, serta menyampaikan rekomendasi hasil akhir.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Defri, salah satu perawat di ruang isolasi khusus pasien Covid 19 di RSUD Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, membubuhkan tulisan Selamat Tahun Baru 2021 di pelapis baju hazmat yang dikenakannya, Jumat (1/1/2021). Defri adalah satu di antara sejumlah tenaga kesehatan yang tetap setia menjalankan tugasnya ketika pergantian tahun 2020 ke 2021 di tengah situasi pandemi Covid 19.
Pengawasan anggaran insentif sangat penting, mengingat sumber dana yang berasal dari APBN dan APBD. Bulan Februari 2021, KPK turut mengimbau untuk melakukan pengawasan agar tidak terjadi pemotongan oleh manajemen rumah sakit atau pihak terkait. Laporan yang diterima KPK saat itu terkait potongan hingga 70 persen.
Selain itu, hasil kajian terhadap aturan lama penyaluran insentif, yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/278/2020, menghasilkan dua poin permasalahan. Pertama, menyoroti adanya risiko inefisiensi keuangan negara karena duplikasi anggaran tenaga kesehatan di daerah, yaitu melalui pos bantuan operasional kesehatan dan belanja tidak terduga.
Poin kedua adalah proses verifikasi akhir yang terpusat di Kemenkes berdampak pada lambatnya pembayaran, termasuk proses pembayaran yang berjenjang. Proses tersebut meningkatkan risiko penundaan dan pemotongan insentif.
Aturan hukum pemberian insentif dan santunan terhadap tenaga kesehatan akhirnya direvisi hingga empat kali. Aturan terbarunya adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4239/2021, di mana seluruh dana insentif diberikan langsung melalui nomor rekening setiap tenaga kesehatan.
Problematika proses pencairan dan penyaluran insentif tenaga kesehatan di Indonesia perlu segera diselesaikan, mengingat peran besar yang dijalankan di tengah pandemi. Sebagai pengingat, masih ada ribuan tenaga kesehatan yang belum memiliki kepastian insentif, tidak hanya di fasilitas kesehatan besar, tetapi hingga tingkat puskesmas. (LITBANG KOMPAS)