Saatnya Gubernur Kembali Menjadi Presiden?
Di negara-negara yang kuat tradisi demokrasinya, latar belakang kepala daerah menjadi presiden tidak asing terdengar. Di Indonesia, keberhasilan Jokowi memacu kepala daerah lainnya mengejar puncak kepemimpinan nasional.
Perekrutan kepemimpinan nasional di negeri ini berjalan secara dialektik. Silih berganti antara sosok politisi, militer, teknokrat, ulama, hingga pengusaha-kepala daerah menjadi presiden. Pemilu 2024, sejalan dengan tingginya preferensi masyarakat pada para gubernur, besar pula peluang kepala daerah kembali menduduki kursi kepresidenan.
Dapat disimpulkan demikian, lantaran dalam peta persaingan calon presiden rujukan publik saat ini, para kepala merajai arena politik. Setidaknya, hasil survei opini publik menunjukkan, dari delapan tokoh yang meraih dukungan signifikan, terdapat lima sosok yang berlatar belakang kepala daerah atau pernah berlatar belakang kepala daerah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Secara berturut berdasarkan popularitas, terdapat Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Basuki Tjahaja Purnama, dan Tri Rismahartini. Selain kelima sosok, Sandiaga Uno yang sempat menjabat sebagai wakil gubernur DKI dapat pula dimasukan, kendati paruh jabatannya singkat (Oktober 2017-Agustus 2018).
Mereka yang berasal dari kepala daerah jelas terbilang besar. Tidak pernah sebelumnya terjadi sepanjang ajang persaingan pemilu di negeri ini. Khusus semenjak era pasca-Orde Baru, persaingan lebih banyak diwarnai oleh para calon berlatar belakang militer dan politisi.
Namun, semenjak kemunculan Joko Widodo sebagai presiden hasil Pemilu 2014 lalu, pola persaingan memang berubah. Pemilu seolah menjadi ajang kebangkitan para kepala daerah dalam mengejar puncak karier kepemimpinan nasional.
Tampilnya para kepala daerah ke dalam panggung kepemimpinan nasional sebenarnya wajar. Pasalnya, jalan karier kepemimpinan serta kekuasaan mereka memang harus berlanjut. Tidak hanya berhenti sebatas menjadi pemimpin daerah.
Idealnya, setelah sukses dalam kepemimpinan daerah, saatnya berlanjut dalam tugas maupun beban yang lebih kompleks dalam panggung kepemimpinan nasional. Inilah salah satu model perekrutan pemimpin berbasis kinerja dan tempaan pengalaman. Bukan pemimpin yang diturunkan ataupun datang secara tiba-tiba.
Pada negara-negara yang kuat tradisi demokrasinya, latar belakang kepala daerah menjadi presiden tidak asing terdengar. Amerika Serikat, negara yang telah melahirkan 46 sosok presiden, justru presidennya dominan berlatar belakang gubernur atau perwakilan daerah (senator).
Hingga saat ini, tidak kurang dari 16 dari jumlah seluruh presidennya berlatar gubernur. Selain itu, terdapat pula 24 presiden berlatar senator. Sisanya, pengusaha, artis, hingga profesional lainnya.
Di Indonesia, perubahan kepemimpinan negara dan beragam latar belakang yang tergantikan lebih banyak dihasilkan dari suatu proses yang bersifat dialektis. Ada masa tatkala negara ini dipimpin oleh presiden berlatar militer, tidak disukai pada pengujung jabatannya. Pada akhirnya, setelah lebih dari tiga dasawarsa menjabat, Presiden Soeharto diturunkan dalam tekanan reformasi Mei 1998.
Sejak kemunduran Presiden Soeharto, gerakan antimiliter begitu menguat. Sebaliknya, ruang yang dimiliki oleh masyarakat sipil meluas, termasuk dalam kepentingan perekrutan jabatan presiden. Hasil survei Kompas pada September 1998, misalnya, mengungkapkan jika 62 persen responden menilai citra TNI buruk.
Selain itu, 59 persen responden menyatakan sikap jika mereka menolak presiden berasal dari sosok yang berlatar belakang militer, termasuk para purnawirawan. Hanya 35 persen yang masih memilih presiden dengan latar belakang militer.
Saat itu, dalam kondisi yang terbilang darurat, Presiden BJ Habibie menggantikan Soeharto. Hanya, Presiden BJ Habibie tidak pula bertahan lama. Sosok teknokrat yang mengangkat pamor negeri ini dalam dunia aviasi itu hanya menjabat 1 tahun 5 bulan.
Ia selanjutnya digantikan Presiden KH Abdurrahman Wahid pada 20 Oktober 1999. Berikutnya, Presiden Wahid yang merupakan ulama moderat dan sangat menjunjung prinsip demokrasi itu tidak juga menjabat lama, lantaran digantikan pula oleh wakilnya, Megawati Sokarnoputri, 23 Juli 2001.
Kisah perubahan presiden, hingga era Abdurrahman Wahid, terbilang labil. Megawati Soekarnoputri, politisi yang membangun PDI-P dan berhasil menjadikan partai itu sebagai pemenang Pemilu 1999, menjabat sampai 20 Oktober 2004. Hasil Pemilu Presiden 2004, ia terkalahkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, militer yang menjadi menteri dalam kabinet pimpinan Presiden Megawati.
Di balik perubahan pemimpin negara, kemunculan Presiden Yudhoyono melegitimasikan kembali kepemimpinan militer di negeri ini. Sebenarnya, pada saat Pemilu 2004, beberapa sosok militer muncul dengan preferensi publik yang tinggi. Selain Yudhoyono, Wiranto dan Prabowo Subianto juga bersaing dalam panggung politik kepemimpinan negara.
Kemunculan tokoh-tokoh militer dan terpilihnya Yudhoyono sebagai presiden sering kali dikaitkan sebagai jawaban atas ketidakpuasan publik selama ini. Dalam survei Kompas, April 2004, tampak jika bagian terbesar masyarakat menyatakan tidak tertarik memilih pimpinan berasal dari sipil, termasuk sosok keturunan trah Presiden Soekarno ataupun Soeharto.
Ketidakpuasan publik tidak lepas dari proses-proses politik dalam kekuatan kendali masyarakat sipil yang selama ini tampak gamang. Berbagai kepala negara yang muncul dari latar belakang masyarakat sipil, seperti teknokrat, ulama, hingga politisi, dirasakan belum banyak menjawab tuntutan reformasi. Justru yang terjadi, perlambatan dan ketidakstabilan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Survei periodik yang dilakukan Kompas terhadap kinerja presiden menunjukkan kondisi tersebut. Terhadap kinerja Presiden Wahid dan Megawati, misalnya, kerap kali pada masa awal jabatan disambut oleh kepuasan terbilang tinggi oleh masyarakat. Akan tetapi, dalam perjalanan kepemimpinan, merosot. Ketidakpuasan justru yang mencuat, hingga di pengujung masa jabatan.
Dalam masa kepemimpinan Presiden Yudhoyono, relatif berjalan mulus. Dalam kendalinya, publik memberikan apresiasi kepuasan yang terbilang tinggi. Tidak mengherankan jika Yudhoyono dalam memperpanjang periode kepemimpinannya. Dalam kurun waktu 10 tahun menjabat, terdapat memang dinamika penilaian terhadap kinerja pemerintahan Presiden Yudhoyono.
Dengan berbagai kebijakan yang ditampilkan, terdapat masa ketika terjadi penurunan tingkat kepuasan masyarakat. Akan tetapi, praktis di pengujung masa jabatannya 20 Oktober 2014, lebih banyak proporsi masyarakat yang merasa puas ketimbang tidak puas.
Sekalipun menuai kepuasan, dalam konteks kepemimpinan sipil-militer, prestasi Presiden Yudhoyono nyatanya tidak diikuti keinginan masyarakat untuk melanjutkan kepemimpinan berlatar militer. Dua tahun sebelum Pemilu 2014 berlangsung, indikasi keinginan masyarakat untuk dipimpin oleh kalangan sipil kembali hadir.
Hasil survei Kompas, Oktober 2012, mengungkapkan jika bagian terbesar masyarakat cenderung memilih sosok berlatar belakang sipil (50,4 persen) ketimbang militer (34 persen). Saat itu, tokoh-tokoh militer meskipun masih populer, publik lebih memilih sosok berlatar belakang sipil dengan harapan kepemimpinan yang egaliter, mementingkan dialog, berpihak pada kepentingan rakyat.
Perubahan fenomena latar belakang kepemimpinan sipil yang kembali lebih banyak dijadikan rujukan itu menarik dikaji. Padahal, merujuk pada kondisi sebelumnya, dominasi kepemimpinan militer masih menjadi tumpuan. Hasil survei Kompas yang dipublikasikan setahun sebelumnya (Kompas, 3/10/2011), misalnya, masih menunjukkan jika keinginan publik terhadap kepemimpinan militer masih besar.
Mereka berpendapat jika kalangan sipil belum mampu menggantikan kalangan militer dalam berbagai jabatan publik yang strategis, termasuk jabatan presiden.
Perubahan persepsi publik yang relatif singkat itu tidak lepas dari kehadiran tokoh lokal, Joko Widodo, yang melesat menjadi pemimpin ibu kota negara. Joko Widodo yang memulai karier sebagai pengusaha furnitur, memasuki dunia perpolitikkan dan merebut jabatan wali kota Solo, dan mampu meluaskan karier politiknya ke tingkat nasional.
Keberhasilannya menjadi Gubernur DKI Jakarta, bersama pasangan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama (mantan Bupati Belitung Timur), mampu mengubah pilihan masyarakat terhadap model kepemimpinan sipil.
Terlebih dalam waktu singkat jabatannya sebagai gubernur bersama Basuki Tjahaja mampu memberikan gambaran yang berbeda dengan banyak tokoh sipil yang menjabat, tetapi terjerat kasus korupsi. Mereka juga meraih kesuksesan dalam memimpin, dengan melahirkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Tidak mengherankan jika sebanyak 80,5 persen responden menyatakan model kepemimpinan Jokowi-Basuki menjadi rujukan bagi kepemimpinan nasional di masa depan.
Semenjak kemunculan Joko Widodo sebagai presiden hasil Pemilu 2014, pola persaingan memang berubah.
Keberhasilan Jokowi membawanya dalam posisi politik yang lebih tinggi lagi. Puncaknya, dalam Pemilu 2014 ia berhasil menjadi presiden. Hasil pemilu menunjukkan, jika Jokowi yang berlatar belakang kepala daerah itu mampu mengalahkan pesaingnya, Prabowo, yang berlatar belakang militer. Bahkan, pada periode selanjutnya ia kembali mampu mempertahankan kursi kepresidenan dari pesaing politik yang sama.
Keberhasilan Jokowi menjadi pemimpin negara dan juga dibuktikan dalam kinerja kepemimpinannya, secara tidak langsung memacu para kepala daerah lainnya dalam mengejar jabatan kepemimpinan yang lebih tinggi. Jokowi dianggap telah menciptakan model jalur karier kepemimpinan yang relevan dengan kondisi saat ini. Itulah alasannya jalur yang ia lalui itu belakangan ini banyak diikuti oleh kepala daerah lainnya.
Kehadiran para kepala daerah dalam panggung persaingan politik kepemimpinan negara ini tidak sia-sia. Setidaknya, tokoh-tokoh yang tampil telah melalui suatu tempaan proses persaingan dalam ajang pilkada. Pilkada langsung yang muncul sejak 2005 itu juga terbukti telah menjadi salah satu rahim kepemimpinan paling produktif di negeri ini.
Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan tokoh kepala daerah lainnya muncul dari ajang pilkada dengan barisan pendukung yang terbilang signifikan. Anies menjadi gubernur dalam Pilkada DKI 2017 setelah mampu mengumpulkan 3.240.987 pemilih (57,96 persen). Ganjar dalam Pilkada 2018 menjadi gubernur Jawa Tengah untuk periode kedua, meraih dukungan 10.362.694 pemilih (58,78 persen).
Jumlah pemilihnya bertambah dibandingkan dengan periode pertama masa jabatan. Saat Pilkada 2013, ia meraih dukungan 6.962.417 (48,82 persen). Sementara Ridwan Kamil, dalam Pilkada Jawa Barat, mampu meraih dukungan 7.226.254 (32,88 persen) pemilih. Sebelum menjadi gubernur, ia sukses memenangi Pemilihan Wali Kota Bandung 2013 dengan capaian 434.130 suara (45,24 persen).
Baca juga: Setengah Fiksi Pemilu, Pangeran-pangeran untuk Istana 2024
Setelah selesai dengan persaingan di tingkat lokal yang terbilang berat itu, kini mereka beralih dalam persaingan nasional. Calon-calon pesaingnya, sejauh ini terbilang kurang beragam. Setidaknya, jika ukuran hasil survei digunakan, mereka yang memperoleh dukungan terbilang signifikan, hanya tersisa sedikit saja calon presiden, yaitu Prabowo dan Agus Yudhoyono, kedua sosok dengan latar belakang militer.
Baca juga: Peluang Anak Presiden Menjadi Presiden
Sepanjang para kepala daerah tersebut mampu merawat loyalitas para pendukungnya dan semakin memperluas pengaruh pada para pemilih lainnya, potensi kemenangan tentu menjadi semakin dekat. Seperti yang telah dirintis sebelumnya oleh Jokowi, mereka terbilang berpotensi melanggengkan tradisi kepala daerah sebagai presiden. (LITBANG KOMPAS)