Cawapres Pasangan Anies Paling Potensial
Menelusuri sejarah pemilu presiden, pola dukungan yang kurang proporsional, tidak menunjukkan perimbangan pemilih, sulit unggul. Sebaliknya, kemenangan kerap terjadi jika aspek proporsionalitas terpenuhi.
Dibandingkan dengan calon presiden preferensi publik lainnya, karakter politik pendukung loyal Anies Baswedan relatif berbeda. Sisi perbedaan semacam itu menjadi pijakan tepat dalam mencari pasangan calon wakil presidennya.
Bertahan dengan capaian sejauh ini, tampaknya masih belum menjamin Anies Baswedan menguasai panggung persaingan calon presiden. Pasalnya, jika didasarkan pada hasil survei preferensi publik, kalkulasi perluasan dukungan yang berpotensi ia dapatkan terbatasi karakteristik sosio demografis maupun latar belakang politik pendukungnya yang kurang proporsional dari kondisi nasional.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pemilih Anies sejauh ini cenderung berasal dari lapis sosial elite masyarakat dengan perbedaan yang cukup mencolok dari calon presiden lainnya. Ditilik dari sisi pendidikan, misalnya, Anies cenderung diminati kalangan menengah hingga yang berpendidikan tinggi. Padahal, layaknya piramida, kondisi masyarakat berpendidikan tinggi justru terkecil. Kekhasan semacam ini tidak terdapat pada sosok lain, seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, serta beberapa sosok lainnya.
Secara geografi pun, perimbangan juga kurang terjadi. Apabila sebagian besar pemilih terkonsentrasi di Pulau Jawa, basis pendukung Anies proporsi terbanyak justru di luar Jawa. Beberapa wilayah di Sumatera, seperti Aceh, Sumatera Barat, Riau, hingga Lampung, dukungannya terbilang signifikan. Khusus Pulau Jawa, hanya di Jawa Barat terbilang besar.
Begitu pula terhadap identitas sosial lainnya, seperti keagamaan. Sejauh ini pemilih Anies masih terkonsentrasi pada kalangan Islam. Dukungan dari responden yang mengaku beragama selain Islam, terbilang minim. Tidak sebangun dengan proporsi pemeluk agama secara nasional.
Paling membedakan, justru dari sisi sikap politik pendukungnya. Pendukung Anies cenderung bersifat oposan terhadap pemerintahan. Saat ini, sebagian besar pendukung calon presiden lain cenderung menunjukkan sikap yang apresiatif terhadap kinerja pemerintah Jokowi. Bagi pendukung Anies, tidak demikian.
Hasil survei menunjukkan jika ketidakpuasan yang lebih banyak ditunjukkan. Hanya 31 persen dari pendukungnya yang menyatakan rasa puas. Dua pertiga lainnya menyatakan tidak puas.
Bandingkan dengan pesaingnya, tampak bertolak. Pendukung Prabowo saja, lebih dari separuh yang menyatakan rasa puas. Dalam proporsi yang tidak jauh berbeda, apresiasi diungkapkan pula oleh pendukung Sandiaga ataupun Agus Yudhoyono. Terlebih, pendukung Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil. Sedikitnya, dua pertiga bagian menyatakan rasa puas mereka terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Dengan demikian, hanya pendukung Anies yang memilih berseberangan penyikapan.
Dengan konsentrasi pendukung semacam itu, semakin kentara eksklusivitas dukungan yang ia miliki. Dapatkah Anies memperluas dukungan dengan pola semacam itu?
Menelusuri sejarah pemilu presiden, pola dukungan yang kurang proporsional, tidak menunjukkan perimbangan pemilih, sulit unggul. Sebaliknya, kemenangan kerap terjadi jika aspek proporsionalitas terpenuhi. Kendati, dalam pemilu presiden terakhir, keterpilahan pola dukungan masyarakat yang terjadi mulai berpengaruh pula terhadap distribusi suara pendukung.
Menelusuri sejarah pemilu presiden, pola dukungan yang kurang proporsional, tidak menunjukkan perimbangan pemilih, sulit unggul.
Dalam posisi semacam ini, Anies dihadapkan pada dua pilihan yang saling bertolak. Meluaskan penguasaan pemilih dengan bersikukuh pada karakter khas pendukungnya atau justru memilih langkah perluasan dukungan dengan menyasar kalangan yang berbeda dari latar belakang pendukung loyalnya.
Pilihan-pilihan strategi penguasaan panggung politik semacam itu dapat dilakukan melalui pilihan sosok calon wakil presiden pendampingnya. Dalam hal ini, apabila langkah politiknya tetap beranjak pada kekhasan karakteristik identitas sosial ataupun politik pendukungnya selama ini, pilihan terhadap sosok calon wakil presiden yang merepresentasikan karakteristik pendukungnya selama ini menjadi relevan.
Namun sebaliknya, jika memang yang disasar perluasan dukungan dari pendukung yang berbeda karakternya, kebutuhan untuk mencari sosok calon wakil presiden yang berbeda pola penguasaan dukungan menjadi signifikan.
Merujuk pada berbagai indikator survei, setidaknya empat aspek yang dapat dijadikan ukuran bagi kesamaan ataupun perbedaan pola dukungan dalam pencarian calon wakil presiden (Grafik 2).
Pertama, terkait dengan besaran jumlah pendukung tokoh politik yang disasar sebagai pasangannya. Semakin besar potensi jumlah pendukung sosok pasangan, tentu saja semakin berpotensi meningkatkan elektabilitas Anies bersama pasangannya itu.
Hanya saja, dalam kalkulasi psikologi politik sederhana, besaran elektabilitas juga mempengaruhi posisi dan kedudukan politik yang disasar tokoh tersebut. Bagi sosok politik yang memiliki tingkat keterpilihan lebih tinggi dari Anies, sulit menempatkan tokoh tersebut sebagai pasangan calon wakil presiden. Apa yang terjadi justru terbalik, tokoh itulah yang merasa paling pantas menjadi calon presiden ketimbang calon wakil presiden.
Mencermati tampilnya beragam sosok politik yang menjadi referensi publik, hasil survei menunjukkan jika pada papan atas perolehan dukungan stabil ditempati oleh tokoh politik seperti Prabowo, Ganjar, Sandiaga, Ridwan Kamil, Agus Yudhoyono, dan Tri Rismaharini. Selain nama mereka, masih terdapat puluhan tokoh lainnya. Akan tetapi, jika dicermati, nama-nama tersebut tidak konsisten kemunculannya pada setiap hasil survei. Itulah mengapa, kali ini keenam sosok inilah layak disandingkan.
Dari keenam sosok di atas, keberadaan Prabowo menjadi problematik. Pasalnya, derajat keterpilihan Prabowo jauh lebih besar dari Anies. Berdasarkan hasil survei, posisi Prabowo lebih relevan sebagai calon presiden ketimbang berpasangan dengan Anies sebagai calon wakil presiden.
Sementara, kelima sosok lainnya, dari segi elektabilitas relatif lebih rendah dari Anies. Posisi elektabilitas tertinggi pada Ganjar. Sosok lainnya tergolong dalam posisi yang sama. Dengan demikian, dari sisi elektabilitas, Ganjar paling berpotensial menjadi pasangan calon wakil presiden.
Kedua, aspek perimbangan pendukung yang terproporsikan dalam wilayah domisili. Sejauh ini, proporsi pemilih nasional lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jika dicermati, justru besaran dukungan terhadap Anies lebih terkonsentrasi pada mereka yang berdomisili di luar Jawa. Dengan mempertimbangan perluasan dukungan yang lebih optimal, idealnya Anies perlu memiliki pasangan dengan konsentrasi kekuatan pendukung di Jawa.
Faktanya, hasil survei menunjukkan tidak banyak tokoh politik yang memiliki dukungan terbesar di Jawa. Dari nama-nama yang dikaji, hanya Ganjar, Ridwan Kamil, dan Tri Rismaharini. Jika dipadankan dengan basis dukungan Anies, posisi Ganjar dan Risma yang pendukungnya terkonsentrasi Jawa Tengah dan Timur menjadi prospektif. Ridwan Kamil, sekalipun memiliki basis dukungan di Jawa, terkonsentrasi di Jawa Barat, wilayah yang juga menjadi kekuatan dukungan terhadap Anies.
Faktanya, hasil survei menunjukkan tidak banyak tokoh politik yang memiliki dukungan terbesar di Jawa.
Ketiga, perimbangan kekuatan partai politik pendukung. Sejauh ini, pendukung Anies tersebar pada hampir setiap partai. Akan tetapi, dukungan terbesar datang dari pemilih Gerindra dan PKS. Terdapat juga dukungan pemilih dari Demokrat ataupun PDI-P. Guna memperluas pola dukungan, mencari pasangan yang memiliki kekuatan dukungan pada partai-partai selain Gerindra dan PKS menjadi prioritas. Pendukung PDI-P, Golkar, ataupun Demokrat dapat menjadi alternatif memperbesar dukungan.
Becermin pada tuntutan dan keberadaan sosok politik yang lekat dengan posisi politik kepartaian, maka sosok Ganjar, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, dan Agus Yudhoyono relatif relevan sebagai pasangan. Ganjar dan Tri Rismaharini memiliki kelebihan tersendiri sebagai kader PDI P. Begitu juga dengan Agus Yudhoyono dari Demokrat. Hanya Ridwan Kamil yang tidak menjadi kader partai, sekalipun ia banyak didukung oleh pemilih yang mengaku menjadi simpatisan PDI-P.
Keempat, berkaitan dengan posisi politik dari pendukung yang berpotensi ia dapatkan. Seperti yang telah tersampaikan sebelumnya, hanya pendukung Anies yang cenderung lebih banyak bersikap berseberangan dalam menilai keberhasilan kinerja rezim pemerintahan saat ini. Semua tokoh politik yang mendapat dukungan publik signifikan, memberikan apresiasi positif. Dengan kondisi seperti ini, pilihan memperluas dukungan dari kalangan yang berseberangan pandangan dengan pendukungnya merupakan langkah realistis.
Jika ditelusuri, dari setiap tokoh politik yang dapat dipasangkan dengan dirinya, terdapat sosok seperti Ganjar, Ridwan Kamil, ataupun Tri Rismaharini yang memiliki karakter pendukung paling berseberangan sikap dengan pendukung Anies. Terdapat pula, Sandiaga, dan Agus Yudhoyono dengan basis pendukung yang sedikit lebih kecil perbedaannya.
Dengan berbagai faktor pertimbangan semacam ini, ruang gerak Anies dalam memilih pasangannya tampak lebih beragam. Pilihan sepenuhnya bergantung pada orientasi politiknya. Apabila langkah perluasan dukungan Anies tertuju pada pemilih di luar kekhasan karakteristik pendukung loyalnya, secara berturut, mulai dari sosok Ganjar, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, Sandiaga, ataupun Agus Yudhoyono berpotensi menjadi pasangannya.
Namun, jika ia memperluas dukungan dengan lebih banyak bersandar pada kesamaan karakteristik pendukung loyalnya, paling potensial justru muncul secara berkebalikan. Secara berturut, sosok Agus Yudhoyono, Sandiaga, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, dan Ganjar menjadi alternatif pilihan.
(BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS)