Panggung Risma Meluas, Popularitas Justru Melemah?
Sepanjang hampir enam bulan Risma menjabat Menteri Sosial, publik tidak melihat sesuatu yang luar biasa dilakukan. Hal inilah yang tampaknya membuat popularitas nama Risma cenderung meredup.
Di antara para calon presiden yang menjadi rujukan publik, bisa jadi posisi keterpilihan Tri Rismaharini yang kini terbilang problematik. Pasalnya, di saat jejak politiknya semakin menasional, justru saat yang sama preferensi publik cenderung melorot.
Sejalan dengan pengangkatannya sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Indonesia Maju, 23 Desember 2021 lalu, panggung politik Tri Rismaharini (Risma) semakin meluas. Ia tidak lagi tokoh yang hanya berurusan dengan semua persoalan masyarakat kota Surabaya. Jangkauan pengaruh politiknya tidak lagi sebatas pada sekitar 3,3 juta warga kota yang satu dasa warsa terakhir ini terbukti amat menyukainya. Namun, kini, pertaruhan kiprah Risma pada kondisi sosial seluruh penduduk negeri ini.
Posisi sebagai menteri jelas suatu lompatan karier politik. Ia memang layak menyandangnya. Terlebih, di saat yang sama, kementerian yang kini dipimpinnya itu tengah dihadapkan pada krisis dan prahara korupsi bantuan sosial yang melibatkan menteri sebelumnya, Juliari Batubara. Itulah mengapa, kehadiran sosok Risma yang dikenal tegas, tidak kenal diam, dan berempati pada kalangan yang kerap tersingkirkan itu dinilai mampu mengubah wajah dan kinerja kementerian sosial.
Sesaat menjabat, Risma mencoba bergerak cepat. Ia ditugaskan Presiden Jokowi mempercepat realisasi bantuan sosial di awal tahun 2021. Mempercepat tidak hanya sekadar menyalurkan, tetapi harus membenahi pendataan kelayakan penerima bantuan di seluruh negeri. Pendataan menjadi sesuatu yang esensial dalam pendistribusian bantuan, lantaran ia mendapati sejak 2015 data penerima bantuan tidak terperbaharui. Selain tugas itu, ia pun diminta Jokowi membersihkan oknum-oknum di kementeriannya yang terindikasi korupsi. Singkatnya, bagaimana memperbaiki sistem yang menunjang kinerja lebih efektif sekaligus jauh dari korupsi. Kedua hal inilah yang menjadi pertaruhan keberhasilannya.
Dalam kerja keseharian, aksi Risma menarik perhatian publik. Baru dalam hitungan hari menjabat, ia mengunjungi kalangan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Jakarta. Warga bantaran kali Ciliwung, salah satunya. Begitu juga para pemulung, termasuk ”manusia gerobak” yang berseliweran. Aksi-aksinya yang dikesankan sebagian kalangan cenderung provokatif tersebut, sempat mendapat penolakan dari aparat pemerintah daerah terkait.
Di awal masa jabatannya, kontan Risma menuai polemik. Sebagian kalangan, terutama yang berseberangan pandangan, menilai jika aksinya tidak lebih dari suatu pencitraan dalam upaya memperluas pengaruh politiknya. Tidak sedikit pula yang menganggap, Risma tengah berinvestasi politik dan secara khusus menyasar kursi Gubernur DKI pada periode mendatang.
Dalam hitungan hari menjabat, ia mengunjungi kalangan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Jakarta.
Sebaliknya, sebagian kalangan lainnya justru mendukung langkah enerjik Risma. Blusukan Risma di berbagai wilayah kumuh DKI, bagi para pendukungnya, seolah dinilai sebagai jawaban dari surutnya perhatian pemerintah daerah selama ini terhadap persoalan sosial wilayah. Bahkan, tidak kurang PDI P, partai politik yang selama ini menjadi penyokong Risma, menyatakan jika pola blusukan yang ia lakukan sudah menjadi role model bagi kader partai yang ditugaskan pada jabatan eksekutif, legislatif, ataupun jabatan pada struktural partai.
Di tengah polemik aksi Risma, popularitasnya sontak meroket. Berdasarkan hasil survei opini publik yang dilakukan Kompas, misalnya, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap sosoknya. Ia dirujuk menjadi salah satu tokoh yang layak dinominasikan sebagai salah satu calon presiden. Berdasarkan hasil survei di bulan Januari 2021 lalu, sebanyak 5,2 persen responden memiliki preferensi kepada Risma. Padahal, pada survei opini sebelumnya, dilakukan pada Agustus 2020, preferensi publik terhadap dirinya masih relatif kecil, 1,7 persen saja (Grafik 1).
Hampir enam bulan kepemimpinannya, aksi Risma tidak lagi banyak mendapat sorotan. Pro dan kontra terhadap dirinya cenderung redup. Ia pun seolah menjauh dari polemik. Pola blusukan dan kerjanya, misalnya, tidak lagi di jantung kekuasaan negara, tetapi mulai menepi di berbagai pelosok negeri.
Awal Maret 2021, langkahnya tertambat pada kalangan Komunitas Adat Terpencil (KAT) seperti Orang Rimba, di Jambi. Perhatiannya tidak hanya tercurah dalam pemberian bantuan material, namun mengangkat derajat politik kewarganegaraan Orang Rimba layaknya warga negara lainnya. Sejalan dengan perekaman data NIK/KTP-elektronik, bersama kementerian dalam negeri Risma melegal formal kan komunitas Orang Rimba sebagai bagian dari data kependudukan. Dengan berbasis data kependudukan itulah selanjutnya program-progam sosial kementeriannya dilakukan.
Bersamaan dengan terjadinya berbagai bencana alam di beberapa wilayah negeri, di situ pula aksi Risma tertuju. Pada awal April 2021 lalu, gerak Risma terfokus pada penanganan banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat yang dipicu siklon Seroja. Selepas perjalanan di kedua provinsi itu, ia pun mengunjungi Malang selatan, yang terkena gempa. Begitu pula selanjutnya, ia didapati sudah menjenguk korban teror bom di Makassar.
Hingga Mei, Risma masih disibukkan dengan berbagai tugas kunjungan pada kalangan yang selama ini terpinggirkan. Di Palembang, Sumatera Selatan, ia menyambangi kawasan Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Fisik Budi Perkasa. Di tempat ini, tidak hanya memantau fasilitas, ia juga melibatkan diri dalam rancangan renovasi kawasan yang banjir jika hujan turun. Dengan bekal pengalamannya yang mumpuni dalam perencanaan wilayah, Risma menyarankan pembangunan sistem penyekatan, perbaikan saluran, dan membuat kolam serapan pada pembangunan balai rehabilitasi.
Singkatnya, dalam setiap duka bangsa ini sosoknya hadir. Namun, paradoksnya, saat yang sama justru popularitasnya cenderung melemah. Hasil survei April 2021 lalu menunjukkan, hanya 2,4 persen responden yang berpreferensi Risma sebagai calon presiden pilihannya. Dibandingkan dengan survei sebelumnya, terjadi penurunan hingga separuh bagian.
Mengapa justru penurunan yang cenderung terjadi? Sedikitnya, dua kemungkinan yang dapat mengurai persoalan ini. Pertama, tentu saja terkait dengan besaran jarak antara ekspektasi publik yang sedemikian besar terbentuk padanya dan apa yang ia tunjukkan dalam kinerja kementeriannya. Bisa jadi, selama ini kinerja Risma dirasakan kurang memadai dari yang terharapkan. Sepanjang hampir enam bulan menjabat, publik tidak melihat sesuatu yang luar biasa dari yang dilakukan.
Kemungkinan alasan kinerja yang kurang memadai semacam ini dapat saja terjadi. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan survei yang sama, cenderung terbantahkan. Faktanya, pada April 2021 lalu lebih dua pertiga bagian masyarakat (71,4 persen) menyatakan rasa puas mereka terhadap kinerja pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan kesejahteraan sosial masyarakat. Kondisi saat itu meningkat, dibandingkan dengan penilaian di bulan Januari 2021 yang masih sebesar 67,2 persen menyatakan rasa puas. Begitu pula, terkait dengan upaya dalam pemberian bantuan sosial kepada masyarakat pun dua pertiga (66 persen) responden menyatakan rasa puas mereka. Artinya, jika difokuskan dalam persoalan kinerja, tampaknya relatif sedikit saja yang mempersoalkan capaian Risma.
Kedua, terkait dengan langkah-langkah politik yang dilakukan dan yang terkomunikasikan dalam panggung politik selama ini. Bisa jadi, sejalan dengan menjauhnya ia dari polemik dengan sendirinya semakin meredupkan popularitas. Terlebih jika yang tertampilkan selanjutnya sebatas rutinitas kerja kementerian yang dirasakan kurang menarik perbincangan publik. Tidak ada suatu kreasi yang bersifat spektakuler yang mampu menyedot perhatian masyarakat walaupun kinerja yang dilakukan tergolong memuaskan. Dengan tampilan semacam itu, mereka yang sebelumnya punya preferensi Risma menjadi calon presiden menjadi susut.
Tidak ada suatu kreasi yang bersifat spektakuler yang mampu menyedot perhatian masyarakat, walaupun kinerja yang dilakukan tergolong memuaskan.
Belakangan, sejalan dengan merebaknya peristiwa kemarahan Bupati Alor, Amon Djobo, kepada Risma dan jajaran kementeriannya menarik dicermati. Peristiwa yang terjadi periode awal April itu dilatarbelakangi oleh distribusi bantuan kala banjir melanda NTT tanpa melalui pemerintah daerah Alor, namun melalui DPRD tersebut, mencuat di awal Juni ini. Belakangan, polemik bantuan bencana itu berkepanjangan hingga ranah politik. PDI P baru-baru ini menyatakan mencabut dukungan politiknya tehadap Amon Djobo. Jika bersandar pada argumentasi semakin berpolemik maka turut mempengaruhi popularitas, dalam waktu dekat bisa jadi popularitas Risma berubah.
Terlepas dari berbagai argumentasi penyebab penurunan popularitas Risma di saat panggung politiknya meluas ini, sisi lain yang tidak kurang menarik diungkap bahwa penurunan popularitas Risma juga diikuti dengan terjadinya pergeseran karakteristik pendukungnya (Grafik 2).
Paling mencolok, tampak dari sisi sosio demografi pendukung Risma. Dari latar belakang jenis kelamin, misalnya, apabila pada survei sebelumnya, kaum perempuan proporsinya jauh lebih besar ketimbang laki-laki, kali ini justru terbalik. Survei terakhir menunjukkan, jika 53,3 persen dari total pendukungnya laki-laki. Dengan membandingkan kedua hasil survei tersebut, semakin jelas jika terjadi penurunan dukungan yang signifikan dari kaum perempuan.
Perubahan lain tampak dari basis dukungan usia pemilih. Perbandingan dua survei terakhir menunjukkan pergeseran terjadi pada kalangan berusia 41-60 tahun. Pada kalangan usia mapan ini, terjadi penurunan, dari sebelumnya tercatat sebanyak 40,3 persen menjadi sekitar 31 persen.
Sejalan dengan itu, jika dirunut lebih jauh, Risma pun kehilangan para pendukung yang justru berasal dari kalangan berpendidikan dasar. Pada survei di bulan Januari, masih terdapat 54,8 persen pendukungnya berpendidikan dasar. Pada survei April 2021, tinggal 44,8 persen.
Dari sisi wilayah, perubahan yang terjadi justru menempatkan para pendukung Risma menjadi semakin terkonsentrasi di Pulau Jawa. Padahal, sebelumnya, relatif tersebar, dengan perimbangan dua pertiga pendukung bermukim di Pulau Jawa, sementara sepertiga sisanya di Luar Jawa.
Pergeseran dari sisi latar belakang politik pendukung juga terjadi. Para pendukungnya kini lebih terkonsentrasi pada para simpatisan ataupun pendukung Jokowi. Hasil survei menunjukkan, jika saat ini 65,5 persen pendukung Risma merupakan para pemilih Jokowi dalam Pemilu 2019 lalu. Padahal, sebelumnya tercatat hanya 59,7 persen.
Begitu juga dari sisi partai politik, kali ini pendukunganya lebih terkonsentrasi pada PDI-P. Padahal, pada survei sebelumnya, masih tampak dukungan yang cukup signifikan dari para pemilih Demokrat (Grafik 3).
Penurunan dan pergeseran basis pemilih yang semakin terkonsentrasi pada kekuatan yang cenderung semakin eksklusif ini menjadi problem tersendiri bagi perjalanan karier politiknya. Di satu sisi, kondisi demikian semakin mempertegas posisi politiknya yang berada dalam kekuatan gerbong Jokowi. Berada dalam barisan Jokowi dapat saja menjadi suatu peluang bagi peningkatan dukungan baginya di masa mendatang, sejalan dengan kesudahan jabatan kepresidenan Jokowi.
Hanya saja, posisi politik semacam itu juga potensial berhadapan dengan para calon presiden pilihan publik sejenis lainnya. Paling terdekat, Ganjar Pranowo, yang notabene memiliki basis kekuatan dukungan yang relatif sama, tetapi dengan kekuatan elektabilitas yang lebih besar. Ataupun potensial pula berhadapan dengan Puan Maharani kendati basis dukungannya masih belum signifikan.
Pada sisi lain, posisi politik yang semakin terkonsentrasi semacam ini berpotensi pula membatasi dukungan padanya. Sejauh ini survei telah menunjukkan, jika penurunan dukungan dari sisi latar belakang politik cenderung terjadi pada para pendukung yang sebelumnya berafiliasi pada kekuatan politik di luar rejim pemerintahan. Akan menjadi sulit baginya meningkatkan peluang keterpilihan pada kekuatan politik yang berseberangan dengan pemerintahan.
Terlepas dari posisi politik yang problematik ini, di tengah popularitasnya yang redup, tampaknya inilah momen yang paling tepat bagi Risma untuk mengukur kembali langkah-langkah politiknya. Kecuali, jika jabatan kepresidenan ataupun wakil presiden, sama sekali bukan menjadi orientasinya. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas).