Toleransi: Yes, Perundungan: No
Perundungan masih marak terjadi di dunia pendidikan. Menjadi potret bahwa nilai-nilai toleransi sebagai bentuk pengamalan Pancasila belum dijiwai sepenuhnya oleh generasi muda. Bagaimana menyikapinya?

Perundungan (bullying) yang masih terjadi di ranah pendidikan menjadi potret bahwa nilai-nilai toleransi sebagai bentuk pengamalan Pancasila belum dijiwai sepenuhnya oleh generasi muda.
Pendidikan Pancasila yang diimplementasikan dalam ilmu kewarganegaraan sudah berkembang sejak Orde Lama tahun 1950-an. Pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan ini sudah diajarkan mulai pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi dengan beberapa perubahan kebijakan.
Pada masa Orde Baru dengan menerapkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) berdasar kurikulum 1975, 1984, dan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berdasar kurikulum 1994. Kemudian Orde Reformasi dengan pelajaran Kewarganegaraan (2004), Pendidikan Kewarganegaraan (2006) dan PPKn (2013).
Namun, meski sudah 75 tahun Indonesia merdeka, dasar falsafah, ideologi, dan nilai-nilai luhur Pancasila belum mengakar dan menjadi pedoman hidup dan bernegara bagi warga di negara yang multietnis, agama, dan budaya ini.
Baca Juga: Hentikan Perundungan dan Intimidasi Lewat Aturan Busana
Masih munculnya kasus intoleransi di lingkungan pendidikan, seperti adanya pemaksaan pemakaian atribut suatu agama yang terjadi di salah satu sekolah di Padang, Sumatera Barat, menjadi gambaran lemahnya penerapan dan pengamalan Pancasila di ranah pendidikan.
Hal ini sangat ironis dan juga bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi ”Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Perundungan
Kurangnya toleransi dalam dunia pendidikan juga dapat dikaitkan dengan fenomena perundungan. Tindakan perundungan yang dilakukan siswa terhadap siswa lainnya di sekolah merupakan contoh nyata sikap intoleransi yang masih terjadi hingga kini.

Perbuatan seseorang yang menggunakan kekuatan untuk menyakiti atau mengintimidasi orang yang lebih lemah itu bahkan semakin masif dengan berkembangnya media sosial.
Andrew Mellor dalam buku Bullying at School: Advice for Families (1997) menyebut perundungan bisa dilakukan secara fisik, verbal, relasi sosial, maupun melalui media elektronik. Motivasinya pun bermacam-macam, seperti menarik perhatian, frustrasi, balas dendam, atau sekadar hiburan.
Seperti kasus di Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, hanya karena marah tidak diberi uang oleh korban dan ingin eksis di media sosial, tiga siswa SMP Muhammadiyah ditetapkan sebagai tersangka kasus perundungan terhadap rekannya seorang siswi hingga menyebabkan luka fisik dan trauma pada korban.
Baca Juga: Pembatalan SKB Tiga Menteri Tak Kurangi Komitmen terhadap Kebinekaan dan Toleransi
Bahkan, hanya dengan alasan iseng dan becanda, tujuh siswa SMPN 16 Kota Malang, Jawa Timur, melakukan perundungan terhadap seorang temannya hingga mengakibatkan ruas jari tengah korban harus diamputasi. Miris!
Dua kasus di awal tahun 2020 itu mungkin hanya fenomena gunung es, yang muncul ke ruang publik hanya sedikit dan diduga masih banyak kasus lain yang hingga kini belum terekspos. Kasus yang terjadi di Purworejo tersebut mencuat karena diunggah ke media sosial dan menjadi viral.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kasus kekerasan di sekolah dalam bentuk perundungan yang dilaporkan ke KPAI dari 2011 hingga Agustus 2020 mencapai 1.878 kasus. Sebanyak 1.060 kasus adalah laporan sebagai korban bullying dan 818 kasus adalah sebagai pelaku bullying.
Kasus bullying ini, baik sebagai korban maupun pelaku, mendominasi (sebesar 40 persen) dari pengaduan bidang pendidikan selain kasus tawuran pelajar dan anak korban kebijakan (dikeluarkan karena hamil, pungli di sekolah, drop out, dan lainnya). Bahkan, bidang pendidikan ini berada di urutan ketiga terbanyak dari kasus perlindungan anak yang dilaporkan ke KPAI.

Dalam tataran global kasus perundungan siswa di Indonesia juga terekam masuk kategori tinggi. Dalam riset Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2018, Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara dengan siswa yang paling banyak mengalami perundungan. Sebanyak 41,1 persen siswa mengaku pernah mengalami kasus perundungan.
Bentuk perundungan yang paling banyak dilakukan adalah menghina atau mengolok-olok dan mencuri serta merusak barang milik siswa lain (masing-masing 22 persen). Adapun perbuatan mengucilkan 19 persen, mengancam 14 persen, memukul dan mendorong 18 persen, serta menyebarkan kabar/rumor yang buruk sebesar 20 persen.
Catatan angka-angka tersebut semakin menggambarkan bahwa bullying dekat dengan keseharian anak-anak bahkan bisa terjadi di lingkungan sekolah atau kampus yang notabene adalah tempat nilai-nilai luhur Pancasila ditanamkan, salah satunya untuk mengasihi sesama.
Baca Juga: Dari Guru, Ruang Perjumpaan Keberagaman Itu Diinisiasi di Sekolah
Perkuat toleransi
Meski demikian, selain sikap intoleransi yang masih ditemukan di ranah pendidikan, masih ada asa generasi muda akan bertumbuh menjadi generasi yang toleran dalam kebinekaan bangsa. Kabar baik ini paling tidak terlihat dari hasil sejumlah survei tentang toleransi beragama di kalangan anak muda.
Survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta terhadap 2.866 mahasiswa di 92 perguruan tinggi pada November-Desember 2020 memotret gambaran toleransi beragama di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia.
Terkait sikap, tujuh dari sepuluh responden mempunyai sikap toleransi yang tinggi dan sangat tinggi. Sementara dalam hal perilaku, mayoritas responden (88,78 persen) juga mengaku memiliki perilaku toleransi yang tinggi dan sangat tinggi.
Demikian juga dengan hasil jajak pendapat Kompas pada Juni 2019. Lebih dari separuh (54,8 persen) dari 646 responden mahasiswa di 30 kota sepakat bahwa keberagaman (suku, agama, bahasa, budaya, dan lainnya) yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan hal yang paling membuat mereka bangga menjadi warga negara Indonesia.
Sementara itu, sebanyak 34,4 persen mahasiswa tersebut menyatakan bahwa menjaga toleransi di antara perbedaan tersebut sebagai hal yang akan dilakukan untuk mewujudkan cintanya pada Indonesia.

Jauh sebelumnya, pada 2016, lembaga studi SETARA Institute juga pernah melakukan riset terkait toleransi siswa di Jakarta dan Bandung Raya. Hasil survei terhadap 760 responden ini memberikan gambaran bahwa terdapat 61,1 persen siswa yang masuk kategori toleran.
Dari beberapa hasil survei tersebut tak berlebihan jika dikatakan rasa nasionalisme masih ada di dada generasi muda penerus bangsa dan patut diapresiasi. Meski demikian, suara sebagian responden yang jiwa tolerannya masih rendah atau masuk kategori intoleran tidak bisa dianggap remeh.
Rasa toleran, cinta damai dan kesatuan harus terus dipupuk dan diperkuat, khususnya dalam lingkungan pendidikan. Memperdalam pendidikan karakter menjadi salah satu pendekatan pembelajaran agar nilai luhur Pancasila semakin dijiwai.
Baca Juga: Bongkar Persoalan Intoleransi di Sekolah
Pendidikan karakter
Pendidikan karakter yang merupakan pendidikan nilai, moral, budi pekerti bisa diperdalam melalui pendididikan Pancasila dan kewarganegaraan dengan penekanan pada praktik pengamalan, tidak sekadar pengetahuan. Dengan demikian, tercapai apa yang menjadi tujuan pendidikan nasional yang tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, tetapi juga berkepribadian atau berkarakter.
Sekolah bisa memfasilitasi praktik atau ”terapi” pengamalan toleransi untuk membentuk karakter baik dengan mengadakan kegiatan yang menumbuhkan rasa toleransi dan kebersamaan siswa. Kegiatan class meeting, membuat program seni, budaya, atau sosial bersama, atau hanya sekadar diskusi tentang suatu topik bisa melatih siswa untuk bekerja sama, menerima, dan menghargai perbedaan.

Ilustrasi perundungan
Praktik toleransi dinilai sebagai cara yang efektif dalam menumbuhkembangkan kesadaran untuk menghargai keberagaman, apalagi jika bisa menjadi budaya dari dunia pendidikan.
Diharapkan melalui pendidikan karakter ini akan terbangun fondasi yang kuat pada diri anak-anak bangsa sehingga kasus-kasus perundungan tidak akan terjadi lagi di dunia pendidikan. Sekolah ataupun kampus bisa menjadi tempat yang aman dalam menghadirkan serta mendukung sikap toleransi sebagai nilai pengamalan Pancasila. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Pengajaran yang Menghormati Semua