Meneropong Persoalan Penutupan Bisnis Ritel
Penutupan gerai ritel tak lepas dari beragam persoalan yang sedang membelit bisnis ritel di masa pandemi Covid-19.
Sektor ritel masih menghadapi tantangan bisnis di tengah kondisi ekonomi nasional yang mulai pulih akibat pandemi Covid-19. Pelaku usaha ritel perlu menemukan dan merumuskan solusi terbaik agar mampu bangkit dan tumbuh kembali. Pasalnya, kondisi bisnis ritel ke depan sebenarnya masih cukup menjanjikan.
Pandemi Covid-19 menyebabkan bisnis ritel di tanah air terguncang dalam 15 bulan terakhir. Selain dihadapkan pada lesunya penjualan, sektor ini menghadapi tantangan berupa pengeluaran yang lebih besar daripada penghasilan. Menghadapi situasi tersebut, tidak sedikit perusahaan yang merugi bahkan menutup usahanya.
PT Hero Supermarket Tbk (Hero Group) diberitakan akan menutup semua gerai hipermarket Giant per Juli 2021. Menurut rencana, lima gerai akan diubah menjadi gerai baru perlengkapan rumah tangga IKEA, sementara yang lainnya akan ditutup.
Sebelumnya, peritel besar lainnya sudah terlebih dahulu menutup sebagian atau semua gerainya akibat terimbas pandemi. Misalnya, PT Matahari Department Store yang menutup 25 gerai pada 2020 dan berencana kembali menutup 13 gerai tahun ini. Ada pula gerai ritel fashion Centro Department Store dan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat, selama pandemi lebih dari 400 minimarket menutup usahanya. Dari kelompok supermarket, selama periode Maret-Desember 2020, rata-rata ada 5-6 gerai terpaksa tutup setiap hari. Per Januari-Maret 2021 ini, rata-rata ada 1-2 toko yang tutup dalam sehari.
Banyaknya gerai ritel modern yang ditutup tentu bisa menciptakan efek berantai yang besar. Berbagai sektor industri yang terkait ritel juga akan terdampak. Salah satu yang terdampak langsung adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pasalnya, banyak UMKM yang mengandalkan ritel modern untuk memperdagangkan produknya.
Tutupnya gerai ritel berdampak pula terhadap meningkatnya angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Tutupnya semua gerai Giant per Juli 2021, misalnya, akan berdampak pada 3.000 karyawan yang berpotensi terkena PHK.
Adanya pemutusan hubungan kerja dan potongan gaji pada gilirannya akan mengurangi kemampuan daya beli masyarakat, khususnya di kalangan menengah ke bawah. Akibatnya, membuat konsumsi rumah tangga menurun. Selain itu, penutupan gerai ritel akan berdampak pada Purchasing Managers’ Index (PMI) yang saat ini berada di level 54,6 atau level ekspansif. Persoalannya karena barang seperti makanan dan minuman tidak bisa didistribusikan jika gerai ritel banyak yang ditutup.
Dampak lain dari penutupan gerai ritel modern bisa menghilangkan pendapatan negara. Selain itu, retribusi pendapatan daerah juga akan hilang. Terakhir, bagi pengusaha ritel, tutupnya gerai berarti pula hilangnya investasi yang berujung pada kerugian korporasi.
Faktor penyebab
Penutupan gerai ritel tersebut tak lepas dari beragam persoalan yang sedang membelit bisnis itu di masa pandemi Covid-19. Setidaknya ada empat hal yang menyebabkan tutupnya bisnis ritel, yaitu persoalan internal di perusahaan, kondisi pasar yang melemah, maraknya belanja daring, dan kebijakan pembatasan sosial pemerintah terkait pandemi Covid-19.
Secara umum, kebijakan pembatasan sosial selama pandemi Covid-19 ditengarai menjadi salah satu penyebab tutupnya sejumlah ritel di Tanah Air. Kebijakan pembatasan sosial berdampak langsung terhadap kegiatan ekonomi masyarakat, mengingat mobilitas orang menjadi terbatas. Akibatnya, penjualan pun turun drastis.
Apabila kondisi permintaan di pasar turun, dampaknya akan memukul sisi kemampuan keuangan pengusaha. Efisiensi usaha akan terganggu ketika ongkos yang dikeluarkan tidak sebanding dengan penerimaan.
Selain pembatasan aktivitas, tergerusnya konsumsi masyarakat menjadi faktor lain tutupnya sejumlah gerai. Konsumen yang biasa berbelanja cenderung menunda belanja. Pandemi membuat daya beli masyarakat melemah.
Di sisi lain, pembatasan sosial telah mengubah perilaku belanja konsumen dari belanja di pasar menjadi secara daring. Berbelanja secara daring telah menjadi alternatif di tengah kekhawatiran masyarakat terhadap merebaknya pandemi Covid-19.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penetrasi belanja daring yang tak dapat terlihat secara menyeluruh. Walau tercatat masih relatif kecil, sekitar 5 persen dari total ritel, pertumbuhan daring terus meningkat dari waktu ke waktu.
Di samping persoalan-persoalan tersebut, pelaku usaha ritel juga kesulitan mengakses stimulus dan insentif dari pemerintah. Beberapa insentif dari pemerintah untuk korporasi tidak didapat pengusaha ini, misalnya relaksasi kredit dan insentif listrik. Keringanan yang masih didapat sektor ritel adalah insentif Pajak Penghasilan.
Prospek bisnis
Kendati bisnis ritel belum menunjukkan pemulihan seperti yang diharapkan, kondisi bisnis tersebut ke depan diperkirakan cukup menjanjikan. Hal itu lantaran sektor ritel merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat.
Terdapat sejumlah indikator yang menguatkan harapan akan bangkitnya kembali bisnis ritel. Salah satunya adalah indikator terkait penjualan eceran dan konsumsi masyarakat yang mulai menunjukkan angka menjanjikan.
Bank Indonesia (BI) melaporkan hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) mengindikasikan peningkatan kinerja penjualan eceran secara bulanan (mtm) pada Maret 2021. Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Maret 2021 tercatat sebesar 187,9 atau tumbuh 6,1 persen (mtm), meningkat dari pertumbuhan bulan sebelumnya yang minus 2,7 persen (mtm).
Sementara pada April 2021, kinerja penjualan eceran baik secara bulanan maupun tahunan diprakirakan meningkat. Indeks Penjualan Riil April 2021 diprakirakan sebesar 209,3 atau secara bulanan tumbuh 11,4 persen (mtm) dari 6,1 persen (mtm) pada bulan sebelumnya.
Bank sentral menyebutkan peningkatan penjualan eceran diperkirakan sejalan dengan daya beli masyarakat yang meningkat saat Ramadhan, keadaan musim dan cuaca yang mendukung, serta banyaknya program diskon.
Sementara itu, per April 2021, kepercayaan konsumen juga kembali ke zona optimistis setelah satu tahun terakhir ini berada di zona pesimistis. Bank Indonesia mencatat, indeks keyakinan konsumen (IKK) pada April 2021 naik dari level 93,4 pada Maret 2021 menjadi level 101,5.
Selama pandemi terdapat lebih dari 400 minimarket yang menutup usahanya.
Menurut komponennya, keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan tetap berada pada level optimistis dengan indeks ekspektasi konsumen (IEK) sebesar 106,6.
Di samping keyakinan konsumen yang mulai membaik, program vaksinasi yang dilaksanakan sejak awal tahun ini menjadi harapan besar bagi dunia usaha. Program vaksinasi menjadi salah satu kunci untuk memastikan seberapa cepat sektor ritel akan pulih. Semakin cepat vaksinasi maka kemungkinan untuk cepat bangkit akan sangat besar.
Terlebih, Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) bekerja sama dengan pemerintah akan melakukan vaksinasi Covid-19 terhadap 500.000 pegawai di sektor ritel pada Juni ini. Vaksinasi itu masuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Baca juga: Tutup Gerai karena Terimbas Pandemi Covid-19
Harapan lain, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan rencana pemerintah memberikan insentif fiskal berupa relaksasi perpajakan untuk sektor ritel termasuk pusat perbelanjaan.
Dengan ditunjang kebijakan pemerintah yang tepat, daya beli masyarakat bisa diselamatkan dan sektor ritel bisa bangkit kembali karena kemampuan berbelanja masyarakat meningkat. Dengan demikian, bisnis ritel diharapkan bisa bangkit dan tumbuh kembali. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Terdampak Pandemi, Ritel di Titik Nadir