Toleransi menjadi nilai yang perlu direnungkan di peringatan hari lahir Pancasila. Langkah berat melalui krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19 akan terasa ringan dengan pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Oleh
Arita Nugraheni
·4 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Kampanye toleransi antar-umat beragama terus disuarakan publik, salah satunya melalui mural yang tergambar di kawasan Meruyung, Depok, Jawa Barat, Jumat (14/5/2021).
Toleransi menjadi nilai yang perlu direnungkan setiap kali peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni. Langkah berat melalui krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19 akan terasa ringan jika diiringi sikap saling menghormati perbedaan.
Di atas kertas, iklim toleransi di Indonesia tercatat baik. Meski demikian, sejumlah indikator masih membutuhkan akselerasi perbaikan. Narasi keberagaman dan penghormatan pada perbedaan belum muncul dalam regulasi daerah. Nuansa intoleransi juga masih tera dalam komunikasi pejabat pemerintah.
Capaian Indonesia dalam menciptakan kerukunan, toleransi, dan kesetaraan berada di kategori tinggi. Laporan Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB) pada 2019 mencatatkan skor 73,83 dari skala 0-100. Tiga provinsi dengan capaian terbaik adalah Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bali dengan skor di atas 80.
Capaian ketiga provinsi tersebut disumbang oleh dimensi toleransi dan kesetaraan. Papua Barat secara khusus memiliki kekuatan unggulan yang menopang pencapaian ini, yakni pola pendidikan keluarga dalam hal agama, moral, dan kebinekaan yang baik serta implementasi kearifan lokal.
Dalam pengukuran lain, tingkat toleransi tecermin dalam variabel ”kebebasan dari diskriminasi” dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Laporan tahun 2019 menunjukkan skor variabel ini mencapai 92,35 atau naik 3,43 poin dari sepuluh tahun lalu.
Iklim toleransi di level kota turut dipetakan oleh Setara Institute melalui Indeks Kota Toleran (IKT). Wajah toleransi kota mengalami perbaikan dalam dua tahun terakhir. Laporan IKT tahun 2020 menunjukkan skor kota di peringkat pertama lebih tinggi dibandingkan skor pada tahun 2018. Pada tahun 2020, Kota Salatiga berada di peringkat teratas dengan skor 6,717. Sementara pada 2018, Kota Singkawang berada di peringkat satu dengan skor 6,513.
Kota Salatiga unggul dalam lima dari delapan indikator yang diukur dalam IKT. Pencapaian mencolok Kota Salatiga dibandingkan kota lainnya terlihat dari regulasi rencana pembangunan daerah yang inklusif di mana toleransi mendapatkan perhatian serius.
Di tengah wajah toleransi Indonesia yang makin menyejukkan, sejumlah hal masih menjadi batu sandungan. Dalam IKUB, dimensi toleransi cenderung rendah dibandingkan dimensi lainnya.
Toleransi yang didefinisikan sebagai kondisi saling menerima dan menghormati perbedaan hanya mencatatkan skor 72,37, paling rendah dibandingkan dimensi kerukunan dan kesetaraan.
Pada variabel ”kebebasan dari diskriminasi” yang diukur dalam IDI, jumlah pernyataan pejabat yang bernuansa diskriminasi menunjukkan peningkatan, yang menyebabkan capaian indeks menurun. Indikator ini memburuk setidaknya dalam dua tahun terakhir.
Dalam IDI juga ditemukan variabel ”kebebasan berkeyakinan” yang tidak membaik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, variabel ini mencetak skor 90,67. Tahun ke tahun capaian skor menurun hingga pada 2019 tercatat skor 83,03 atau turun 7,64 poin.
Aturan, tindakan pejabat, dan ancaman kelompok tertentu yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama menjadi penghambat capaian dalam kebebasan berkeyakinan.
Kompas/Priyombodo
Warga melintasi mural wajah mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur di Jalan H Ba\'an, Poris Plawad Indah, Kota Tangerang, Banten, Minggu (16/5/2021). Sosok Gus Dur terkenal dengan toleransi dan pluralismenya.
Setali tiga uang, kurangnya perhatian di level birokrasi dalam toleransi juga terekam di daerah. Laporan Setara Institute pada 2020 menunjukkan 86 persen dari 94 kota di Indonesia belum memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang inklusif memayungi aspek toleransi dan kerukunan.
Ditemukan pula 61,7 persen kota masih memiliki kebijakan yang diskriminatif. Sebagian dari regulasi yang diskriminatif merupakan kebijakan turunan dari provinsi.
Data di atas menunjukkan peraturan serta tindakan dan ujaran pejabat publik memiliki peran penting dalam upaya menghadirkan ekosistem yang toleran. Kredo menjaga kesatuan dan menghormati perbedaan diharapkan tidak hanya menjadi jargon semata.
Perlu katalisator
Wajah toleransi kota cenderung tidak berubah dalam dua tahun terakhir. Kota dengan capaian IKT rendah pada tahun 2018 juga masih berada di jajaran bawah pada tahun 2020. Kota-kota dengan tingkat toleransi rendah tersebut di antaranya adalah Banda Aceh, Tanjung Balai, Jakarta, Cilegon, Padang, Depok, Bogor, Makassar, Medan, dan Sabang.
Jika disandingkan, kota-kota dengan capaian IKT terendah merupakan kota-kota yang tersebar di provinsi dengan capaian IKUB rendah pula, seperti Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Temuan ini menunjukkan angka pencapaian toleransi yang ”lumayan” di level nasional tidaklah membuktikan Indonesia telah ramah bagi perbedaan.
Sebanyak tujuh dari sepuluh kota dengan capaian terendah IKT juga merupakan kota besar berstatus ibu kota provinsi. Artinya, intoleransi bisa terjadi di daerah dengan status ekonomi dan sosial yang sudah baik. Temuan ini kembali menyumbang argumen pada pentingnya kehadiran pemerintah sebagai katalisator perdamaian dan penghargaan pada perbedaan.
Secara khusus, Kota Banda Aceh mendapatkan catatan penting di tengah capaiannya sebagai kota paling intoleran. Kebijakan dan komunikasi publik pemerintah daerah setempat menjadi catatan mencolok dalam penguatan iklim toleransi. Kebijakan pemerintah yang eksklusif memayungi kelompok tertentu berpotensi mengingkari nilai-nilai ideologi bangsa, Pancasila. (LITBANG KOMPAS)