Dilema Bersepeda di Jakarta
Hanya karena sikap arogan sejumlah pesepeda, citra pesepeda menjadi buruk di mata masyarakat. Menggunakan jalanan adalah hak tiap warga dan berbagi jalan adalah etikanya.
Pandangan warga, khususnya di Jakarta, mungkin berubah negatif melihat tingkah para pesepeda yang memakan badan jalan. Menaati aturan dan beretika di jalanan masih perlu jadi perhatian warga urban.
Viralnya foto pengendara sepeda motor yang mengacungkan jari tengah kepada kelompok pesepeda balap, Sabtu (29/5/2021), menjadi sorotan warganet. Dalam foto tersebut tampak para pesepeda melaju secara berkelompok dan hampir menutup ruas jalan bagi pengguna lain. Sementara si pengendara sepeda motor terlihat menerobos melewati rombongan pesepeda dan mengacungkan jari tengah sambil melihat ke belakang.
Perdebatan di jagat sosial media pun bergulir. Mereka yang membela para pesepeda menyalahkan tindakan tidak terpuji dari pengendara motor yang mengacungkan jari tengah. Mereka pun mengkritik tindakan para pengguna jalan di Jakarta yang memang sering kali tidak menghormati pengguna jalan lain.
Berseberangan dengan pandangan itu, warganet yang membela si pesepeda motor menilai bahwa kelompok pesepeda telah melakukan tindakan arogan. Memang, dalam foto tersebut terlihat para pesepeda balap peleton (berkelompok) tidak menggunakan jalur khusus sepeda yang telah disediakan dan menghalangi pengguna jalan raya lainnya.
Segera, perwakilan komunitas pesepeda balap dalam foto tersebut memberikan klarifikasi di akun media sosial mereka. Pengakuannya, saat itu mereka bersepeda di jalur kanan untuk melewati lalu lintas turun di Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Hal itu dilakukan karena adanya bus yang menyeberang ke underpass Dukuh Atas tersebut, tetapi pengemudi sepeda motor muncul tiba-tiba dari belakang.
Berhadapan dengan isu ini, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menyatakan bahwa para pesepeda tersebut sebenarnya telah melanggar aturan lalu lintas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, para pesepeda wajib menggunakan jalur paling kiri karena kecepatan sepeda di bawah kendaraan bermotor. Apalagi, di sepanjang jalan tersebut telah disediakan jalur khusus sepeda.
Sementara itu, Dirlantas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo mengimbau semua pengguna jalan untuk saling menghormati saat berkendara. Menurut dia, pengguna jalan jangan bersikap arogan dengan menguasai seluruh ruas jalan. Dengan pernyataan ini, para pesepeda dalam foto tersebut dengan jelas telah menyalahi aturan dan tidak memberikan ruang bagi pengguna jalan lain.
Hingga Senin (31/5/2021), Sambodo tengah mengkaji sanksi sita sepeda bagi para pesepeda yang melaju di luar jalur khusus yang telah disediakan. Sambodo menjelaskan, dasar tilang terhadap pesepeda ini sudah tertuang pada Pasal 299 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Akan tetapi, semua aturan ini perlu diperhitungkan lebih jauh lagi dan menjadi jalan terakhir yang akan ditempuh oleh pihak kepolisian.
Bersepeda menjadi solusi terbaik bertransportasi sekaligus berolahraga bagi sejumlah kalangan. Seiring itu, aturan dan penindakan perlu beradaptasi dengan merebaknya ”virus” bersepeda di jalanan Ibu Kota bagi sejumlah warga di tengah pandemi Covid-19. Lagi pula, jalanan di Jakarta belum sepenuhnya ramah bagi para pesepeda.
Jalur sepeda
Aturan tilang terhadap pesepeda perlu diperhitungkan dengan baik dan diimbangi dengan tersedianya fasilitas yang memadai dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sejak 2011 dan berlanjut pada 2019, Pemprov DKI Jakarta telah menggelontorkan biaya besar untuk membangun jalur sepeda di beberapa ruas jalanan. Tujuannya, mendorong iklim bertransportasi yang ramah lingkungan dan menjaga keamanan para pesepeda.
Pada 22 Mei 2011, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo telah meresmikan jalur sepeda pertama di Ibu Kota. Jalur tersebut terbentang dari Jalan Mahakam (Taman Ayodya) ke Jalan Prapanca Raya (Kantor Wali Kota Jakarta Selatan) dengan jarak 2 kilometer. Selanjutnya, pembangunan jalur sepeda sepanjang 2 kilometer di bilangan Jakarta Selatan, dilanjutkan dari Jalan Iskandarsyah sampai Jalan Prapanca Raya.
Setelah dua lajur itu tersedia, Pemprov DKI Jakarta melanjutkan pembangunan jalur sepeda di dua ruas. Keduanya berada di sepanjang Cipinang hingga Pondok Kopi atau di area Kanal Banjir Timur/KBT (sekitar 6,7 kilometer) dan sepanjang jalan Pondok Kopi hingga Marunda (14 kilometer).
Pada 2019, pembangunan jalur sepeda kembali dilanjutkan dalam tiga fase selama tiga bulan pengerjaan, mulai dari September hingga November 2019. Kala itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan bahwa jalur sepeda sepanjang 63 km itu berada di ruas-ruas jalan yang diterapkan ganjil genap. Pertimbangannya, volume kendaraan bermotor di ruas-ruas jalan itu tidak lagi tinggi.
Uji coba fase pertama jalur sepeda meliputi Jalan Medan Merdeka Selatan, Jalan MH Thamrin, Jalan Imam Bonjol, Jalan Pangeran Diponegoro, Jalan Proklamasi, Jalan Pramuka, dan Jalan Pemuda. Panjang lintasan fase pertama 25 km.
Untuk fase kedua, lintasannya meliputi Jalan Sudirman, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Panglima Polim, dan Jalan RS Fatmawati Raya. Kemudian, fase ketiga adalah Jalan Tomang Raya, Jalan Cideng Timur, Jalan Kebon Sirih, Jalan Matraman Raya, Jalan Jatinegara Barat, dan Jalan Jatinegara Timur.
Karena animo bersepeda yang tinggi saat pandemi Covid-19, uji coba jalur sepeda mulai diberlakukan di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat. Sejak Maret 2021, uji coba jalur ini menggunakan pot tanaman dari beton (planter box) sebagai pembatas jalur permanen. Hingga kini, jalur sepanjang 11,2 kilometer ini menjadi favorit para pesepeda.
Paling baru, Pemprov DKI Jakarta melakukan uji coba road bike jalan layang nontol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang, Minggu (23/5/2021). Uji coba tersebut dilakukan pukul 05.00 hingga 08.00. Namun, uji coba ini khusus untuk tipe pesepeda balap karena memiliki kecepatan tinggi.
Akan tetapi, uji coba terbaru itu turut mengundang kontroversi di masyarakat. Pasalnya, JLNT Kampung Melayu-Tanah Abang selama ini dilarang dilintasi oleh kendaraan roda dua.
Alasannya, jalur sepanjang 2,3 km tersebut dibangun dengan ketinggian 18 meter dari permukaan tanah sehingga berpotensi memberikan tekanan angin besar bagi pengendara yang melintas. Tentu saja, digunakannya JLNT tersebut bagi pesepeda balap meninggalkan tanda tanya besar.
Lagi pula, jalur sepeda yang secara baik dibangun di Jakarta hanya meliputi ruas-ruas jalan tertentu saja. Ada jalur-jalur sepeda yang belum memadai, misalnya di ruas Jalan Pramuka Raya hingga Matraman, Jakarta Timur. Di sana, jalur sepeda kerap digunakan sebagai lahan parkir kendaraan lain dan di beberapa titik dibangun di atas menimpa saluran air.
Ada juga jalur sepeda yang dibangun di atas trotoar yang tidak rata dan sering dihuni pedagang kaki lima atau dijadikan lapak penjual makanan, seperti di ruas Jalan Senen Raya ke arah Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Alhasil, pesepeda tipe sepeda balap (road bike) harus turun ke jalan aspal dan berbagi jalan dengan pengguna jalan lain.
Belum lagi di satu sisi, pengendara kendaraan bermotor kerap merampas jalur khusus tersebut. Para pesepeda yang rutin beraktivitas di jam-jam kerja masih menunggu ketegasan pihak kepolisian lalu lintas untuk menindak pengendara kendaraan bermotor yang menggunakan jalur khusus sepeda. Di sisi lain, pembangunan jalur sepeda memang memangkas badan jalan yang sebelumnya sudah dipersempit dengan jalur khusus Transjakarta.
Inilah sebuah dilema untuk dapat bertransportasi yang sehat serta ramah lingkungan di ruas-ruas jalan Ibu Kota. Perlu diakui, Jakarta masih jauh dari kota yang dibangun berbasis lingkungan dan memprioritaskan pejalan kaki, kaum difabel, serta pesepeda. Sebab, pada dasarnya, kemajuan pembangunan fisik suatu kota perlu juga diimbangi oleh kemajuan mentalitas warganya.
Etika berpeleton
Menyadur obrolan Azrul Ananda, mantan CEO Jawa Pos sekaligus pegiat olahraga sepeda, para pesepeda yang gowes secara berkelompok atau berpeleton perlu menerapkan etika di jalanan. Seturut topik yang ia bawakan bersama Jhonny Ray, pegiat olahraga sepeda, di kanal Youtube miliknya, etika bersepeda secara berpeleton ini maksimal menggunakan dua baris di sebelah kiri jalan dengan laju cepat dan konsisten.
Para pesepeda wajib menggunakan jalur paling kiri karena kecepatan sepeda di bawah kendaraan bermotor.
Bersepeda dengan model ini tidak dilakukan oleh sembarang komunitas sepeda karena memerlukan latihan dan komitmen menaati aturan di jalanan. Para pesepeda ini juga harus mengalahkan ego dan bersikap tidak arogan di jalanan.
Mengalahkan ego artinya para pesepeda dalam peleton sebisa mungkin melaju dengan kecepatan konsisten dan tidak saling mendahului. Sementara bersikap tidak arogan berarti menghormati dan berbagi dengan pengguna jalan lain.
Selain kiat yang dibagikan oleh Azrul Ananda, baik pesepeda maupun pengguna jalan harus melihat jalan raya sebagai ruang publik. Selayaknya ruang publik, semua warga negara memiliki kedudukan dan status yang sama sehingga perlu saling berbagi jalan.
Baca juga : Menebak Arah ”Booming” Sepeda Setelah Pandemi
Hal ini juga berlaku bagi pengendara lain yang biasanya melaju secara berkelompok, seperti para pengendara motor besar (moge) yang kerap menggunakan jasa polisi patroli dan pengawalan (patwal).
Sikap arogan dan menyalahi aturan dari pengguna jalan selalu mengakibatkan kerugian bagi pengguna jalan lain. Bahayanya, kecelakaan di jalan raya tentu membahayakan keselamatan fisik hingga berujung kematian para korbannya. Akhirnya, idiom lama dapat menjadi pengingat, ”Anything can happen on the road”. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Potensi Pesepeda Komuter di Jabodetabek