Korupsi Subur di Daerah Pemekaran
Hadirnya daerah pemekaran atau daerah otonom baru cenderung kurang produktif. Alih-alih menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat, daerah hasil pemekaran menjadi ladang subur tindak pidana korupsi.
Penambahan daerah otonom baru atau DOB hasil dari pemekaran wilayah dalam kurun dua dekade terakhir masih kontraproduktif. Alih-alih menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat, daerah hasil pemekaran menjadi ladang subur tindak pidana korupsi.
Di 70 DOB dari 217 DOB tingkat kabupaten/kota, sebanyak 78 kepala daerah tersangkut masalah korupsi. Korupsi bahkan terjadi di saat pandemi terkait dengan dana penanganan Covid-19.
Selama periode 1999-2014, pemekaran wilayah menghasilkan 215 kabupaten/kota baru. Jumlah ini sama dengan pertambahan 42 persen yang menjadikan total kabupaten dan kota di Indonesia menjadi 514 kabupaten/kota pada 2014.
Baca juga : Jangan Ada Lagi Raja-raja Kecil Perampas Uang Rakyat
Ditambah dua kabupaten yang dimekarkan pada 1998, jumlahnya menjadi 217 kabupaten/kota baru. Untuk setingkat provinsi, bertambah delapan provinsi baru. Tahun 2015, keran pemekaran wilayah ditutup alias moratorium pemekaran diberlakukan hingga sekarang.
Pelimpahan kewenangan kekuasaan dari pusat ke daerah diikuti dengan desentralisasi fiskal melalui transfer ke daerah untuk mendorong kemajuan daerah. Jumlah dana yang ditransfer ke daerah, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, tumbuh rata-rata 13 persen per tahun sejak tahun 2000.
Jika pada 2000 jumlah transfer ke daerah sebesar Rp 33,1 triliun, tahun 2021 jumlahnya menjadi Rp 795,5 triliun, sudah termasuk di dalamnya jumlah dana desa.
Anggaran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) mengambil porsi hingga sepertiga dari belanja APBN. Salah satu tujuan dikucurkannya TKDD ini adalah untuk mengurangi ketimpangan pendanaan pembangunan di daerah.
Sayangnya, desentralisasi kekuasaan dan fiskal ini juga diikuti dengan desentralisasi korupsi yang menjadi sisi gelap dari otonomi daerah. Korupsi di DOB bak jamur di musim hujan. Korupsi terjadi berulang kali. Bahkan, banyak yang melibatkan kepala daerahnya.
Hasil penelusuran Litbang Kompas terhadap 217 DOB, ditemukan sebanyak 70 kabupaten/kota dengan 78 kepala daerahnya tersangkut kasus korupsi. Artinya, 3 dari 10 DOB, kepala daerahnya terjerat masalah hukum karena menyelewengkan kewenangannya.
Di 70 DOB kabupaten/kota tersebut terjadi sebanyak 78 kasus kepala daerah yang ditangkap karena korupsi. Hal ini menunjukkan ada korupsi di satu DOB yang dilakukan oleh dua bupati yang berbeda periode masa kepemimpinan.
Baca juga : Seperempat Abad Otonomi Daerah, Pemda Masih Bergantung pada Keuangan Pusat
Jumlah kasus ini akan lebih besar jika korupsi selain oleh kepala daerah juga ikut dihitung. Hal ini oleh karena jajaran di bawah kepala daerah, yakni tingkat kepala dinas dan sebagainya, serta anggota dewan daerah, juga banyak yang terlibat korupsi.
Korupsi masa pandemi
Kasus korupsi oleh kepada daerah pemekaran yang terbaru terungkap April lalu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Bupati Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, periode 2014-2019 Sri Wahyumi Maria Manalip pada 29 April 2021.
Sri Wahyumi Maria Manalip menjadi tersangka dalam perkara dugaan korupsi penerimaan gratifikasi terkait dengan proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Kepulauan Talaud tahun 2014-2017 (Kompas.com, (29/4/2021). Kabupaten Kepualuan Talaud terbentuk tahun 2002, hasil pemekaran dari Kabupaten Sangihe.
Penangkapan ini menambah daftar kepala daerah pemekaran yang ditangkap di masa pandemi. Sebelumnya, KPK pada 1 April 2021 menetapkan Bupati Bandung Barat, Jawa Barat, Aa Umbara Sutisna sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan barang tanggap darurat bencana pandemi Covid-19 tahun 2020. Anaknya, bernama Andri Wibawa, juga ikut menjadi tersangka.
Aa Umbara Sutisna, Bupati Bandung Barat terpilih tahun 2018, diduga menerima uang sekitar Rp 1 miliar dari kegiatan pengadaan barang tersebut (Kompas, 3/4/2021). Kabupaten Bandung Barat terbentuk tahun 2007, hasil dari pemekaran Kabupaten Bandung.
Menariknya, Aa Umbara Sutisna merupakan bupati kedua di Kabupaten Bandung Barat yang diciduk KPK. Sebelumnya, ada Abu Bakar, Bupati Bandung Barat yang terpilih untuk dua periode, yaitu 2008-2013 dan 2013-2018, juga diciduk KPK pada tahun 2018.
Baca juga : Tunjuk Anak dalam Pengadaan Sembako, Bupati Bandung Barat Jadi Tersangka
Abu Bakar disebut meminta para kepala SKPD untuk mengumpulkan uang guna membiayai pencalonan istrinya dalam Pilkada 2018. Ia menerima uang senilai Rp 1,29 miliar dan dihukum 5,5 tahun penjara. Abu Bakar meninggal dunia pada 2019 saat menjalani hukuman.
Pada tahun 2020 terdapat sejumlah bupati/wali kota daerah pemekaran yang ditangkap KPK. Mereka adalah Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna, Wali Kota Dumai Zulkifli AS, Bupati Labuhanbatu Utara Khairuddin Syah Sitorus, Bupati Kutai Timur Ismunandar, dan Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo.
Sebaran korupsi
Tidak terlalu menunggu lama, korupsi oleh kepala daerah di daerah pemekaran mulai terkuak sejak 2004, selang lima tahun sejak pemekaran dilakukan pada 1999.
Kepala daerah otonom baru yang pertama kali ditangkap adalah Bupati Sarolangun (Jambi) HM Madel yang menjadi tersangka korupsi dana pembangunan dermaga ponton senilai Rp 3 miliar. Juga ada Wali Kota Langsa (Aceh) Azhari Aziz dalam kasus korupsi senilai Rp 16,5 miliar. Keduanya tahun 2004.
Hampir di semua provinsi yang memiliki daerah pemekaran terdapat kasus kepala daerah yang terjerat korupsi. Kecuali di tiga provinsi, yaitu DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Selatan.
Secara regional, kasus korupsi kepala daerah di daerah pemakaran lebih banyak terjadi di provinsi-provinsi di Sumatera (29 kabupaten/kota atau 41,4 persen). Daerah pemekaran memang lebih banyak terdapat di pulau ini, yaitu 80 kabupaten/kota atau 37 persen dari total DOB.
Jika dilihat berdasarkan periodisasi waktu, frekuensi penangkapan kepala daerah hasil pemekaran ini sama banyaknya, baik sebelum maupun sesudah moratorium pemekaran diberlakukan.
Sebelum moratorium terdapat sebanyak 48 kasus selama periode 2004-2014 (sebelas tahun). Sementara sebanyak 30 kasus lainnya terjadi pada periode 2015-2021 atau selama tujuh tahun.
Terdapat delapan DOB yang kasus korupsinya melibatkan dua bupati/wali kota berbeda periode. Daerah tersebut adalah Kabupaten Bireuen (Aceh), Toba Samosir (Sumatera Utara), Rokan Hulu (Riau), Bandung Barat (Jawa Barat), Penajam Paser Utara (Kalimantan Timur), Seram Bagian Timur (Maluku), Kepulauan Sula (Maluku Utara), dan Kota Cimahi (Jawa Barat).
Korupsi berulang di satu daerah yang sama oleh dua bupati/wali kota beda periode ini semakin mengonfirmasi daerah menjadi bancakan bagi kepala daerah untuk memperbesar pundi-pundi. Penangkapan koruptor tidak menimbulkan efek jera bagi yang lainnya dengan posisi yang sama.
Modus tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah pemekaran ini tidak jauh berbeda dengan modus korupsi oleh kepala daerah bukan di daerah pemekaran.
Umumnya korupsi terkait dengan penyalahgunaan anggaran daerah (APBD), penyuapan untuk mendapatkan proyek pemerintah, penyuapan terkait perizinan atau pemanfaatan hutan/lahan/tanah, atau penyalahgunaan aset daerah. Ada juga korupsi terkait penyusunan peraturan daerah dan korupsi penanganan perkara sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Hal lain yang menjadi catatan buruk bagi otonomi daerah adalah pelaku korupsi yang selain merupakan kepala daerah, ia juga sebenarnya inisiator dari pembentukan daerah yang dipimpinnya. Kasus seperti ini terjadi di Kabupaten Batu Bara (Sumatera Utara).
Bupati OK Arya Zulkarnain, tersangka korupsi terkait proyek pembangunan Jembatan Sentang di Kelurahan Labuhan Ruku tahun anggaran 2017, sesungguhnya adalah orang yang berjasa di dalam upaya pemekaran Kabupaten Batu Bara dari Kabupaten Asahan.
Baca juga : Moratorium Pemekaran Daerah Dikawal
Ia terlibat dalam persiapan pembentukan Kabupaten Batu Bara sejak 2002, yang akhirnya terwujud pada 2007. Sosok pejuang pemekaran ini kemudian terpilih sebagai bupati selama dua periode melalui jalur perseorangan. Nasibnya berbalik arah setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadapnya pada 2017.
Ironi dan catatan buruk yang mewarnai desentralisasi kekuasaan menggambarkan bahwa tujuan otonomi daerah telah melenceng. Bukan kesejahteraan yang dinikmati masyarakat, melainkan segelintir orang yang mencari kesempatan mengeruk untung dan memperkaya diri sendiri. (LITBANG KOMPAS)