”Why We Swim”, Ajakan Menyelami Kehidupan Air
Dari kisah inspiratif yang dikumpulkan dan pengalaman pribadinya, Bonnie Tsui menegaskan tidak ada alasan untuk tidak berenang.
Ekosistem air menjadi lingkungan paling dekat dengan manusia. Namun, sebagian besar masyarakat belum berinteraksi mendalam dengan ekosistem air. Melalui bukunya, Bonnie Tsui mengajak pembaca menyelami air secara lebih mendalam.
Ada beberapa alasan mengapa manusia harus memiliki kemampuan berenang dan beradaptasi untuk hidup bersama dengan air. Salah satu sebabnya, karena luasnya air yang mengelilingi tempat manusia berpijak. Luas lautan sekitar 72 persen dari permukaan Bumi.
Dari luasnya bentang air di Bumi tersebut terdapat sekitar 40 persen dari populasi dunia yang tinggal dalam jarak 60 mil dari pesisir laut. Bukan hanya kondisi alam yang menggambarkan bahwa manusia sangat dekat dengan ekosistem air dan lautan. Aktivitas keseharian manusia juga banyak memerlukan air, seperti mandi, mencuci, hingga minum.
Latar belakang tempat hidup dan aktivitas manusia yang dikelilingi air menjadikan lingkungan air begitu dekat dengan kehidupan manusia. Namun, bukan hanya itu yang menjadi penyebab pentingnya manusia berinteraksi lebih banyak dengan air.
Bonnie Tsui, jurnalis perempuan di AS yang juga seorang perenang, memaparkan lima alasan lain di luar faktor lingkungan alam di atas yang membuat pentingnya interaksi manusia dengan dunia air. Kelima hal tersebut ia tuangkan dalam lima bagian bukunya, Why We Swim, yaitu upaya bertahan hidup, kebahagiaan, komunitas, kompetisi, dan aliran kehidupan.
Dalam bagian Survival yang menjadi pembuka tulisan, Tsui memperkenalkan relasi kemampuan berenang dengan eksistensi manusia untuk bertahan hidup. Ia mencontohkan melalui sejumlah kisah daya juang manusia saat di air. Salah satunya adalah cerita nelayan asal Eslandia, Gudlaugur Fridporsson, yang harus berjuang di tengah luasnya lautan Atlantik Utara setelah perahunya terbalik pada 1984.
Dengan segala daya, Fridporsson mampu bertahan setelah berenang selama enam jam melintasi lautan Atlantik Utara yang dingin. Jika dihitung, jarak yang ditempuh Fridporsson saat berenang sejauh 3,5 mil sebelum mencapai daratan.
Ada pula kisah Diana Nyad, perenang jarak jauh asal Amerika Serikat. Pada 2012, perenang berusia 63 tahun tersebut berhasil menjadi orang pertama yang melintasi Selat Florida dari Kuba ke AS. Diana Nyad berhasil berenang sejauh 166 km di lautan yang terkenal dengan populasi ikan hiu.
Di luar daya juang Fridporsson dan Nyad, masih banyak kisah kehidupan nyata para perenang dan penyelam dari seluruh dunia ditampilkan dalam buku Why We Swim ini. Pengalaman inilah yang dijadikan Bonnie Tsui sebagai ”surat cinta” kepada khalayak untuk lebih banyak bermain air dengan berenang.
Bukan tanpa alasan ia mengajak mencintai air dan lautan, karena manusia adalah makhluk yang hidup di darat. Manusia juga bukanlah perenang yang lahir secara alami. Namun, jejak kehidupan manusia juga membuktikan bahwa manusia memiliki kedekatan dengan dunia air.
Sejarah air
Kedekatan itu ditelusuri Tsui melalui riset literatur dan wawancara dengan sejumlah ahli dan diuraikan dalam linimasa stone age swimming. Jejak perdana aktivitas berenang yang dilakukan manusia ditemukan di sebuah goa di Mesir pada tahun 1933. Di dalam goa yang disebut sebagai The Cave of Swimmers itu terpahat lukisan era Neolitikum yang menggambarkan sekelompok manusia dengan posisi berada di kedalaman air.
Jejak lain diungkapkan oleh ahli paleontologi yang menyebutkan penduduk Sahara di era Green Sahara sekitar 10.000 tahun lalu menyelam ke danau untuk mengumpulkan kerang dan ikan. Demikian pula dengan jejak manusia Neanderthal yang berusia sekitar 28.000 tahun, ditemukan petunjuk aktivitas manusia Neanderthal berburu ke dalam laut.
Bukti kemahiran manusia berenang dan menyelam terus berlangsung hingga saat ini. Bonnie Tsui memberi contoh kemampuan Suku Bajau (Bajo) menyelam di perairan antara Filipina dan Indonesia. Sebagai suku pengembara laut atau nomaden, orang-orang Bajau memiliki kemampuan menyelam di laut hingga puluhan meter hanya berbekal peralatan sederhana.
Secara fisik, kemampuan suku Bajau ini didukung kepemilikan organ limpa yang 50 persen lebih besar pada suku Bajau dibandingkan orang dari suku-suku lainnya di Indonesia. Kapasitas limpa tersebut membuat kemampuan melepas oksigen di darah lebih banyak saat mereka menahan napas ketika menyelam ke laut.
Kemampuan suku Bajau ini disebut Bonnie Tsui sebagai sebuah pelajaran berharga dari suku pengembara lautan (lesson from a sea nomad) bagi manusia untuk berenang dan menyelam. Semakin banyak digunakan untuk menyelam, organ-organ tubuh manusia dapat beradaptasi untuk mendukung kemampuan berenang.
Kesadaran berlatih dan mengembangkan keterampilan berenang hingga menyelam inilah yang ditegaskan Bonnie Tsui karena manusia tidak diberi karunia alami sebagai perenang.
Dengan memiliki keahlian berenang, manusia patut merayakan kegembiraan karena mampu mengembangkan diri di luar kemampuannya sebagai makhluk darat yang menghirup oksigen dengan paru-paru. Bukan saja untuk bertahan hidup sebagaimana kisah nelayan Fridporsson, kemampuan berenang bisa menjadi salah satu metode terapi penyembuhan, bahkan menjadi cara menuju kebahagiaan.
Tsui memperlihatkan, kebahagiaan tersebut dapat terlihat dari kegiatan berenang bersama anggota komunitas, tim, atau klub. Melalui aktivitas komunitas ini dunia air menciptakan ruang bagi manusia untuk bermain. Selain memiliki fungsi komunitas, berenang juga memiliki dimensi kompetitif yang membantu manusia menguji kemampuan dan keberaniannya. Aspek competitiveness ini dapat dilakukan melalui perlombaan di kolam renang atau perairan terbuka.
Bagian terakhir yang diuraikan buku ini sebagai alasan untuk berenang adalah aspek ketenangan pikiran. Aktivitas berenang memiliki dimensi ketenangan pikiran. Menemukan ritme dari gerakan-gerakan renang di dalam air layaknya juga menemukan aliran kehidupan. Aliran kehidupan yang tenang dapat membuka imajinasi jernih manusia tentang dunia.
Dari aspek ini, tidak heran jika Tsui juga menyebut manfaat berenang sebagai terapi penyembuhan. Bahkan, ada model meditasi air sebagai sarana menenangkan pikiran manusia agar dapat lebih jernih mengarungi kehidupan.
Terapi bahagia
Kisah inspiratif yang disajikan Bonnie Tsui menjadi kekuatan utama buku ini. Dari jejak sejarah hingga capaian kemampuan berenang manusia modern saat ini, menjadi ajakan hangat bagi pembaca untuk berkenalan dan mengarungi lebih dalam dunia air.
Aspek-aspek manfaat tersebut sebenarnya sudah banyak diuraikan dalam buku-buku renang lainnya, seperti Waterlog, Learn to Swim, Waterman, atau Eat Right Swim Faster. Kekhasan buku ini yang melibatkan riset data dan penelitian lapangan seharusnya dapat dielaborasi lebih mendalam untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap aktivitas dan olahraga renang.
Baca juga : Olahraga yang Aman bagi Penderita Sakit Pinggang
Alasan-alasan mengapa harus berenang yang diungkapkan melalui buku ini bukan saja menjadi gambaran ajakan dari Bonnie Tsui untuk berenang, melainkan juga seruan membagikan kisah atau pengalaman tentang aktivitas berenang itu sendiri.
Dari kisah inspiratif yang dikumpulkan dan pengalaman pribadinya, Bonnie Tsui menegaskan tidak ada alasan untuk tidak berenang. Di akhir bukunya, ia mengutip kata-kata Oliver Sacks, seorang dokter yang juga memiliki hobi renang, untuk melukiskan perasaannya: ”Berenang memberi saya kegembiraan dan perasaan bahagia”. Bukankah kebahagiaan inilah yang menjadi puncak pencarian manusia dalam hidupnya. Jika demikian, apakah Anda mau mencoba cara untuk bahagia dengan berenang? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : ”Nerve” dan Tidak Perlu Takut Menghadapi Rasa Takut