Adaptasi Industri Tekstil Hadapi Tren Mode Dunia
Pergeseran pola konsumsi fesyen dan bisnis mode yang ramah lingkungan menuntut industri tekstil tanah air untuk beradaptasi.
Pergeseran tren mode dunia ke arah “sustainable fashion” menuntut adaptasi oleh industri tekstil dan pakaian jadi tanah air. Bahan-bahan alami dan mudah didaur ulang mulai digunakan industri tekstil dalam negeri untuk memproduksi produk mode yang ramah lingkungan.
Tren mode secara global mengalami perubahan yang sangat cepat. Belum lama dunia dikenalkan dengan tren mode cepat atau fast fashion, kini tren justru mulai mengarah kepada slow fashion atau mode lambat.
Tujuan terbesarnya adalah untuk menyelamatkan lingkungan. Pasalnya, industri tekstil dan pakaian jadi (TPT) sebagai penyokong utama mode merupakan salah satu kontributor besar degradasi lingkungan.
Menurut laporan McKinsey tahun 2020, industri mode menyumbang sekitar empat persen emisi global. Bahkan, menjadi polutan terbesar kedua dunia, setelah industri minyak dan gas. Kini, thrifting atau konsumsi pakaian bekas (secondhand) pun menjadi salah satu pilihan sebagai upaya kepedulian lingkungan.
Salah satu pelopor fenomena konsumsi pakaian secondhand adalah Amerika Serikat (AS). Kontribusi pasar barang bekas AS yang hanya mencapai 3 persen tahun 2009, telah meningkat menjadi 7 persen atau senilai 28 miliar dollar AS pada tahun 2019 (Kompas, 21/1/2021).
Perubahan pola konsumsi tersebut tentu disambut baik oleh dunia. Hal ini tak lepas dari kepentingan bersama untuk memperbaiki lingkungan yang kian terdegradasi. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Perjanjian Paris yang disetujui Desember 2015 lalu.
Indonesia pun menjadi salah satu dari 196 negara yang menandatangi perjanjian tersebut. Tak hanya berpartisipasi dalam Perjanjian Paris, fenomena thrifting pun turut digandrungi masyarakat Indonesia.
Tinkerlust, salah satu situs jual beli barang bekas daring di Indonesia memperkirakan, pasar barang bekas di Indonesia pada akhir 2019 mencapai 998 juta dollar AS. Nilai tersebut setara dengan Rp 13,9 triliun.
Namun di sisi lain, fenomena tersebut juga menjadi tantangan bagi industri TPT dalam negeri. Pasalnya, AS yang menjadi pelopor thrifting tersebut menjadi mitra dagang utama ekspor pakaian jadi Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, hampir separuh (49,1 persen) dari ekspor pakaian jadi Indonesia dikirim ke AS, setidaknya dalam sewindu terakhir. Nilainya mencapai 3,7 miliar dollar AS pada tahun 2019, berkontribusi sebesar 52,5 persen dari total ekspor pakaian jadi Indonesia di tahun yang sama.
Tren konsumsi pakaian
Adanya pergeseran tren mode dengan mengonsumsi pakaian bekas pakai, khususnya di AS, secara tidak langsung akan mengancam kinerja ekspor pakaian jadi dari Indonesia ke AS. Belum lagi, permintaan fesyen secondhand di AS diprediksi akan meningkat.
Hal tersebut tecermin dari hasil survei yang dilakukan oleh ThredUp, salah satu situs dagang barang bekas terbesar di AS. Survei terhadap 3.500 perempuan di AS itu menunjukkan, lebih dari separuh responden memilih mengeluarkan uang untuk membeli barang bekas atau secondhand dalam lima tahun ke depan.
Sementara mode berkelanjutan (sustainable fashion) menduduki posisi kedua teratas (43 persen). Fakta tersebut menunjukkan bahwa preferensi mode telah berubah dan mengarah kepada produk ramah lingkungan.
Kini, thrifting atau konsumsi pakaian bekas (secondhand) menjadi salah satu pilihan sebagai upaya kepedulian lingkungan.
Selain AS, negara yang menjadi mitra dagang pakaian jadi Indonesia adalah Jepang. Masih merujuk data BPS, Jepang menduduki posisi kedua tujuan ekspor pakaian jadi Indonesia. Pada tahun yang sama, lebih kurang sembilan persen pakaian jadi dari tekstil diekspor ke Jepang. Nilainya mencapai Rp 698,7 juta dollar AS.
Sama seperti di AS, tren konsumsi pakaian secondhand juga marak terjadi di Jepang. Fenomena tersebut tergambar dari nilai dagang pasar pakaian bekas di Jepang yang kian meningkat dari tahun ke tahun.
Mengutip publikasi Statista, nilai pasar pakaian bekas Jepang pada tahun 2016 sebesar 460 miliar yen, atau sekitar Rp 56,5 triliun pada saat itu. Pertumbuhan yang stabil pun terjadi pada tahun-tahun berikutnya.
Hingga tahun 2019, nilainya menembus 720 miliar yen atau sekitar Rp 94,9 triliun. Perkembangannya pun diprediksi akan terus berlanjut hingga mencapai 990 miliar yen pada tahun 2022. Jika dirupiahkan, nilainya diperkirakan mencapai lebih dari Rp 130 triliun.
Bahan alami
Pergeseran pola konsumsi tersebut secara tidak langsung menuntut industri TPT tanah air untuk beradaptasi. Jika tidak, produk mode dalam negeri akan kalah bersaing di kancah global.
Laju pertumbuhan yang terkontraksi juga semakin mendesak adanya perbaikan pola produksi produk mode tanah air. BPS mencatat, industri TPT tumbuh minus 1,24 persen (year-on-year) pada triwulan pertama 2020.
Kontraksi ini tak lain sebagai dampak munculnya virus SARS CoV-2 penyebab Covid-19. Pembatasan wilayah beberapa negara mitra sebagai antisipasi penyebaran virus berujung pada turunnya permintaan akan produk mode dalam negeri. Kontraksinya pun semakin dalam. Hingga triwulan pertama tahun ini pertumbuhannya masih minus 13,28 persen.
Penurunan permintaan yang dibarengi dengan kesadaran akan lingkungan ini kian mendorong Indonesia untuk melakukan adaptasi bisnis. Pasalnya, kesadaran akan lingkungan ini makin gencar dilakukan pasca munculnya pandemi Covid-19 yang disebut-sebut juga sebagai salah satu dampak degradasi lingkungan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan konsep mode berkelanjutan. Gerakan di tengah menguatnya kesadaran akan kebutuhan produk berkelanjutan ini menuntut pelaku industri TPT untuk lebih ramah lingkungan.
Langkah konkret yang bisa ditempuh adalah dengan menggunakan bahan-bahan alami atau mudah didaur ulang untuk memproduksi produk mode. Salah satu tujuannya untuk mengurangi limbah produksi atau zero waste.
Bahan rayon serat kayu yang juga disebut viscose (viskosa) kini banyak dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai bahan ramah lingkungan tersebut. Saat ini, PT Asia Pacific Rayon (APR) di Provinsi Riau menjadi produsen viskosa terbesar di Indonesia, yang diresmikan Presiden Joko Widodo 21 Februari 2020 lalu.
PT APR ini menjadi produsen rayon viskosa terintegrasi pertama di Asia, dari perkebunan hingga produksi viskosa. Kapasitas produksinya mencapai 240 ribu ton per tahun.
Kementerian Perindustrian mencatat, kapasitas industri rayon nasional saat ini mencapai 857 ribu ton per tahun. Jumlah tersebut naik hampir 60 persen dibandingkan tahun 2018, salah satunya karena kontribusi PT APR.
Praktik mode berkelanjutan juga dilakukan oleh produsen fesyen lokal, yakni Osem. Produk yang dihasilkan berupa kain yang diolah dengan prinsip jumputan (tie dye).
Baca juga: Bisnis Berkilau dari Barang Bekas
Hasil produksi identik dengan warna biru sebagai hasil dari proses pewarnaan alami menggunakan beragam tumbuhan khas Indonesia. Kain yang digunakan pun berasal dari serat alam seperti linen dan rami.
Ketersediaan bahan baku dan kekayaan alam tersebut menjadi modal besar bagi Indonesia. Adaptasi harus segera dilakukan agar produk mode tanah air tetap diminati masyarakat dunia. Bagaimanapun, keberlanjutan industri TPT harus tetap diupayakan, mengingat industri ini merupakan salah satu dari lima industri unggulan dan menyerap lebih dari 1,5 juta tenaga kerja. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Ancaman Kerusakan Lingkungan dari Industri Fast Fashion