Vaksin Covid-19 dan Status Kerentaan Warga Lansia
Masalah vaksinasi Covid-19 untuk warga lansia ternyata tidak sebatas efektivitas vaksin dan efek sampingnya. Harus dipahami bahwa kelompok usia lanjut mengalami berbagai perubahan akibat proses menua atau kerentaan.
Vaksinasi bagi warga lanjut usia tidak sebatas agar terhindar dari Covid-19. Kondisi kerentaan warga lansia harus menjadi perhatian agar vaksinasi betul-betul tepat sasaran sehingga tidak sekadar mengejar target angka vaksinasi terhadap warga lansia.
Pada 8 Februari 2021, pemerintah secara resmi mengumumkan program vaksinasi bagi penduduk usia 60 tahun ke atas, baik untuk tenaga kesehatan (nakes) maupun non-nakes. Kaum lansia memang menjadi perhatian khusus, mengingat sekitar 50 persen kematian akibat Covid-19 terjadi pada penduduk usia tua.
Menurut data Kawalcovid19.id, sampai dengan 24 Mei 2021, capaian vaksin warga lansia masih jauh dari harapan. Dari target 21.553.118 orang, pemberian vaksin dosis pertama baru mencapai 14,09 persen, sementara dosis kedua baru mencapai 9,44 persen. Di tingkat Asia, misalnya Singapura, berdasarkan data Ourworldindata.org per 24 Mei 2021, tercatat capaian tertinggi vaksinasi penuh meliputi dosis pertama dan kedua sekitar 24,6 persen.
Belum diketahui secara pasti mengapa capaian vaksinasi bagi warga lansia di Indonesia masih tergolong rendah. Upaya pelaksanaan vaksinasi terhadap warga lansia memang sempat melambat yang disebabkan kurangnya stok vaksin pada periode akhir di bulan April dan saat bulan puasa kemarin. Meskipun demikian, pemerintah menegaskan stok vaksin aman.
The StraitsTimes edisi 6 Mei 2021 dan BBC.com edisi 19 April 2021 menyebutkan beberapa faktor yang membuat warga lansia agak enggan terhadap program itu. Beberapa alasan warga lansia enggan divaksin di antaranya soal jarak dan biaya menuju lokasi vaksinasi yang terlalu jauh, kurangnya sosialisasi, pasrah pada nasib, serta merasa tidak akan ada perubahan pada kondisi kesehatannya setelah divaksin. Ada pula yang beralasan lebih baik anak muda yang didahulukan.
Daya tahan imunitas
Pemerintah terus menyosialisasikan pentingnya vaksinasi terhadap warga lansia. Alasannya, selain angka kematian akibat Covid-19 yang masih tinggi, vaksin yang tersedia saat ini sudah lulus uji klinis dan tidak ada efek samping yang serius. Selain itu, upaya vaksinasi juga bertujuan untuk mencapai kekebalan populasi (herd immunity) dan untuk mengurangi risiko gejala berat serta menekan angka kematian.
Di balik tujuan upaya vaksinasi, hal yang sering menjadi pertanyaan bagi publik adalah berapa lama imunitas bisa bertahan setelah divaksin. Pada awal April 2021, Pfizer-BioNTech menyatakan hasilnya 91,3 persen efektif selama enam bulan setelah vaksinasi kedua. Jangka waktu yang sama juga ditegaskan Moderna, sekitar 94 persen efektif selama setidaknya enam bulan ke depan.
Hal tersebut memang masih bisa berubah di kemudian hari. Masalahnya, riset vaksin rata-rata butuh waktu 10-20 tahun untuk memastikan efikasi dan efisiensinya. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan minimum efikasi sekitar 50 persen untuk menurunkan risiko infeksi.
Dalam berbagai riset, BioNTech-Pfizer, Moderna, dan Astra Zeneca juga melibatkan uji coba pada populasi lansia, baik dengan kondisi komorbid maupun tidak. Kalaupun kemudian ada kasus kematian setelah vaksinasi pada kaum lansia, data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan bahwa hal tersebut hanya terjadi pada usia 85 tahun ke atas. Secara garis besar, mayoritas warga lansia tidak mengalami efek samping setelah divaksin.
Harus diakui, setiap ada kasus kematian, baik pada lansia maupun bukan, tetap mengundang perdebatan. Seperti yang dinyatakan Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Hindra Irawan Satari, Kamis (20/5/2021), ada 30 kasus meninggal dunia setelah menerima dosis vaksinasi Covid-19. Begitu juga kasus di Norwegia pertengahan Januari lalu, yang menyebutkan 33 warga lansia meninggal pascavaksinasi BioNTech-Pfizer.
Status kerentaan
Masalah vaksinasi untuk warga lansia ternyata tidak sebatas efektivitas vaksin dan efek sampingnya. Menurut ahli geriatri Kuntjoro Harimurti, harus dipahami masyarakat bahwa kelompok usia lanjut mengalami berbagai perubahan akibat proses menua atau kerentaan (frailty).
Hal ini merupakan kondisi saat warga lansia menjadi semakin rentan (mudah terkena penyakit) karena ketergantungan atau bahkan terjadi kematian saat terpapar stresor (pemicu stres). Yang terjadi kemudian adalah immunosenescence atau respons terhadap vaksin menjadi kurang maksimal. Kondisi frailty juga sering bercirikan inflamasi (peradangan) kronis level rendah akibat penurunan imunitas tubuh.
Para dokter ahli geriatri bertugas membantu para lansia menjaga kesehatan sebagai langkah mencegah penyakit, mengatasi masalah kesehatan yang timbul, sekaligus mengawasi proses pemulihannya. Dokter geriatri dibantu oleh tim medis, termasuk perawat, ahli farmasi, ahli gizi, terapis, dan psikiater yang terlatih khusus untuk membantu menangani persoalan kesehatan warga lansia.
Dalam laporan Frailty state among Indonesian elderly: prevalence, associated factors, and frailty state transition (Siti Setiati dkk, 2019) menyatakan populasi lansia Indonesia termasuk terbesar kedelapan di dunia dan tertinggi di Asia Tenggara (8,2 persen atau sekitar 21 juta orang).
Kerentaan umumnya berdampak pada meningkatnya biaya kesehatan bagi warga lansia, mulai dari cedera akibat terjatuh, perawatan di rumah sakit, cacat, kualitas hidup yang rendah, hingga kematian. Sejumlah studi juga menunjukkan kondisi demikian banyak terjadi pada warga lansia yang mengalami diabetes melitus, gangguan kardiovaskular, dan kanker.
Ketua Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (Pergemi) Siti Setiati menegaskan, vaksin untuk warga lansia memang penting untuk mencegah penularan Covid-19. Namun, yang jauh lebih utama adalah memastikan efektivitas vaksin pada warga lansia.
Efektivitas tersebut didasari oleh empat faktor, yaitu usia, kondisi komorbid (penyakit penyerta), malanutrisi (kekurangan atau kelebihan gizi), rendahnya aktivitas fisik, misalnya karena tirah baring lama (bed rest), dan turunnya mobilitas. Tidak jarang semua ini masih ditambah dengan gaya hidup, lingkungan yang tidak sehat, polifarmasi (penggunaan lima atau lebih macam obat secara bersamaan), dan faktor genetik.
Pada kasus kematian 33 warga lansia di Norwegia setelah mendapat suntikan vaksin Pfizer-BioNTech, hal itu tak lepas dari kondisi lansia yang mengalami frailty yang sangat berat. Jadi, efek samping yang ringan pun bisa menyebabkan akibat yang serius. Siti Setiati menduga kasus ini hanya koinsiden. Lebih kurang 400 kematian warga lansia di panti di Norwegia tidak berkaitan dengan vaksin (Geriatri.id, edisi 18/1/2021).
Status kerentaan atau suatu kondisi seseorang atau lansia yang lemah sebetulnya adalah informasi penting untuk memahami kondisi klinis pada masyarakat. Hasil uji frailty dapat digambarkan dengan angka spektrum dengan rentang mulai dari rendah sampai tinggi, dengan kategori: sehat (robust, atau fit), pra-renta (pre frail), dan renta (frail).
Hasil riset Frailty State among Indonesian elderly yang didasari oleh data pasien dari RS Dr Soetomo (Surabaya), RS Sanglah (Bali), RS Hasan Sadikin (Bandung), RS dr. Saiful Anwar (Malang), dan RS Cipto Mangunkusumo (Jakarta), menunjukkan, 25,2 persen pasien dikategorikan renta atau lemah.
Kerentaan demikian sebetulnya bukan satu-satunya faktor utama karena efek samping vaksin tetap harus diperhatikan. Siti Setiati menekankan, vaksin untuk lansia tidak diberikan kepada mereka yang sudah rapuh, antara lain mempunyai riwayat penyakit kronik yang sedang akut.
Tercapainya target vaksinasi bagi warga lansia memang bukan hal yang mudah. Namun, setidaknya para warga lansia juga harus mengakui bahwa vaksinasi adalah untuk hidup yang lebih baik. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan pemberian pemahaman secara lebih intensif lagi kepada warga lansia dan kerabat dari warga lansia agar target kekebalan populasi bisa tercapai. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kejadian Ikutan Pasca Vaksinasi (KIPI), Pemantauan, Penanganan, dan Antisipasinya