Kondisi seperti ini cenderung stagnan, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Bahkan, setelah keluar Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK sebagai wujud perhatian pemerintah terhadap kualitas SMK, kondisi belum berubah.
Meski trennya mulai menurun sejak 2017, pandemi Covid-19 di tahun 2020 kembali mendongkrak naiknya tingkat pengangguran terbuka. Sulitnya mencari pekerjaan di masa pandemi karena ”melambatnya” roda perekonomian membuat pengangguran dari tamatan SMK yang seharusnya siap pakai justru meningkat tajam 3,13 persen dibandingkan Agustus 2019 (y-on-y).
Persentase kenaikannya paling tinggi dibanding tingkat pendidikan lainnya. Diikuti tamatan diploma I/II/III dengan kenaikan sebesar 2,09 persen. Di awal tahun 2021, tingkat pengangguran terbuka mulai menurun, tetapi komposisi tertinggi masih dari sekolah vokasi.
Dengan demikian, pendidikan vokasi secara kuantitas selalu meningkat, tetapi ditengarai masih mengalami problem dari sisi kualitas sehingga terkendala dalam penyerapan tenaga kerja di lapangan. Pendidikan vokasi membutuhkan SDM yang berkualitas dan kompeten agar mudah diserap pasar tenaga kerja.
Baca juga: Benahi Pendidikan Vokasi, Pemerintah Rombak Kurikulum
Terobosan
Mengutip Pusat Penelitian Kependudukan LIPI (2018), pengembangan vokasi di Indonesia masih menghadapi persoalan yang begitu kompleks, mulai dari paradigma, regulasi, sinergi, hingga implementasi.
Dibutuhkan gebrakan yang menjadi terobosan untuk mengubah paradigma lama bahwa lulusan pendidikan vokasi tidak mendapat kesempatan yang sama dalam dunia kerja. Tidak dapat dimungkiri hal tersebut yang, antara lain, memengaruhi rendahnya minat masyarakat memilih pendidikan vokasi untuk masa depannya.
Padahal, pendidikan vokasi bertujuan menyiapkan SDM yang siap kerja di dunia industri. Namun, SDM sekolah vokasi masih dianggap belum bisa bersaing dengan lulusan lainnya dalam mencari pekerjaan untuk mengisi kebutuhan tenaga terampil di berbagai industri.
Sementara itu, program D III pendidikan tinggi vokasi kurang lebih juga menghadapi problem yang sama. Persaingan dalam dunia kerja masih kalah dibanding lulusan S-1. Dalam hal upah, BPS pada Februari 2021 merilis rata-rata upah buruh tamatan diploma I/II/III di kisaran Rp 3,57 juta, selisih Rp 820.000 dengan tamatan universitas di kisaran Rp 4,39 juta.
Sementara lulusan SMK mendapat upah sekitar Rp 2,82 juta. Perbedaan insentif ini, selain gelar akademis, membuat tamatan D-3 setelah lulus masih ingin melanjutkan kuliah lagi ke jenjang S-1 sehingga membutuhkan waktu belajar yang lebih lama dan tidak bisa langsung bekerja. Bahkan, sering kali program studi (prodi) yang diambil tidak sejalan lagi dengan pendidikan diplomanya.
Merespons permasalahan tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meluncurkan program Kampus Merdeka Vokasi dalam Merdeka Belajar episode ke-11.
Dengan menggulirkan dana Rp 270 miliar untuk dua fokus utama Kampus Merdeka Vokasi, yaitu Dana Kompetitif Kampus Vokasi (Rp 90 miliar) dan Dana Padanan Kampus Vokasi (Rp 180 miliar). Tujuannya, agar terjadi integrasi pendidikan tinggi vokasi dengan dunia kerja demi menghasilkan lulusan yang kompeten, produktif, dan kompetitif.
Salah satu program yang mendapat dana kompetitif kampus vokasi adalah program SMK-D2 jalur cepat (fast track). Diharapkan, dengan program ini lulusan SMK yang tidak banyak terserap dalam industri dan dunia kerja lebih bisa meningkatkan keterampilannya dengan menambah waktu belajar 1,5 tahun agar setara dengan lulusan D-2 dengan keterampilan yang lebih mumpuni.
Dampaknya, tumbuh SDM operator/teknisi ahli terampil dan kompeten dan lebih siap kerja yang semakin banyak dibutuhkan DUDI (dunia usaha dunia industri). Dengan total waktu belajar yang lebih singkat kurang lebih 4,5 tahun, lulusan D-2 bisa mendukung potensi lokal, kawasan industri, dan kawasan ekonomi.
Program yang lain adalah peningkatan prodi D-3 menjadi sarjana terapan (D-4). Program ini salah satunya juga untuk menjembatani keluhan dunia kerja yang kurang mendapatkan lulusan D-3 yang kompeten, terutama terkait dengan masalah soft skill (team work, leadership, problem solving, critical thinking, communication, dan lain-lain).
Baca juga: Pendidikan Vokasi dan Visi Indonesia 2045
Dengan menjadi sarjana terapan, akan ada tambahan waktu untuk fokus pada soft skill dan pembangunan karakter siap kerja sehingga DUDI tidak perlu lagi melatih ulang lulusan D-3. Dengan keahlian yang semakin mumpuni, mereka bisa cepat terserap pasar tenaga kerja dan mendapatkan upah dan kesejahteraan yang lebih baik.
Sementara program dana padanan kampus vokasi diarahkan untuk mengintegrasikan ekosistem riset terapan dengan dunia kerja dan mengakui kesetaraan hasil riset terapan dengan karya ilmiah.
Oleh karena itu, kedua program pendanaan kampus vokasi ini harus memenuhi syarat hubungan yang sangat erat dengan DUDI. Tidak hanya tanda tangan MoU, tetapi DUDI juga terlibat langsung dalam semua aspek penyelenggaraan pendidikan vokasi, yaitu integrasi yang dilaksanakan melalui konsep Link and Match 8+i. Komunikasi dan kolaborasi menjadi kunci untuk bersama-sama mengembangkan SDM vokasi.
Daya saing
Di samping itu diperlukan juga kurikulum yang fleksibel, inovatif, dan adaptif yang berpegang pada prinsip bahwa kompetensi harus seimbang antara hard skill dan soft skill ditambah attitude/perilaku dan karakter yang baik.
Jika SDM vokasi melalui terobosan-terobosan ini bisa di-upgrade kompetensinya menjadi SDM yang kompeten, produktif, dan kompetitif, dunia kerja akan mendapatkan SDM unggul yang dibutuhkan.
Dampak lebih jauh, semakin kompetitifnya SDM vokasi dapat mendorong pencapaian daya saing nasional di tingkat global. Sesuai dengan jargon ”Vokasi Kuat, Menguatkan Indonesia”.
Data World Economic Forum (2019) mencatat, peringkat Indeks Daya Saing Global Indonesia mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir. Dari peringkat 36 tahun 2017 menjadi 45 tahun 2018 dan turun lagi di peringkat 50 dari 141 negara pada tahun 2019.
Salah satu pilar terkait dengan kualitas SDM ialah pilar pasar tenaga kerja yang pencapaiannya masih dalam kategori cukup baik dengan skor 50-60. Namun, pencapaian ini masih di bawah negara serumpun lainnya dalam kawasan ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam).
Diharapkan pendidikan vokasi bisa mencetak dan menumbuhkan pembelajar-pembelajar mandiri sepanjang hayat yang adaptif terhadap perubahan zaman. Dengan demikian, problem keterserapan tenaga kerja yang selama ini masih didominasi tamatan pendidikan vokasi bisa semakin diminimalkan. (LITBANG KOMPAS)