Isu Laten Wisatawan Tertipu Harga Kuliner di Malioboro
Wisatawan memang perlu berhati-hati. Kalau tidak ingin merugi dan mengumpat selesai makan, bertanyalah sebelum memesan makanan.
Ramai pembicaraan warganet tentang harga makanan yang dijual di tenda-tenda pedagang Malioboro. Pengawasan dari Pemerintah Kota Yogyakarta diperlukan untuk menjaga sehatnya persaingan usaha dan kenyamanan wisatawan.
Kehadiran para pedagang, terutama jajanan kulinernya, merupakan salah satu hal ikonik di sepanjang jantung wisata Yogyakarta tersebut. Akan tetapi, belakangan ini telah viral di media sosial tentang seorang wisatawan mengeluhkan mahalnya harga makanan pecel lele di sebuah warung lesehan yang berada di area Malioboro, Yogyakarta (26/5/2021).
Ia menyebutkan bahwa harga seporsi hidangan pecel lele beserta lalapan dan sambalnya tidak masuk akal karena mencapai Rp 37.000. Harga seporsi pecel lele itu memang cukup terpaut jauh dari kesepakatan Paguyuban Lesehan Malam Malioboro.
Ketua Paguyuban Lesehan Malam Malioboro Sukidi mengatakan bahwa seporsi lengkap pecel lele di warung lesehan biasanya dijual dengan harga Rp 15.000 hingga Rp 18.000. Lanjutnya, di tiap warung lesehan kini sebenarnya terpasang daftar harga dari tiap makanan yang dijual dan itulah yang seharusnya diperhatikan oleh wisatawan.
Nyatanya, praktik nuthuk harga makanan sudah terjadi sejak tahun 1990-an dan sudah dikenal oleh masyarakat lokal maupun wisatawan yang kerap berkunjung ke sana. Harian Kompas mencatat, pada 1996 ada surat pembaca yang dimuat di harian lokal Yogyakarta yang ditulis oleh seorang warga Jakarta, yang nadanya marah-marah.
Orang tersebut merasa dikerjain ketika makan di salah satu warung lesehan di Jalan Malioboro Yogyakarta. Kisahnya, dia berempat makan ayam goreng dan minum lalu dikenai biaya Rp 100.000 lebih. Biaya tersebut terlampau mahal mengingat kejadian itu pada tahun 1996.
Orang luar kota biasanya menjadi sasaran empuk untuk ”dihantam” harga. Penjual gudeg lesehan Yu Siyem menuturkan, pernah ada dua orang asal Medan yang makan di sebuah lesehan di wilayah Jalan Perwakilan Malioboro harus membayar Rp 150.000 hanya untuk makan satu burung dara dengan minum.
Kasus lain, pembeli dari Semarang terkejut ketika harus membayar Rp 75.000 setelah menghabiskan satu burung dara dan minum, padahal dia hanya memiliki Rp 50.000 (Kompas, 15/10/2000).
Maka, makan lesehan di Yogyakarta, khususnya di sepanjang jalan Malioboro, menjadi pergunjingan dari waktu ke waktu akibat spekulasi harga yang tidak menentu. Lesehan yang seharusnya menjadi simbol ngenggar-enggar penggalih (menghibur hati) justru melahirkan umpatan-umpatan. Dengan begitu, kalau tidak ingin merugi dan mengumpat selesai makan bertanyalah sebelum memesan.
Dapat dikatakan, lesehan Malioboro sekarang bukanlah wakil dari gaya hidup masa lampau yang dipenuhi oleh semangat persaudaraan. Malioboro sekarang adalah Malioboro yang sekadar menjajakan produk-produk ekonomi, seperti burung dara goreng, ayam goreng, gudeg, atau pecel lele. Sosiolog almarhum Prof Dr Loekman Soetrisno menyebut Malioboro sekarang tidak memiliki identitas lagi sebagai kultur budaya Yogyakarta.
Padahal, sejarawan Soedharmono dari Universitas Sebelas Maret Solo menilai bahwa dari sejarahnya, warung lesehan pada malam hari menyiratkan wacana kerakyatan dan pembebasan. Maksudnya, menyantap makanan secara lesehan memberi kemerdekaan bagi orang dari kesantunan-kesantunan atau aturan-aturan yang mengikat dalam kehidupan masyarakat kota.
Lesehan Yogya yang berkembang sejak tahun 1981 sebetulnya ibarat manifestasi dari sebuah ideologi kemanusiaan yang lebih mendambakan ketenteraman batin. Artinya, lesehan adalah sebuah reaksi dari sebuah pilihan. Bukan sekadar makan, tetapi makan hanyalah sebagai bagian dari diskusi informal atau acara saling tukar pengalaman.
Penguasaan lapak
Pemerintah Kota Yogyakarta menanggapi viralnya berita tersebut dengan menelusuri warung lesehan tersebut yang diduga menaikkan harga dengan tidak wajar. Menurut Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi, setelah ditelusuri pun tidak ada warung lesehan yang nuthuk harga atau menaikkan harga secara tidak wajar. Heroe Poerwadi percaya bahwa para pedagang dan komunitas di sana tidak akan melakukan tindakan yang mencoreng Malioboro.
Akan tetapi, seperti biasanya, warganet terpecah menjadi dua kelompok. Ada yang menyalahkan wisatawan tersebut karena tidak menanyakan harga terlebih dahulu sebelum membeli. Namun, ada juga yang menyalahkan para pedagang dengan menuturkan pengalaman serupa ketika berkunjung ke Malioboro.
Tudingan mahalnya harga makanan yang dijajakan oleh warung-warung lesehan di Malioboro akhirnya tertuju pada mahalnya biaya sewa tahunan yang ditanggung para pedagang. Ada kabar tersiar bahwa untuk sewa lapak di Malioboro, para pedagang harus membayar Rp 50 juta untuk lapak seluas 4 meter x 30 cm x 30 cm. Selain itu, para pedagang ini juga harus berganti kepemilikan tiap bulannya.
Kabar tersebut ditepis oleh Ketua Paguyuban Lesehan Malam Malioboro Sukidi. Menurut dia, lahan di Malioboro hingga saat ini tidak terjadi pergantian hak milik karena para pedagang biasanya memperpanjang izin tiap tahun hingga diturunkan ke generasi atau keturunan kedua. Sementara untuk biayanya, para pedagang dikenai retribusi berdasarkan persentase omzet yang didapat dan jika omzet tidak mencukupi, para pedagang hanya wajib lapor kepada dinas terkait.
Di sisi lain, Sukidi menyatakan bahwa citra Malioboro memang sempat tercoreng karena penataan yang buruk dan tidak adanya transparansi harga. Ia mengaku bahwa sejak 2007 keadaan Malioboro beserta para pedagang dan komunitas di dalamnya baru dapat dikendalikan demi menciptakan citra Malioboro yang ramah bagi para wisatawan.
Pengakuan Sukidi dapat dikontraskan dengan opini yang dituliskan oleh Ahmad Ma’ruf, dosen Ilmu Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dalam harian Kedaulatan Rakyat edisi 4 Mei 2017. Dalam tulisannya, Ahmad Ma’ruf menyoroti penguasaan lapak perdagangan di Malioboro yang sudah terpola seiring pembatasan jumlah pedagang yang mendapat izin dari dinas terkait untuk beraktivitas di kawasan ini.
Dari pengamatannya, para pedagang harus merogoh kocek mulai dari Rp 40 juta hingga Rp 50 juta per tahun untuk menyewa ruang terbuka dengan ukuran sekitar 1,2 meter persegi. Kendati sirkulasi ekonomi menengah di Malioboro terbilang cepat dari konsumsi wisatawan, tetap saja biaya sebesar itu tidaklah murah bagi masyarakat setempat yang berkategori berpendapatan menengah dan bawah.
Alih-alih mengutamakan kawasan pedestrian, revitalisasi Malioboro yang berjalan selama ini pun dinilai justru makin menambah jumlah lapak. Efeknya, pola penguasaan lapak makin menguat, terutama didukung oleh kawasan wisata yang terbilang premium dengan pembangunan infrastrukturnya. Ahmad Ma’ruf menyarankan perlunya tindakan dari dinas terkait untuk mengurai permasalahan pembangunan agar pola penguasaan ekonomi tidak hanya dikuasai oleh segelintir pihak.
Fitrah
Berdasarkan sejarahnya, kata Malioboro berasal dari bahasa Sansekerta malyhabara yang artinya ”dihiasi dengan untaian bunga”. Menurut Peter Carey, dalam tulisan berjudul Jalan Maliabara (Garland Bearing Street): The Etymology and Historical Origins of a much Misunderstood Yogyakarta Street Name (1984), sebagai rajamarga atau jalan kerajaan, Malioboro berfungsi sebagai jalan raya seremonial yang memiliki dua tujuan, yakni memberikan penghormatan yang layak kepada tamu terhormat dan untuk ”menjinakkan” kekuasaannya yang besar.
Dalam jurnal Lembaran Sejarah (Vol. 14, Nomor 2), Siti Mahmudah Nur Fauziah menuliskan bahwa Malioboro sebagai penghubung antara tugu dan keraton memiliki konsep filosofi tersendiri. Secara simbolis, terdapat garis filosofi dengan simpul-simpulnya sepanjang Panggung Krapyak— Keraton Yogyakarta—Tugu Golong Gilig yang melambangkan konsep ”sangkan paraning dumadi” atau asal dan tujuan dari adanya hidup.
Baca juga: Malioboro dam Imajinasi Edial Rusli
Kedalaman makna dan sejarah Malioboro ini tentu merupakan keistimewaan otentik yang tidak dapat ditemukan di obyek wisata lainnya. Oleh sebab itu, adanya isu laten mengenai sejumlah pedagang makanan yang menaikkan harga justru mereduksi kekayaan makna bersejarah dari Malioboro.
Pemerintah setempat harus serius menata dan mengontrol wisata di Malioboro demi menjaga fitrahnya sebagai jantung wisata Yogyakarta. Begitu juga dengan wisatawan, tidak ada salahnya bertanya daripada nantinya merasa dikelabui. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Antara Malioboro dan Kota Tua