Plasma Konvalesen dan Harapan Kesembuhan Pasien Covid-19
Plasma konvalesen menjadi salah satu pengobatan bagi pasien Covid-19. Namun, terapi ini tetap harus dilakukan dengan hati-hati mengingat belum ada satu negara yang menjadikannya sebagai terapi standar.
Upaya pengobatan pasien infeksi Covid-19 terus dikembangkan dan disempurnakan. Salah satu perawatan yang sering dipilih adalah plasma konvalesen. Namun, beberapa studi menunjukkan perdebatan efektivitas plasma konvalesen bagi pasien infeksi virus korona.
Plasma konvalesen adalah bagian darah yang mengandung antibodi dari orang-orang yang telah sembuh dari infeksi Covid-19. Pemberian pengobatan ini masih terbatas untuk pasien dengan gejala sedang yang mengarah ke gejala berat, yaitu pneumonia dengan hipoksia, serta pasien bergejala berat.
Donor plasma konvalesen di Indonesia mengalami peningkatan seiring telah diresmikannya Gerakan Nasional Plasma Konvalesen pada pertengahan Januari 2021 lalu. Kementerian Kesehatan menilai opsi perawatan tersebut mampu meningkatkan peluang kesembuhan pasien Covid-19.
Hingga awal Februari 2021, peningkatan pemenuhan kebutuhan plasma konvalesen sangat drastis dibandingkan awal tahun 2021. Jumlah kantong plasma telah mencapai 14.470 buah dari total 34 Unit Donor Daerah PMI seluruh Indonesia. Angka tersebut terbilang meningkat pesat, mengingat di awal 2021 jumlah kantong plasma konvalesen hanya 4.263 buah.
Apabila diperbandingkan, dalam waktu kurang dari sebulan, jumlah kantong plasma konvalesen melonjak 239 persen. Melejitnya jumlah donor plasma konvalesen tak luput dari makin terbentuknya kesadaran terhadap manfaat perawatan tersebut.
Penggunaan plasma darah untuk pengobatan bukanlah hal baru. Sejumlah wabah penyakit yang memanfaatkan plasma darah untuk pengobatan adalah flu babi tahun 2009, ebola, SARS, dan MERS. Dalam kondisi normal, pengobatan tersebut masih belum memiliki cukup bukti yang menunjukkan efektivitasnya.
Sejumlah penelitian yang dilakukan di beberapa negara menggambarkan ketidakpastian efektivitas plasma konvalesen untuk pengobatan pasien. Ada kontradiksi hasil penelitian, yakni sebagian kasus tingkat kematian pasien yang dirawat dengan plasma konvalesen jauh lebih rendah, tetapi sebagian lagi malah sebaliknya.
Hasil studi di dua negara, yaitu Amerika Serikat dan Brasil, menemukan bahwa kematian pasien dengan plasma konvalesen hanya separuh dari pasien tanpa perawatan tersebut. Riset ini melibatkan 223 pasien yang diamati selama 28 hari.
Tak jauh berbeda, penelitian di Spanyol menunjukkan hasil yang senada, yaitu mortalitas pasien dengan perawatan plasma konvalesen nihil, sedangan kematian pasien yang dirawat standar sebesar 9,3 persen. Total ada 14 rumah sakit yang terdaftar sebagai lokasi penelitian di seluruh Spanyol.
Meskipun banyak riset yang menunjukkan kesuksesan perawatan pasien, sebuah studi terbaru di Inggris menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan, yakni npasien yang dirawat dengan atau tanpa plasma konvalesen tidak memperlihatkan perbedaan. Artinya, plasma konvalesen tidak memiliki efek signifikan untuk mencegah memburuknya gejala hingga kematian.
Studi tersebut dilakukan di 177 rumah sakit Inggris dengan total pasien yang diteliti sebanyak 16.287 orang. Fokus penelitian adalah melihat persentase kematian pasien yang menerima dan tidak menerima plasma konvalesen selama 28 hari masa perawatan. Hasilnya, tingkat kematian kedua grup tersebut serupa, yaitu sebesar 24 persen.
Penelitian lain juga dilakukan di China dengan melibatkan 103 pasien. Perbandingan mortalitas antara pasien yang mendapat dan tidak mendapat plasma konvalesen hampir sama. Efek perawatan menggunakan plasma konvalesen juga dilaksanakan di India terhadap 464 pasien. Angka kematian pasien dengan plasma konvalesen hanya selisih 1 persen.
Sebanyak 334 pasien di Argentina juga diteliti selama perawatan Covid-19. Hasilnya tidak jauh beda dengan studi-studi sebelumnya, yaitu selisih persentase kematian pasien dengan atau tanpa perawatan plasma konvalesen kurang dari satu persen.
Kontradiksi hasil-hasil studi tentang efektivitas plasma konvalesen untuk menekan angka kematian karena infeksi Covid-19 adalah gambaran ketidakpastian opsi terbaik perawatan pasien. Jenis perawatan standar menggunakan obat antivirus atau plasma konvalesen belum final. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hingga saat ini belum ditemukan jenis pengobatan terbaik untuk penyintas Covid-19.
Pengobatan dan perawatan
Pola pengobatan dan perawatan pasien Covid-19 dilakukan secara intensif. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan dokumen rekomendasi pengobatan yang bisa dipakai untuk penyintas Covid-19. Bukti ilmiah yang mendasari dokumen tersebut adalah efikasi obat dalam mengurangi gejala hingga mencegah kematian.
Ada lima jenis pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO, yaitu ivermectin, hydroxychloroquine, lopinavir/ritonavir, remdesivir, dan systemic corticosteroids. Ukuran yang dipakai oleh WHO untuk menunjuk lima jenis obat tersebut sangat beragam, mulai dari tingkat kematian hingga lama waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan virusnya.
Obat pertama, ivermectin, memiliki pengaruh besar untuk mencegah kematian. Pasien yang diberi obat tersebut berpotensi lima kali lebih rendah meninggal, sedangkan waktu untuk dinyatakan negatif virus adalah 5,7 hari. Obat kedua, hydroxychloroquine, mempunyai keunggulan mampu mempercepat pemulihan klinis pasien dalam waktu sembilan hari dibandingkan pengobatan biasanya.
Berikutnya, lopinavir/ritonavir menyebabkan kerusakan ginjal jauh lebih ringan dibandingkan obat lainnya. Selain lebih aman untuk ginjal, obat ini juga mampu memulihkan kondisi klinis pasien dalam waktu sekitar 10 hari, jauh lebih cepat dibandingkan pengobatan biasa.
Obat remdesivir turut memiliki efek positif yang besar dalam penanganan pasien. Waktu yang dibutuhkan untuk pulih secara klinis hanya sembilan hari, termasuk durasi ventilator hanya 13,4 hari. Obat terakhir, systematic corticosteroids, jauh memiliki dampak yang lebih besar. Angka kematian pasien cukup kecil dan penggunaan alat bantuan napas juga jauh lebih rendah dari obat biasa.
Sebagai catatan, jenis obat untuk pasien memang memiliki banyak sekali manfaat. Namun, WHO juga mencantumkan hasil uji klinis yang kurang baik terkait efek obat ke pasien, seperti pencegahan pendarahan di organ pencernaan, kelemahan otot, atau diare.
Perawatan pasien Covid-19 memang tidak sederhana mengingat ini jenis virus baru yang masih perlu diteliti lebih lanjut. Pendekatan yang digunakan tenaga medis berpatokan pada wabah-wabah sebelumnya dengan karakteristik virus hampir serupa, yaitu kelompok virus korona.
Selain perawatan menggunakan obat, pasien bergejala sedang yang mengalami penurunan kondisi atau bergeser ke gejala berat, diberikan plasma konvalesen. Cairan plasma darah tersebut dipilih karena terdapat antibodi virus korona sehingga tubuh pasien memiliki antibodi instan, sekaligus merangsang pembentukan secara mandiri.
Respons publik
Di tengah ketidakpastian hasil penelitian tentang efektivitas plasma konvalesen, ternyata publik menunjukkan antusiasme tinggi untuk menggunakannya. Minat penggunaan plasma konvalesen tak lepas dari edukasi pemerintah dan pihak lainnya secara daring dan luring. Banyak sekali permintaan plasma konvalesen di ruang publik, khususnya jagat digital.
Di jagat digital, pengamatan interaksi media sosial masyarakat Indonesia setahun terakhir menunjukkan beberapa periode lonjakan topik plasma konvalesen sebagai opsi perawatan pasien Covid-19. Plasma konvalesen dinilai mampu menyembuhkan pasien Covid-19.
Secara umum, total interaksi publik di Facebook mencapai 560.000 kali dengan jumlah konten sebanyak 3.500 buah. Berbeda dengan Facebook, Instagram ternyata lebih banyak meskipun jumlah konten jauh lebih kecil. Total ada 943.000 interaksi melalui 1.200 konten, artinya, pengguna Instagram jauh lebih banyak dan aktif dibandingkan Facebook.
Pengguna Facebook memiliki respons besar terhadap plasma konvalesen yang terbagi dalam empat periode, yaitu 14 Juni-11 Juli 2020, 30 Agustus-19 September 2020, 22 November-19 Desember 2020, dan 27 Desember 2020-27 Februari 2021. Dua konten yang meraih banyak interaksi serta berhasil menyebarkan opsi yang menjanjikan perawatan plasma konvalesen berasal dari akun Kementerian Kesehatan RI.
Konten pertama yang muncul pada 11 Desember 2020 berisi ajakan dan dorongan agar terapi tersebut dipakai. Sementara konten kedua pada 8 September 2020 menguatkan kembali bahwa plasma konvalesen adalah harapan bagi pasien.
Analisis Instagram juga menunjukkan beberapa kali lonjakan interaksi konten tentang plasma konvalesen. Namun, ada dua puncak tertingginya, yaitu periode 14 Juni-4 Juli 2020 dan 20 Desember 2020-20 Februari 2021. Total interaksi kedua periode tersebut mencapai 32 persen dari keseluruhan.
Berbeda dengan Facebook, akun dari Kemenkes RI atau lembaga lain tidak mendominasi. Akun yang menyerap banyak perhatian publik adalah Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo. Antusiasme publik terhadap plasma konvalesen perlu mendapat respons dari pemerintah, sebab sangat mungkin terjadi lonjakan permintaan di fasilitas kesehatan, utamanya PMI.
Baca juga: Harapan Sembuh dengan Terapi Plasma
Berbagai upaya pengobatan dilakukan untuk mencegah lebih banyak kematian akibat virus korona SARS-CoV-2. Melengkapi pengobatan yang direkomendasikan WHO, terapi plasma konvalesen juga menjadi salah satu harapan pengobatan bagi pasien Covid-19. Namun, terapi yang masih terus dikembangkan ini tetap harus dilakukan dengan sangat hati-hati mengingat belum ada satu negara yang menjadikannya sebagai terapi standar.
Di Indonesia, izin pengembangan plasma konvalesen telah dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejak Juni 2020. Agar berlaku efektif, pemerintah dapat membuat sistem terpadu pemenuhan kebutuhan plasma konvalesen secara nasional. Keterpaduan sistem pemenuhan kebutuhan dapat menjamin sekaligus memantau ketersediaan hingga aksesibilitas ke pasien, terutama saat dibutuhkan dalam situasi darurat. (LITBANG KOMPAS)