Mengatasi Ketidakefektifan Sekolah Daring
Sekolah daring dinilai tidak efektif dan akan berdampak menurunkan kualitas pendidikan. Anak-anak Indonesia juga dikhawatirkan akan mengalami penurunan kemampuan belajar (”learning loss”).
Pelaksanaan belajar dari rumah baik secara daring (dalam jaringan) maupun luring (luar jaringan) selama pandemi Covid-19 dinilai tidak efektif dan dikhawatirkan berdampak pada semakin menurunnya kualitas pendidikan.
Kegelisahan ini terekam dalam survei Kompas pada April lalu di mana hampir 70 persen responden mengkhawatirkan tidak efektifnya pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan metode daring. Kegelisahan tersebut dirasakan masyarakat, baik yang tinggal di kota maupun di desa.
Hal serupa diakui 55,8 persen responden terhadap metode pembelajaran luring, seperti penggunaan modul, lembar kerja siswa (LKS), bahan ajar, ataupun melalui program belajar di televisi atau radio.
Sudah lebih dari satu tahun PJJ berjalan, tetapi penyebaran kasus terinfeksi Covid-19 di Indonesia belum juga terkendali. Hal ini membuat pemberlakuan PJJ semakin lama dalam ketidakpastian.
Baca juga : Dilema Pembelajaran Tatap Muka
Meski berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk meminimalkan kendala-kendala yang muncul, bagaimanapun juga interaksi langsung dengan guru lewat pembelajaran tatap muka dinilai lebih efektif. Teknologi hanya alat, peran guru tetap tidak tergantikan.
Wacana pembukaan sekolah juga sudah beberapa kali dilakukan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri. Akan tetapi, itu masih menjadi polemik dan terkendala dengan munculnya sejumlah kluster sekolah. Dunia pendidikan menghadapi dilema, antara kualitas pendidikan dan keselamatan siswa.
Digitalisasi dalam dunia pendidikan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Pandemi memaksa lebih dari 68 juta peserta didik serta sekitar 4 juta pengajar tergantung pada internet. Dengan memanfaatkan teknologi, berbagai kreasi dan inovasi dilakukan para pengajar untuk dapat tetap mengajar menggantikan pembelajaran tatap muka.
Bisa dimaklumi kesulitan beradaptasi terjadi di awal-awal pandemi. Jangankan sekolah-sekolah di perdesaan, di perkotaan pun masih mencari bentuk metode pembelajaran yang akan digunakan.
Apalagi sekolah-sekolah di wilayah terluar, tertinggal, dan terpencil (3T) yang minim akses. Bahkan hasil penilaian cepat yang dilakukan oleh Wahana Visi Indonesia pada Mei tahun lalu menemukan masih ada 32 persen siswa di daerah 3T yang tidak memiliki akses sama sekali dalam PJJ, baik untuk belajar luring maupun daring. Artinya, satu dari tiga siswa harus belajar mandiri atau bahkan tidak belajar sama sekali alias ”libur” jika tidak ada yang mendampingi atau membimbing.
Seperti di Papua, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Papua menemukan, PJJ tidak berjalan di 14 kabupaten di Papua. Hal ini disebabkan sejumlah kendala, antara lain tidak adanya layanan jaringan telekomunikasi dan rendahnya kemampuan orangtua untuk mengajar anaknya di rumah.
Pengalaman dan kondisi serupa bisa jadi dialami banyak daerah di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2020, masih ada 31,8 persen daerah yang belum tersentuh jaringan internet dan 7,1 persen yang belum menikmati listrik.
Daerah yang belum terkoneksi dengan internet tersebut sebanyak 16,6 persen ada di daerah 3T, sedangkan yang belum teraliri listrik ada 5,9 persen. Apalagi secara geografis 91 persen wilayah Indonesia adalah desa yang bisa dikatakan infrastrukturnya tak sebaik di kota.
Baca juga : Mempersoalkan Mutu dan Beban Psikologis Belajar di Rumah
Transformasi teknologi
Satu sisi pandemi sebenarnya membuat pembelajaran berbasis teknologi mendapat momentum membawa dunia pendidikan melalui transformasi secara cepat.
Akan tetapi, di sisi lain, kemampuan penguasaan teknologi yang kurang mumpuni membuat pemanfaatan teknologi tidak efektif bagi capaian pembelajaran. Pembelajaran daring membutuhkan keterampilan baru bagi siswa dan guru.
Survei Kemendikbud menemukan, sebanyak 60 persen guru masih mengalami permasalahan dalam pembelajaran yang melibatkan TIK (teknologi informasi dan komunikasi).
Meski demikian, di tengah keterbatasan yang ada, guru terus mencari solusi pembelajaran, termasuk guru yang berada di pelosok, untuk memastikan siswa tetap belajar.
Tak dapat dimungkiri pembelajaran daring membuat beban guru semakin berat. Hasil survei Kompas menangkap keluhan tersebut disampaikan responden. Pemerintah pun sudah melakukan mitigasi, antara lain, dengan memberikan bantuan, mulai dari bimbingan teknis kepada guru, kuota internet, menyiapkan bahan ajar, rencana pelaksanaan pembelajaran, hingga bantuan infrastruktur di sekolah.
Hasil survei Kompas juga merekam, transformasi teknologi yang dijalankan melalui pembelajaran daring di masa pandemi hasilnya kurang efektif. Enam dari sepuluh responden menilai, pembelajaran daring, baik yang terjadi interaksi dengan guru seperti melalui aplikasi Zoom Meet atau Google Meet maupun tanpa interaksi seperti aplikasi Whatsapp, tidak efektif untuk menyampaikan materi.
Di sisi lain tampak kerinduan responden untuk membuka kembali sekolah. Hasil survei menangkap mayoritas responden (79 persen) menilai sistem kegiatan belajar mengajar akan efektif jika dilakukan secara penuh dengan tatap muka.
Sementara ada 67 persen responden yang menyatakan pembelajaran akan lebih efektif melalui blended learning dengan mengombinasikan pembelajaran jarak jauh, penggunaan alat bantu, dan tatap muka.
Baca juga : Sekolah Siapkan Pola Pembelajaran yang Lebih Menyenangkan
Learning loss
Kerinduan untuk melakukan pembelajaran tatap muka memang tak berlebihan mengingat dampak yang ditimbulkan jika belajar dari rumah semakin lama berlangsung. Sebanyak 45 persen responden mengkhawatirkan pemerataan dan menurunnya kualitas pendidikan. Kesenjangan yang terjadi akan semakin mempertajam turunnya mutu pendidikan.
Semakin lama pandemi, anak-anak di Indonesia terancam mengalami penurunan kemampuan belajar atau learning loss. Penurunan kemampuan membaca selama pandemi bisa mengukur seberapa jauh learning loss terjadi.
Bank Dunia (2020) membuat skenario penurunan skor kemampuan membaca siswa yang diukur dalam Programme for International Student Assessment (PISA).
Menurut estimasi perhitungan Bank Dunia, dampak pandemi Covid-19 membuat performa membaca siswa Indonesia saat ini turun 11 poin dari capaian tahun 2018. Bahkan, menurut skenario, pesimis akan turun hingga 21 poin.
Lebih dari itu, Bank Dunia dalam riset yang dilakukan pada Maret-September 2020 menemukan, dalam jangka panjang, penutupan sebagian besar sekolah diproyeksikan mengakibatkan hilangnya pendapatan seumur hidup pada 68 juta siswa yang setara dengan 222,4 miliar dollar AS (Rp 3.336 triliun).
Hal ini setara dengan 19,9 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2019. Sebab, penghasilan anak di masa depan terkait dengan seberapa banyak yang mereka pelajari di sekolah dan bekal keterampilan yang diperoleh untuk menjadi produktif. Kerugian ini bahkan bisa lebih besar lagi jika sekolah ditutup untuk waktu yang lebih lama tanpa tindakan tambahan untuk mendukung pembelajaran.
Sementara itu, sekitar 32 persen responden mengkhawatirkan PJJ akan berdampak pada masalah psikologis siswa. Siswa menjadi jenuh dan malas yang juga akan berdampak pada pembentukan karakter anak. Lebih jauh lagi kekhawatiran akan meningkatnya masalah sosial, seperti kekerasan, pernikahan dini, dan demotivasi anak sehingga memilih putus sekolah.
Proses belajar dari rumah di mana orangtua dituntut untuk mendampingi anak dalam belajar juga menyebabkan orangtua merasa stres dan mengeluhkan pengeluaran yang membengkak. Hal ini dikeluhkan seperlima responden. Perbedaan akses dan penyerapan tiap siswa dan keluarga menyebabkan pembelajaran tidak berjalan efektif.
Ketidakefektifan penyerapan dan pemahaman materi juga pengembangan ketrampilan melalui pembelajaran daring harus segera diantisipasi dan dicarikan solusi. Mitigasi perlu dilakukan untuk memastikan bahwa PJJ tidak cukup hanya asal berjalan, tetapi efektivitas pencapaian tetap diutamakan. (LITBANG KOMPAS)