Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Masa Pandemi
Peningkatan jumlah kasus kekerasan pada perempuan dan anak menunjukkan rentannya peristiwa kekerasan dalam keluarga atau relasi personal.
Pandemi Covid-19 tidak hanya memunculkan dampak badai sitokin dalam tubuh manusia, tetapi juga mengguncang relasi sosial dalam keluarga. Komnas Perempuan menemukan fakta-fakta baru kekerasan terhadap perempuan selama pandemi.
Sepanjang 2020-2021, Komnas Perempuan merangkum beragam laporan peristiwa hubungan personal baik antara pasangan suami-istri, urusan asmara, dan hubungan personal dalam masyakat. Konteks isi pelaporan lebih banyak terkait dengan kekerasan yang mendera perempuan. Kekerasan yang dialami bisa berupa kekerasan fisik maupun verbal.
Setiap tahun Komnas Perempuan merilis rekam jejak peristiwa, fenomena, dan kejadian kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak. Laporan tersebut terangkum dalam Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (Catahu).
Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 terdata sebanyak 299.911 kasus. Data tersebut dihimpun dari Pengadilan Agama sebanyak 291.677 kasus dan lembaga mitra Komnas Perempuan sebanyak 8.234 kasus.
Jika melihat langsung jumlah angka kekerasan 299.911 kasus maka sepertinya jauh lebih kecil dari angka tahun 2019 yaitu 431.471, tetapi yang perlu dicatat adalah bahwa di masa pandemi hanya 50 persen lembaga mitra Komnas Perempuan yang mengembalikan angket laporan kekerasan terhadap perempuan.
Jumlah penurunan kasus juga disebabkan oleh laporan yang masuk lebih sedikit. Faktor lainnya disebabkan karena korban enggan melapor atau cenderung mengadu pada keluarga atau orang terdekat. Minimnya literasi teknologi juga menjadi salah satu kendala korban untuk melapor.
Jika merujuk lebih spesifik pada angka laporan dari masyarakat yang langsung masuk ke unit layanan Komnas Perempuan maka tampak jelas peningkatan angka kasus kekerasan yang naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Pada 2019 angka kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 1.419 kasus. Sementara, pada 2020 angka kasus kekerasan meningkat menjadi 2.389 di tahun 2020. Hal ini mengindikasikan kekerasan yang terjadi dalam masyarakat meningkat di masa pandemi.
Dari data 8.234 kasus kekerasan terhadap perempuan, jenis kekerasan yang paling menonjol adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) / Relasi Personal sebanyak 6.480 kasus atau 78,6 persen.
Dari jumlah 6.480 kasus yang terkait dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Relasi Personal, kejadian kekerasan terhadap istri sebanyak 3.221 atau 49,7 persen kasus. Berikutnya kekerasan yang terjadi atau dialami dalam pacaran 1.309 atau 20 persen. Ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan 954 atau 14,7 persen.
Tekanan akibat pandemi
Peningkatan jumlah kasus kekerasan pada perempuan dan anak menunjukkan rentannya peristiwa kekerasan dalam keluarga atau relasi personal. Menurut laporan Komnas Perempuan, salah satu penyebab meningkatnya kekerasan berbasis gender di masa pandemi karena situasi yang serba sulit yang mengakibatkan rasa tertekan lebih besar.
Salah satu contohnya adalah hilangnya wibawa seorang suami atau ayah dalam keluarga akibat kehilangan pekerjaan dan profesinya sebagai dampak dari pandemi yang berkepanjangan.
Berbagai persoalan mengemuka sebagai respon atas pandemi menjadi kepedulian dari kelompok pemerhati anak. Seperti yang dilakukan oleh lembaga nirlaba Save Children (2020) yang mengungkapkan bahwa beberapa layanan untuk anak seperti pelayanan kesehatan, pendidikan hingga perlindungan anak tidak optimal di masa pandemi.
Dalam Catatan Akhir Tahun Situasi Hak Anak Indonesia 2020 terungkap bahwa layanan kesehatan anak seperti Posyandu dan Puskesmas ditutup sementara. Akibatnya layanan monitoring tumbuh kembang anak juga terganggu. Dengan kata lain, tidak ada saluran pengaduan optimal jika ada kasus yang menimpa anak, misalnya terkait dengan asupan gizi maupun kemungkinan kekerasan fisik dan nonfisik yang menimpa anak.
Proses pendidikan dan pengajaran anak anak terganggu karena sekolah ditutup dan mengandalkan belajar di rumah, sehingga segala sesuatunya tergantung pada kesiapan orang tua. Hal ini membuka peluang terjadinya kekerasan pada anak karena orang tua menerima beban berlipat di masa pandemi. Di satu sisi mencari penghasilan buat keluarga, di sisi lain harus membimbing anak mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Temuan Save Children menyebutkan sebanyak satu dari lima orang tua melakukan pengasuhan anak secara negatif. Bentuknya bersikap kasar seperti sering berteriak, lebih agresif dan memberikan hukuman fisik. Kondisi ini menimpa pada anak berusia di atas 10 tahun. Belajar daring dari rumah mengakibatkan anak-anak semakin terjebak dengan gawai dan internet sehingga rentan menjadi korban kekerasan berbasis jender secara daring atau online.
Dalam State of The World Girls Report 2020, hasil riset Plan International tentang Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pada anak perempuan dan kaum muda perempuan menemukan separuh dari responden anak perempuan di 31 negara termasuk dari Indonesia mengaku pernah mengalami pelecehan secara daring.
Penelitan tersebut melibatkan 14.000 anak perempuan di 31 negara yang juga melibatkan 500 anak dari Indonesia sebagai responden. (Kekerasan Seksual Jadi Ancaman, Kompas, 10/10/2020).
Selain ancaman kekerasan dan pelecehan seksual, pencurian data, penyebaran foto atau video pornografi, KBGO juga berupa ancaman melukai, memata-matai (stalking), menghina (bullying), penghinaan fisik (body shaming), dan ujaran kebencian (hate speech).
Beberapa jenis perbuatan bermuatan unsur KBGO lainnya, di antaranya trolling, yaitu pelecehan, penghinaan, komentar bermuatan bernada seks, pemerasan yang melibatkan tindakan seksual, dan penyebaran informasi pribadi di dunia maya atau doxing.
Perbuatan lainnya, pemaksaan berhubungan intim yang disertai aktivitas merekam untuk kemudian diunggah ke dunia maya, manipulasi foto dan video ke gambar-gambar sensual, upaya menjebak seseorang di dunia maya untuk tujuan seksual, aksi menjebak anak di bawah umur untuk berhubungan intim atau disebut sebagai cyber grooming.
Dari hasil riset ditemukan, perempuan 27 kali lebih sering mengalami kekerasan daring sejak usia 15 tahun. Dari 500 responden anak di Indonesia, 395 anak mengalami KBGO berganda dan 15 responden mengalami semua jenis KBGO. Plan International mendorong perlindungan hukum bagi anak perempuan yang jadi target KBGO.
Upaya antisipasi
Untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan berbasis jender secara daring, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) maupun SAFEnet memberikan langkah upaya untuk melindungi privasi di media sosial dan aplikasi percakapan.
Sangat disarankan untuk mengecek dan mengatur ulang pengaturan privasi, kata sandi yang kuat dan tidak mudah di ketahui orang lain. Selain itu, masyarakat sebaiknya tidak mudah percaya pada aplikasi pihak ketiga serta disarankan untuk menghindari berbagi lokasi pada waktu nyata (real time), kecuali kepada orang yang sudah benar-benar dikenal dekat atau secara baik.
Jika sudah menjadi korban kekerasan daring maka sebaiknya korban mendokumentasikan tangkapan layar berupa isi perbincangan (chat), membuat kronologi kejadian misalnya: apa yang terjadi, siapa pelaku, kapan terjadi, dan bagaimana peristiwa kejadiannya.
Contoh kasus kejahatan seksual yang paling memilukan di masa pandemi adalah tindakan perkosaan yang terjadi di Aceh Timur pada 10 Oktober 2020. Pelaku kejahatan adalah residivis kasus pembunuhan yang dibebaskan demi mencegah meluasnya penularan virus korona di penjara.
Pelaku mengetahui suami korban pergi melaut sehingga pelaku berani menjebol pintu rumah korban, memperkosa sang ibu dan membunuh putra korban yang berusia 9 tahun kemudian membuang jasadnya ke sungai.
Kasus ini menjadi tamparan bagi masyarakat bahwa perempuan dan anak sangat rentan menjadi korban kekerasan. Meskipun pelaku langsung ditangkap keesokan harinya dan terancam hukuman mati, tetapi luka dan trauma korban perkosaan harus ditanggung sepanjang hidup.
Membutuhkan payung hukum
Indonesia telah lama memiliki Rancangan Undang-undang Perlindungan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sejak tahun 2012 Komnas Perempuan telah mengusulkan RUU tersebut sejak tahun 2012, baru tahun 2016 DPR meminta naskah akademiknya.
Namun, pembahasan sangat tidak mudah dan berlarut larut karena ada perbedaan paham berpikir antara anggota DPR, bahkan terdapat frasa dalam RUU yang selalu dipermasalahkan oleh fraksi pada 2020.
Baca juga: Urgensi Melindungi Perempuan dari Kekerasan Daring
Upaya sejumlah elemen dan aktivis lembaga swadaya masyarakat yang mendukung RUU ini tidak pernah berhenti mendesak pemerintah agar segera membahasnya. Salah satunya yang dilakukan oleh Jaringan Masyarakat Sipil pada Oktober 2020 menuntut agar RUU ini dimasukkan kembali dalam prolegnas 2021.
Angin segar berhembus ketika Rapat Paripurna DPR RI pada 23 Maret 2021 menyetujui 33 RUU masuk Prolegnas 2021 dan 246 RUU Prolegnas 2020-2024. Dari 33 RUU tersebut, RUU ini adalah salah satunya. Masuknya RUU Perlindungan Kekerasan Seksual dalam prolegnas prioritas 2021 merupakan bukti keberpihakan negara terhadap persoalan yang dihadapi perempuan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengenali Pelaku Kekerasan Daring terhadap Perempuan