”Fashionopolis” dan Kritik untuk Industri Mode Cepat
Buku ini membuka sisi gelap industri mode cepat atau ”fast fashion” dari isu lingkungan hingga sosial.
Buku ini berupaya mengajak pembaca untuk memahami proses di balik pembuatan pakaian agar pembaca mau berpartisipasi mengurangi dampak negatif dari industri mode cepat. Melalui wawancara dan hasil riset, kritik terhadap sisi gelap industri mode cepat serta optimisme mengembalikan industri mode sesuai etika disajikan dalam buku ini.
Pakaian menjadi salah satu barang yang paling banyak dan sering dibeli masyarakat. Memang pakaian menjadi kebutuhan dasar manusia selain makanan dan tempat tinggal.
Namun, fungsinya berkembang dari kebutuhan dasar semata hingga menjadi keinginan untuk mengaktualisasikan diri. Ada yang membeli pakaian karena sekadar mengekspresikan hobi berbelanja, mengikuti tradisi seperti hari raya Idul Fitri, atau karena tidak mau ketinggalan tren mode.
Apalagi harga pakaian semakin murah. Akses berbelanja semakin mudah dengan toko daring. Pilihan mode juga semakin beragam. Tidak heran, konsumsi pakaian meningkat dari tahun ke tahun.
Sah-sah saja berbelanja pakaian dengan beragam pilihan mode dan harga. Namun, ada harga yang harus dibayar untuk kompensasi atas dampak lingkungan dan sosial dalam jangka panjang.
Inilah kritik yang dibangun oleh Dana Thomas terhadap tren fast fashion (mode cepat) dalam bukunya berjudul Fashionopolis: The Price of Fast Fashion and The Future of Clothes. Dana Thomas menyajikan fakta dan data tentang sisi gelap bisnis mode pakaian terhadap sosial dan lingkungan. Dengan fakta dan data itu, ia membangun narasi dan literasi untuk menggugah orang agar peduli dan memikirkan kembali dampak-dampak itu sebelum membeli pakaian.
Tujuannya adalah mendekatkan pembaca dengan realitas di lapangan terkait proses produksi pakaian, mulai dari penanaman kapas yang membutuhkan air banyak hingga para pegawai yang dibayar sangat murah dan tanpa perlindungan kerja. Sebab, tidak banyak yang tahu bahkan memikirkan dari mana dan bagaimana pakaian-pakaian yang kita kenakan itu diproduksi.
”Fast fashion”
Seperti judulnya, fast fashion menjadi isu utama yang dibahas Dana Thomas dalam bukunya. Pada bagian awal, Dana Thomas mendeskripiskan dengan lengkap perkembangan dan perubahan industri mode hingga muncul tren fast fashion itu, mulai abad ke-18 sampai dengan sekarang.
Jika disimpulkan, industri mode ini berkembang seiring dengan meningkatnya kapasitas dan kecanggihan teknologi. Sebelum revolusi industri, pakaian dibuat satu per satu sesuai pesanan. Biasanya ini diproduksi di penjahit rumahan atau banyak pula yang membuat sendiri pakaiannya.
Namun, sejak adanya mesin pemintal dan lainnya pada akhir abad ke-18, dimulailah transisi pakaian dari buatan tangan menjadi buatan mesin. Mesin-mesin itu memproduksi banyak pakaian jadi dan dimanfaatkan untuk seragam perang. Setelah kondisi stabil dan Perang Dunia II selesai, teknologi ini dimanfaatkan untuk memproduksi pakaian jadi untuk menyesuaikan tren mode hingga saat ini.
Fast fashion berkembang dimulai dari munculnya merek mode Zara pada 1975 oleh Amancio Ortega Gaona dan istrinya, Rosalia Mera, di Spanyol. Fast fashion digambarkan Dana Thomas sebagai tren produksi mode dalam waktu cepat dan masif dengan harga yang lebih murah.
Sebagai gambaran, Zara hanya membutuhkan waktu enam minggu untuk mendesain hingga memasarkan pakaian. Sementara merek lain yang menggunakan model bisnis tradisional membutuhkan waktu enam bulan untuk proses yang sama.
Model bisnis ini kemudian diikuti oleh merek-merek lain, seperti Pull&Bear dan Bershka (anak perusahaan Inditex selain Zara) serta HnM. Tren ini menyebabkan konsumsi dan produksi pakaian meningkat. Antara tahun 2000 dan 2014, produksi garmen meningkat dua kali lipat menjadi 100 miliar setiap tahun atau 14 potong pakaian baru bagi setiap orang.
Sebagai jurnalis yang juga berpengalaman menulis sejumlah buku tentang mode, Dana Thomas dengan berani mengkiritisi dampak tren ini. Etika bisnis mode sering kali diabaikan. Perusahaan-perusahaan mencuri ide dari desainer mode, seperti kasus Mary Katrantzou, demi meluncurkan koleksi baru dengan lebih cepat.
Perusahaan pakaian juga sering kali memberikan upah rendah dan minim perlindungan kerja bagi pekerjanya, terutama jika pabrik berada di negara berpendapatan rendah. Hal ini untuk menekan biaya produksi sehingga harga jual pakaian lebih murah.
Yang tak kalah penting dari dampak fast fashion adalah kerusakan lingkungan. Industri garmen dan tekstil bertanggung jawab atas 20 persen polusi air setiap tahunnya dan 10 persen emisi gas. Industri mode menggunakan seperempat bahan kimia yang diproduksi di seluruh dunia. Sampah pakaian dari sisa industri, pakaian yang tidak terjual, dan pakaian yang sudah tidak terpakai diperkirakan mencapai 2,1 miliar ton setiap tahunnya.
Bisnis ramah lingkungan
Dalam 320 halaman yang terdiri dari 4 bab, Dana Thomas tak hanya menuliskan kritik terhadap dampak dari fast fashion saja. Ia juga menawarkan solusi optimis untuk industri mode di masa depan yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan. Dari wawancaranya dengan sejumlah pelaku industri mode, Dana Thomas berupaya meyakinkan pelaku industri mode lainnya bahwa sangatlah mungkin industri mode tetap berjalan sesuai etika bisnis dan lingkungan tanpa merugi.
Upaya ini dilakukan dengan menggunakan bahan ramah lingkungan atau daur ulang, memproduksi pakaian sesuai dengan pesanan, penggunaan teknologi ramah lingkungan, mengembangkan penelitian untuk membuat bahan sintetis ramah lingkungan, hingga mendekatkan bahan baku, pabrik, dan pasar untuk mengurangi bahan bakar transportasi.
Sebagai contoh, Dana Thomas menunjukkan model bisnis milik Stella McCartney, perancang busana asal Inggris, yang berhasil menerapkan bisnis mode ramah lingkungan. Produk pakaian buatannya bebas kulit hewan asli, menggunakan kapas organik, dan bahan-bahan natural seperti serat kayu dari pohon yang tidak berasal dari hutan yang dilindungi. McCartney juga menggunakan bahan-bahan sintetis hasil pengembangan mikrobiologi seperti serat sutra dari laba-laba dan kulit sintetis dari organisme miselium.
Untuk memastikan proses produksi dan rantai pasoknya sesuai dengan kaidah kelestarian lingkungan, Stella McCartney dan partnernya, Claire Bergkamp, menyusun perhitungan keuntungan dan kerugian lingkungan. Analisis itu menggunakan enam kategori utama sebagai variabelnya, yaitu emisi gas rumah kaca, polusi udara, polusi air, konsumsi air, limbah, dan penggunaan lahan. Usahanya berhasil, memberikan keuntungan secara materi dan juga menjaga kelestarian lingkungan.
Sejumlah upaya untuk mengembalikan etika bisnis dan lingkungan dalam industri mode sudah dilakukan juga oleh perusahaan Fast Fashion. Misalnya, Zara dan Pull&Bear dengan edisi Join Life serta H&M dengan edisi Conscious.
Namun, Dana Thomas mengingatkan bahwa tidak semua perusahaan dan pemilik usaha mode benar-benar menerapkan bisnis ramah lingkungan. Bisa jadi, upaya itu hanya sebagai selubung untuk menutupi proses produksi yang sesungguhnya. Ini dilakukan karena konsumen mulai sadar dan menaruh kepedulian terhadap isu lingkungan.
Partisipasi konsumen
Dana Thomas menyadari bahwa upaya untuk mengubah pola bisnis dan perdagangan mode tidak hanya bergantung pada perancang busana dan pemilik usaha. Menurut dia, konsumen mengambil andil besar dalam hal ini. Masa depan industri mode dibangun atas kepedulian pemilik usaha dan konsumen terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial dari sektor ini.
Karena itulah, dari awal hingga akhir bukunya, Dana Thomas menguak fakta, data, dan kisah-kisah dampak buruk dari industri fast fashion untuk menggugah konsumen (pembaca) tergerak untuk berpartisipasi dalam upaya penyelamatan lingkungan dan sosial industri mode.
Sampah pakaian dari sisa industri, pakaian yang tidak terjual, dan pakaian yang sudah tidak terpakai diperkirakan mencapai 2,1 miliar ton setiap tahunnya.
Ajakan yang disampaikan adalah ”Revolusi tidak hanya datang dari pembuat saja. Kita semua harus maju. Membeli pakaian lebih sedikit, cuci pakaian terpisah, perbaiki dan gunakan ulang, pertimbangkan bahan yang digunakan, pertimbangkan rantai pasoknya, pertimbangkan prinsip perusahaan dalam membuat dan memproduksinya. Kita perlu mode yang lebih personal yang lebih baik bagi bumi”.
Praktisnya, di bagian akhir bukunya, Dana Thomas memberikan solusi bahwa untuk berganti mode tidak harus dengan membeli baju baru. Semua orang diajak untuk membeli pakaian bekas layak pakai dan sesuai tren mode. Menyewa pakaian ketika butuh untuk acara-acara tertentu, juga sangat disarankan daripada membeli baju baru.
Baca juga: Hemat Baju demi Lingkungan Sehat
Dan yang terutama, Dana Thomas mengajak pembaca untuk keluar dari kebiasaan berbelanja tanpa pikir panjang dan impulsif (mindless shopping). Masyarakat diajak berpikir kritis sekaligus menyadari mengapa harus membeli suatu barang, dengan merefleksikan bagaimana barang itu diproduksi serta apa yang terjadi di dalam proses produksinya.
Dengan jalan itu, diharapkan setiap orang lebih sadar akan nilai suatu barang yang dikenakan. Dengan demikian, sesuai dengan harapan Dana Thomas, ”kita akan melihat pakaian kita tidak hanya sebagai sesuatu yang kita pakai, tetapi juga sebagai keseluruhan ekosistem itu”. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Peduli Lingkungan via Baju Layak Pakai