Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu Tercatat, setidaknya dalam beberapa bulan terakhir, ada tiga partai politik yang sudah dideklarasikan. Pada 7 November 2019 dibentuk kembali partai Majelis Syuro Muslimin (Masyumi) dengan nama Masyumi Reborn.
Deklarasi partai yang digawangi mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua dan eks politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ahmad Yani, ini menekankan akan membawa kembali semangat dan kejayaan partai Islam di masa lampau.
Baca juga : Jalan Lapang dan Terjal Partai Politik
Beberapa hari setelahnya, Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora Indonesia) dideklarasikan pada 10 November 2019 di Jakarta. Partai ini dimotori mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anis Matta dan Fahri Hamzah, yang sebelumnya membuat organisasi masyarakat bernama Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi).
Enam bulan setelahnya, pada 29 April 2021, lahir Partai Ummat yang dibidani mantan Ketua MPR RI dan pendiri PAN, Amien Rais. Deklarasi partai yang berlandaskan pada nilai Islam ini dideklarasikan melalui kanal video daring milik Amien Rais.
Sebagai kendaraan politik, partai memang akan digunakan untuk membawa agenda sesuai dengan visi dan misi pembentukannya untuk masuk ke dalam sistem bernegara sesuai ketentuan yang berlaku.
Tentu pendirian sebuah partai akan dilatarbelakangi berbagai hal kompleks yang dipicu pula oleh bermacam dinamika politik, mulai dari perpecahan internal partai hingga ketidakpuasan pada pemecahan persoalan bangsa.
Tantangan persyaratan
Pendirian partai sebagai organisasi politik resmi yang diakui negara memang tak lantas membuat partai dapat mengikuti perhelatan pemilu. Sesuai amanat Undang-Undang Pemilihan Umum, sebuah partai politik dapat dinyatakan sebagai peserta pemilu setelah melalui sejumlah persyaratan.
Persyaratan tersebut, di antaranya, di setiap kabupaten/kota harus memiliki keanggotaan minimal seribu orang atau satu per seribu dari jumlah penduduk dan berbagai ketentuan berkas administrasi yang harus dipenuhi.
Khusus partai politik baru, proses pendaftaran partai sebagai peserta pemilu pun dilakukan secara rijit dengan verifikasi faktual di tingkat daerah, dari provinsi hingga kabupaten/kota. Beratnya persyaratan yang harus dilewati ini membuat banyak partai politik baru gagal meramaikan panggung pemilu.
Terlepas dari segala polemiknya, persyaratan administrasi dan verifikasi faktual yang ketat dan detail tersebut menegaskan bahwa partai politik baru memang harus dibangun dengan penuh persiapan matang.
Rekam jejak pemilihan mencatat, setidaknya empat dari lima partai baru gagal menjadi peserta Pemilu 2019 karena tak dapat memenuhi persyaratan. Hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang berhasil lolos verifikasi.
Sementara Partai Islam Damai Aman (Idaman), Partai Rakyat, Partai Rakyat Berdaulat, dan Partai Kerja Rakyat Indonesia dinyataan tidak lolos verifikasi ketetapan badan hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Kegagalan atau keberhasilan partai baru masuk sebagai salah satu peserta pemilu memang menjadi penentu bagi eksistensi partai di masa mendatang. Tak sedikit partai-partai baru yang telah mendeklarasikan diri harus meredup, bahkan hilang tak lagi terdengar kiprahnya setelah dinyatakan gagal memenuhi verifikasi sebagai peserta pemilu.
Dengan segala strategi politik yang dimainkan, Partai Gerindra bahkan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), misalnya, menjadi sederetan partai politik pendatang baru yang bisa dikatakan mampu tumbuh dan mendulang banyak suara yang terus beranjak positif dalam setiap pemilihan.
Kerja keras membangun popularitas tersebut tentulah tidak dilakukan dalam waktu sebentar. Selain itu, kematangan organisasi dengan kualitas manajerial internal yang solid juga menjadi modal besar di samping efek dari afiliasi ketokohan yang dapat mendompleng popularitas.
Baca juga : Putusan MK Berpotensi Turunkan Kualitas Parpol
Di awal kiprahnya pada Pemilu 2009, Partai Gerindra, misalnya, telah sukses mengumpulkan sekitar 4,46 persen suara. Begitu pun dengan Nasdem yang pertama kali mengikuti pemilihan pada 2014 dan berhasil meraup tak kurang dari 6,72 persen suara.
Dengan berbagai strategi political branding yang diterapkan, baik dengan menyokong tokoh maupun pilihan sikap politik yang diambil, membuat kedua partai itu sukses mendompleng keterpilihan pada pemilihan selanjutnya.
Popularitas
Rendahnya popularitas partai baru dalam memulai debut awalnya memang akan menjadi tantangan berat. Survei tatap muka yang diselenggarakan Kompas untuk periode April 2021 kepada 1.200 responden merekam tak sampai 1 persen di antaranya yang mengetahui kemunculan partai-partai baru. Mayoritas dari responden (67,9 persen) tersebut pun menyatakan tidak tertarik untuk memilih partai baru dalam Pemilu 2024.
Rendahnya angka popularitas itu menjadi tolak ukur awal bahwa political branding partai baru memang harus dilakukan dengan berbagai strategi yang tepat sasaran. Bagi partai politik yang sebelumnya telah memupuk kantong-kantong simpatisan dengan berangkat dari sebuah organisasi sayap akan jauh lebih kokoh dan matang.
Langkah tersebut dilakukan oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang sebelum dideklarasikan sebagai partai telah berbentuk organisasi masyarakat berskala nasional.
Hal serupa dilakukan Partai Gelora yang sebelumnya membentuk organisasi masyarakat Garbi. Terbukti, hasil survei juga menunjukkan bahwa debut awal popularitas Partai Gelora jauh unggul di atas partai baru lainnya.
Menguatkan eksistensi partai pendatang baru agar dilirik oleh para pemilih juga tidak terlepas dari sejumlah faktor yang menjadi pertimbangan pemilih. Partai baru memang harus dapat menawarkan alternatif dan banyak keterbaruan dalam bungkus visi misi hingga program kerja partai.
Selain itu, hasil survei juga mengungkap lebih dari 80 persen responden menyatakan bahwa afialiasi partai politik dengan pijakan ideologi tertentu hingga ketokohan yang ada di dalam partai juga masih sangat menjadi pertimbangan pemilih.
Hasil survei juga mengungkap, ceruk pasar pemilih yang cukup besar tertarik untuk memilih partai-partai baru ini berada pada kelompok usia muda, yaitu pemilih di bawah 30 tahun. Hal yang sama terlihat dari kelompok pendidikan tinggi yang memiliki kecenderungan cukup besar (sepertiga) untuk menjadi pemilih partai baru.
Demografi pemilih itu mengindikasi bahwa pasar suara bagi partai pendatang baru sebetulnya sangat potensial, tetapi juga cukup memiliki tantangan untuk dapat merebut simpati kelompok pemilih dengan pandangan kritis ini.
Kini, dengan sisa waktu yang terus berjalan menuju gelanggang pemilihan, partai baru harus terus mengoptimalkan gerak mesin partai untuk menggenjot popularitas.
Selain itu, penguatan internal organisasi juga menjadi sangat penting, termasuk dalam mengupayakan pemenuhan segala prasyarat untuk dapat lolos sebagai peserta pemilu. (LITBANG KOMPAS)