Prabowo Subianto, Penantian Panjang Sang Petarung
Kegigihan Prabowo belum berbuah dalam jabatan kepresidenan. Padahal berbagai upaya telah ia lakukan dalam memenuhi hasrat kepemimpinannya itu. Itulah mengapa, menjadi semakin menarik diamati persaingan di Pemilu 2024
Tidak ada satu pun calon presiden di negeri ini bertarung politik dengan kegigihan seperti Prabowo Subianto. Betapa tidak, semenjak ia secara resmi mendaftar konvensi calon presiden Partai Golkar, 21 Juli 2003 lalu, hingga kini, genap 18 tahun sudah tekadnya tertanam untuk menjadi tokoh pemimpin nomor satu di negeri ini.
Praktis, semenjak itu pula sosok Prabowo selalu berada dalam arus pusaran persaingan dan penguasaan dukungan pemilih. Ia menjadi satu-satunya pesaing yang tersisa dari era generasi lampau calon kepresiden seperti Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Amien Rais, maupun Wiranto.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Ia melanjutkan pertarungannya dalam generasi pesaing Joko Widodo dalam dasawarsa terakhir. Amat memungkinkan pula dalam era Pemilu 2024 mendatang, dia kembali bertarung dalam politik, berhadapan dengan generasi kini calon kepresidenan seperti Anies Baswedan, Ganjar Paranowo, Sandiaga Uno, ataupun Ridwan Kamil.
Sayang saja, selama pertarungan yang ia lakoni kemenangan belum berpihak. Kegigihannya belum berbuah dalam jabatan kepresidenan. Padahal berbagai upaya telah ia korbankan dalam memenuhi hasrat kepemimpinannya itu. Itulah mengapa, menjadi semakin menarik diamati persaingan Pemilu 2024 mendatang. Apakah dalam penantian yang panjang itu, giliran Prabowo menguasai kursi kepresidenan?
Sebagai sosok pemimpin, sebenarnya modal politik yang dimiliki Prabowo terbilang lengkap. Ia pemimpin yang “diturunkan” dari pemimpin berkualitas di negeri ini. Terlahirkan dari sosok intelektual, begawan ekonomi, dan pejuang negeri ini, Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo, dengan sendirinya melegitimasikan simbolisasi pemimpin berkelas yang tidak dilahirkan dari kelompok pariah.
Begitu pula, persinggungannya dengan Presiden Soeharto, di saat ia membangun keluarga dengan putri presiden (Titiek Soeharto), semakin mengukuhkan kualitas trah politik simbolik dirinya.
Modal simbolik yang dikuasainya itu semakin berbobot sejalan dengan kualitas kepemimpinan yang dia tunjukkan. Sebagai prajurit TNI, Prabowo berkarir militer cemerlang. Sisi intelektualitas, kepemimpinan, keberanian, dan jiwa patriotnya tidak lagi teragukan, kendati di akhir perjalanan karir militernya sempat tersandung persoalan.
Begitu pula jaring-jaring sosial yang dikuasai Prabowo pun tergolong luas. Selain berelasi dengan militer, ia juga melebarkan pengaruhnya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dia sempat menjadi pimpinan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Selain itu, dalam politik ia membangun jaringan politik di berbagai partai. Diawali dalam tubuh Partai Golkar, tahapan selanjutnya melalui Partai Gerindra yang ia bangun membuat relasi sosial maupun politik Prabowo menjadi semakin luas lagi.
Tidak kalah penting, semua penguasaan kapital tersebut kian dilengkapi oleh modal ekonomi yang dikuasainya. Selepas karir militer, ia mampu membangun kekuatan ekonomi dalam skala global. Ia menjadi pengusaha dengan kekayaan mencapai triliun rupiah. Dalam laporan harta kekayaan jelang Pemilu 2019 yang diumumkan KPK di situs elhkpn.kpk.go.id pada tahun 2018 lalu, total kekayaannya senilai Rp 1.952.013.493.659. Sebelumnya, pada Pemilu 2014, hartanya total sebesar Rp 1.670.392.580.402 dan USD 7.503.134.
Selain Prabowo, adiknya yang banyak menyokongnya dalam setiap pemilu, Hashim Djojohadikusumo, pun dikenal sebagai pebisnis tangguh dengan kekayaan berskala konglomerasi. Singkatnya, jika ukuran penguasaan ataupun dominasi arena ala sosiolog Bourdieu diidentifikasi, kapital Prabowo Subianto tergolong paling lengkap yang memungkinkannya berstrategi.
Akan tetapi, kelengkapan kapital yang dikuasai nyatanya belum menjadi jaminan penguasaan arena politik. Strategi-strategi yang ia jalankan terbukti belum juga mendominasi arena. Sekalipun, jika dicermati dari waktu ke waktu, secara konsisten terdapat peningkatan penguasaan yang signifikan.
Perluasan penguasaan politik Prabowo tampak dari segenap jejak-jejak politiknya. Sebelum membangun Partai Gerindra, memang kekuatan riil politiknya dirinya belum tampak dominan. Persoalan yang membelit, seperti pemberhentian dari dinas kemiliteran dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal, berkait dengan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atas kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan berbagai tempat lainnya di Indonesia itu lebih banyak menjadi belenggu.
Saat era kepemimpinan Presiden BJ Habibie hingga KH Abdurahman Wahid, misalnya, ia lebih banyak disibukkan dalam menghadapi berbagai tudingan yang menyudutkannya. Dalam era kepemimpinan Presiden BJ Habibie, ia dilibatkan dalam kasus kerusahan Mei 1998 (Kompas, 22/12/1998). Pernah pula dituding Presiden Abdurrahman Wahid pelanggar HAM lantaran telah membunuh 100 orang Papua (Kompas, 10/5/2000). Selain itu, ia pun pernah pula dikaitkan dengan kasus Bom Natal 2000 (Kompas, 18/01/2001).
Berkali-kali ia menolak semua tuduhan. Ia merasa dirugikan. Mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu merasakan bahwa dirinya dikorbankan dari berbagai kepentingan politik.
Hingga Juli 2003, kabar terkait Prabowo relatif senyap. Ia pun lebih banyak disibukkan dalam dunia usaha dan bermukim di luar negeri. Itulah mengapa, sejak ia menyatakan keseriusannya di pertengahan Juli untuk mengikuti konvensi calon presiden Partai Golkar, kembali namanya mencuat.
Inilah momen, di mana Prabowo pertama kalinya mengambil langkah-langkah politik nyata dalam persaingan dan perebutan kursi kepresidenan. Ia memilih Partai Golkar, lantaran kedudukannya sebagai Dewan Penasihat Partai di dalam partai ini.
Dalam konvensi calon presiden Partai Golkar, Prabowo yang didukung 14 provinsi, bersaing dengan enam kampiun politik lainnya, yaitu Aburizal Bakrie yang didukung 28 provinsi, Surya Paloh (27 provinsi), Wiranto (25 provinsi), Akbar Tandjung (23 provinsi), Jusuf Kalla (20 provinsi), dan Sultan Hamengku Buwono X (7 provinsi). Namun, pada periode ini, Partai Golkar mengubah mekanisme konvensi dan tidak lagi menetapkan satu calon presiden yang definitif untuk digadang jelang Pemilu Legislatif 2004.
Jelang Pemilu 2004, konvensi Partai Golkar berlanjut. Pada putaran pertama yang berakhir 20 April 2004 itu, hanya lima kandidat bersaing. Pada momen ini, Prabowo tersingkir. Ia hanya mampu menguasai 39 suara, paling sedikit dari calon lainnya. Akbar Tanjung, sang ketua umum partai, meraih dukungan 147 suara. Diikuti selanjutnya Wiranto 137 suara, Aburizal Bakrie 118 suara, dan Surya Paloh 77 suara. Pada putaran kedua, Wiranto dinyatakan sebagai calon presiden Partai Golkar setelah menyingkirkan Akbar Tanjung.
Semakin menyadari pengaruh politiknya terbatas dalam Partai Golkar, Prabowo berstrategi membangun kekuatan politik dengan mendirikan Partai Gerindra (8 Februari 2008). Sejak 12 Juli 2008, ia resmi meninggalkan Golkar dan menempati kursi Ketua Dewan Pembina Gerindra, yang kelak mengusungnya sebagai calon presiden dalam Pemilu 2009.
Sebagai partai politik, Gerindra yang identik dengan sosok Prabowo itu mampu menunjukkan kinerja politik yang menawan. Sebagai partai baru, dalam Pemilu 2009 mampu mengumpulkan 4,6 juta pemilih (4,46 persen) dan merebut 26 kursi DPR. Namun, besaran penguasaan suara tersebut masih belum cukup untuk membawa Prabowo sebagai calon presiden. Saat itu, Prabowo memilih berkoalisi dengan PDI Perjuangan. Dalam koalisi tersebut, ia menjadi calon wakil presiden yang berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarnoputri.
Hanya saja, pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (Mega-Pro) tidak mampu menghadapi petahana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu berpasangan dengan Boediono. Mereka kandas, hanya mampu mengumpulkan 26,79 persen. Kedua kekuatan ini praktis menjadi oposisi pasca Pemilu 2009.
Pada Pemilu 2014, koalisi Gerindra dengan PDI-P pecah kongsi. Menariknya, Gerindra menjadi partai yang semakin luas pendukungnya. Hasil Pemilu 2014 menunjukkan, Gerindra mampu menguasai 14,7 juta suara (11,8 persen), atau menempati urutan ketiga setelah PDI P dan Golkar. Bermodal inilah yang mengantarkan Prabowo ke persaingan kursi presiden sesungguhnya (Grafik 1).
Pada Pemilu Presiden 2014 itu, Prabowo memilih berpasangan dengan Hatta Rajasa (Ketua Umum PAN) dan didukung oleh Golkar, serta partai-partai berideologi Islam seperti PPP, PKS, dan PBB. Pesaing Prabowo kali ini, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, yang saat itu diusung oleh koalisi PDI P, Nasdem, PKB, dan Hanura.
Kehadiran sosok Jokowi yang saat itu tergolong fenomenal, menjadi penghadangnya kali ini. Dalam pertarungan politik yang penuh emosional dan keterpilahan massa pemilih itu, Prabowo terkalahkan. Prabowo-Hatta meraih dukungan hingga 46,85 persen, atau terpaut sekitar lima persen saja dengan perolehan pasangan Jokowi-Kalla.
Selisih tipis suara mengindikasikan kekalahan sekaligus kegagalan dalam meraih kursi kepresidenan. Terlebih, kekalahan yang sama kembali ia rasakan dalam ajang Pemilu 2019. Berhadapan dengan Jokowi yang kala itu sebagai petahana, ia tidak mampu mengejar ketertinggalan. Akan tetapi, hasil pemilu tersebut juga mengindikasikan semakin luasnya dukungan terhadap sosok Prabowo. Basis dukungannya secara riil bertambah dan ia berhasil menciptakan kantong-kantong wilayah yang tergolong sebagai pendukung loyal.
Kondisi demikian terus-menerus terjaga. Dari berbagai hasil survei opini publik, misalnya, menunjukkan pengaruh Prabowo tetap kuat di mata masyarakat. Semenjak periode 2012-2021, sosoknya tetap bertengger dalam posisi kedua setelah Jokowi (Grafik 2).
Dalam simulasi survei, jika nama Jokowi tidak ikut dalam peta persaingan, Prabowo menjadi yang paling atas (Grafik 3).
Persoalannya, apakah kondisi demikian tetap terjaga hingga Pemilu 2024 mendatang? Peluang menguasai kursi kepresidenan, memang masih terbuka. Ia masih memiliki basis kekuatan konstituen yang besar. Begitu pula panggung politik yang ia kuasai saat ini pun relatif terbilang solid. Namun dalam kasus Prabowo, semua itu belum menjadi jaminan perluasan pengaruh politiknya. Bagaimanapun, ia harus meningkatkan kekuatan baru yang tidak hanya berasal dari ceruk penguasaannya selama ini.
Keputusan politiknya kali ini untuk bergabung dalam kabinet pemerintahan Presiden Jokowi bisa jadi dapat menjadi nilai tersendiri, yang memungkinkan perluasan dukungan bagi dirinya. Hanya, apakah “faktor Jokowi” yang termanifestasikan pada para pendukung Jokowi itu akan berlabuh pada dirinya? Tampaknya, inilah kalkulasi politik paling problematik bagi Prabowo (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas).