Pasar Senen dan Tragedi Pasar Tua di Jakarta
Pasar Senen menjadi saksi geliat ekonomi di sekitar Batavia beberapa abad silam. Hingga kini, kawasan Pasar Senen masih menyimpan sejuta kisah yang berkelindan dengan tragedi memilukan di tengah gemerlap ibu kota.
Sebagai pasar tua, kawasan Pasar Senen pernah menjadi saksi geliat ekonomi di sekitar Batavia beberapa abad silam. Hingga kini, kawasan tersebut masih menyimpan sejuta kisah yang berkelindan dengan tragedi memilukan di tengah gemerlap ibu kota.
Berjarak sekitar 4 kilometer dari Istana Kepresidenan dan Kantor Gubernur DKI Jakarta, kawasan Pasar Senen boleh dibilang berada pada kawasan strategis di jantung ibu kota negara.
Pasar ini terletak pada jalur persilangan antara geliat politik dan ekonomi, serta ditopang oleh akses transportasi dalam kota dan antarkota, wajar jika kawasan ini selalu menjadi primadona warga Jakarta maupun daerah lainnya untuk mencukupi beragam kebutuhan.
Saat hajatan politik nasional, kawasan Pasar Senen adalah salah satu episentrum yang menghasilkan ragam produk kampanye untuk disebar ke berbagai penjuru negeri. Jelang hari besar atau perayaan momen keagamaan, kawasan ini juga menjadi magnet yang menyediakan ragam kebutuhan sandang maupun pangan bagi masyarakat ibu kota.
Eksistensi Pasar Senen tentu tidak dibangun dalam waktu singkat. Jika merunut ke belakang, denyut kawasan ini telah mulai dirasakan sejak hampir tiga abad silam. Saat itu, kawasan utara Batavia telah berkembang sebagai kota dagang di bawah kendali Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC).
Perkembangan Batavia kemudian diikuti oleh perluasan daerah kota hingga Weltevreden atau yang saat ini berada di sekitar kawasan Gambir. Semakin ramainya kawasan Batavia dan Weltevreden juga berbanding lurus dengan munculnya pasar-pasar, salah satunya adalah pasar di kawasan Senen.
Sebelumnya, kawasan Senen adalah lahan kosong yang belum banyak dimanfaatkan. Melihat denyut ekonomi yang mulai bergerak masif, salah satu tuan tanah Belanda, Justinus Vinck, berinisiatif untuk membuka pasar pada tanah miliknya di kawasan Senen. Gagasan ini disetujui oleh pemerintah Belanda pada Agustus 1735.
Kawasan ini menjadi pasar untuk wilayah sekitar Weltevreden yang dibuka pada hari Senin. Pada awal pendiriannya, pasar ini juga dikenal dengan sebutan Vincke Passer atau Pasar Vinck, sesuai dengan nama pemilik tanah dan penggagas pasar.
Sejak saat itu, kawasan ini perlahan mulai berkembang sebagai salah satu pusat transaksi jual beli berbagai barang kebutuhan. Perkembangan kawasan ini juga sulit dilepaskan dari kehadiran Stasiun Pasar Senen yang telah diresmikan sejak tahun 1887 bersamaan dengan pembukaan jalur kereta yang menghubungkan Batavia dengan Bekasi.
Baca juga: Pasar Membara di April 2021
Kebakaran pasar
Memasuki periode kemerdekaan, kawasan Senen masih tetap eksis di tengah perubahan wajah kota yang begitu masif. Pemindahan kawasan pasar sempat dilakukan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta di tengah ragam penolakan. Pasar yang sebelumnya terletak di sekitar Jalan Gunung Sahari, coba untuk dipindahkan ke kawasan di sekitar Stasiun Pasar Senen.
Pemindahan pasar ini dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Pemerintah saat itu bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengembangkan kawasan yang kemudian dikenal dengan sebutan Proyek Senen.
Namun, setelah proyek ini dikembangkan dan menjelma sebagai salah satu magnet bagi penjual dan pembeli dari berbagai daerah, kawasan Senen silih berganti mengalami kebakaran. Menurut catatan arsip harian Kompas, sedikitnya terjadi 12 kali kebakaran dalam skala menengah hingga besar yang melanda pusat perdagangan di kawasan Senen, Jakarta Pusat sejak 1974 hingga saat ini.
Kebakaran yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal. Satu-dua kebakaran diperkirakan terjadi karena korsleting listrik, ada pula kebakaran yang disebabkan oleh gejolak politik yang berkecamuk. Tak jarang kebakaran juga menimbulkan kontroversi di antara sesama pedagang terkait faktor penyebab yang cukup lama terungkap.
Salah satu tragedi kebakaran yang masih sulit untuk dilepaskan dari perjalanan panjang Pasar Senen adalah saat terjadinya aksi demonstrasi pada Januari 1974. Aksi ini dilatarbelakangi oleh penolakan mahasiswa pada arus modal asing, terutama dari Jepang, yang membanjiri Indonesia (Kompas, 16 Januari 1974).
Aksi protes yang dilakukan saat kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia, turut berimbas pada kawasan Pasar Senen. Hampir seluruh pusat perdagangan empat lantai itu dilalap api. Konstruksi bangunan pun diperkirakan hanya tersisa 25 persen.
Huru-hara ini seakan menjadi kisah pembuka rentetan peristiwa kebakaran yang melanda kawasan Pasar Senen. Jelang pengujung Orde Baru, pasar ini juga beberapa kali terbakar yang melahap sejumlah kios pedagang.
Pada November 1996, misalnya, lebih dari 750 unit kios beserta isinya terbakar. Sebanyak 34 mobil pemadam kebakaran yang dikerahkan kewalahan untuk memadamkan api meskipun telah berusaha selama sekitar 12 jam.
Peristiwa serupa juga terjadi pada Januari 1997. Ratusan pedagang panik dan memilih untuk menutup toko karena kebakaran yang menghanguskan lima unit kios. Kebakaran ini diduga terjadi akibat korsleting listrik di salah satu toko.
Pada periode reformasi, terdapat tiga peristiwa kebakaran besar yang melanda kawasan ini, yakni pada tahun 2003, 2014, dan 2017. Peristiwa terbesar terjadi pada tahun 2017 saat api melahap Blok I dan II. Akibatnya, sebanyak 2.600 pedagang terdampak dan kehilangan mata pencaharian.
Jika menengok berdasarkan waktu kejadian selama hampir separuh abad terakhir, sekitar 80 persen kebakaran di kawasan Pasar Senen terjadi pada malam dan dini hari saat sebagian besar pedagang telah menutup kios dagangannya. Berdasarkan waktu kejadian ini, wajar bila api sulit untuk dipadamkan karena sejumlah jalan masuk terkunci pada malam hari.
Baca juga: Kebakaran Kios di Pasar Senen
Kebijakan
Di tengah rentetan kasus kebakaran di kawasan Pasar Senen, pemerintah dan pengembang pasar bahu-membahu untuk memberikan solusi bagi para pedagang. Usai kebakaran pada tahun 1996, misalnya, pemerintah membangun kios sementara di lahan parkir Blok III dan Gelanggang Remaja Pasar Senen. Kios ini dikhususkan bagi para pedagang terdampak kebakaran.
Hal senada juga dilakukan oleh pengembang pasar usai kebakaran pada tahun 2003. Para pedagang diberikan diskon biaya sewa hingga 90 persen untuk menempati blok khusus yang disediakan bagi korban kebakaran. Namun, para pedagang menolak karena blok tersebut sepi pembeli. ‘
Kondisi ini menambah panas situasi karena pedagang butuh lokasi pengganti yang strategis untuk kembali menjual barang dagangan. Sementara pemangku kebijakan tetap melarang pedagang yang menjadi korban kebakaran berjualan di lapangan parkir yang biasanya ramai pembeli.
Selain pemerintah DKI Jakarta, pemerintah daerah lainnya juga turut memberikan perhatiannya pada pedagang Pasar Senen yang terdampak kebakaran. Hal ini salah satunya dilakukan oleh pemerintah daerah Sumatera Barat (Sumbar) di tengah banyaknya pedagang dari daerah tersebut yang menggantungkan sumber penghidupannya di Pasar Senen.
Menurut catatan pemerintah Provinsi Sumbar, terdapat sekitar 1.661 pedagang Minang yang berdagang di kawasan Pasar Senen pada tahun 2017 lalu. Dari jumlah itu, sekitar 600 pedagang terdampak kebakaran. Sebagai bantuan, pemerintah bersama Badan Amil Zakat Nasional Sumbar memberikan bantuan pada pedagang sebesar Rp 300 juta.
Beragam peristiwa kebakaran ini tentu menjadi lampu kuning bagi pengelolaan kawasan Pasar Senen. Meskipun penataan telah dilakukan, kawasan ini tetap tidak luput dari ancaman kebakaran yang sekaligus juga menjadi ancaman eksistensi pasar bersejarah bagi Jakarta dan Indonesia. Tentu dibutuhkan pengawasan dan pengelolaan optimal selama 24 jam untuk mencegah terjadinya kebakaran serupa di masa yang akan datang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?