Tiga Pilar Penopang Faktor ”Jokowi”
Bagi siapa pun tokoh yang berniat maju dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024, perlu mempelajari terlebih dahulu bagaimana strategi dan langkah penguasaan politik yang dilakukan Presiden Joko Widodo.
Bagi siapa pun tokoh yang berniat maju dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024, perlu mempelajari terlebih dahulu bagaimana strategi dan langkah penguasaan politik yang dilakukan Presiden Joko Widodo hingga ia menjadi sosok penentu kekuasaan negara. Kepiawaiannya dalam mengolah peluang, memanfaatkan panggung politik, dan mewujudkan kinerja, merupakan tiga pilar terbesar yang menopang langkah-langkah politiknya.
Persoalannya, bagaimanakah ketiga pilar itu mampu ia kapitalisasikan hingga menjadi suatu kekuatan politik yang mendeterminasi preferensi masyarakat?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Mencermati jejak politik Jokowi, semenjak ia pertama kali tampil dalam ruang publik, sudah tersirat berbagai upaya yang kelak diwujudkan. Kiprahnya bermula dari jalur ekonomi, sebagai pengusaha di Surakarta, yang bergulat dalam permebelan dan kerajinan. Uniknya, sebagai pemroduksi mebel yang tidak berskala modal konglomerasi, tetapi jangkauan pasarnya terbilang berskala internasional. Lingkup pengaruh kekuasaan ekonominya pun tetap saja bersifat lokal, yang bergulat dengan persoalan-persoalan klasik pengusaha dalam negeri, seperti kesulitan bahan baku kayu, besarnya pungutan, dan perizinan.
Dalam posisi sebagai Ketua Pengurus Daerah Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Surakarta, namanya pertama kali masuk dalam pemberitaan surat kabar. Saat itu, pada momen kunjungan Rachmat Gobel, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan, Jokowi mengeluhkan problem yang dihadapi para pemroduksi mebel. ”Akibat besarnya pungutan, harga mebel China bisa lebih murah 20-30 persen, selain mereka (China dan pesaing lainnya) banyak mendapat bahan baku kayu selundupan dari Indonesia.” (Kompas, 13/4/2004)
Tiga bulan kemudian, cukup mengejutkan jika Jokowi mengungkapkan bahwa beberapa pengusaha mebel di eks Karesidenan Surakarta mulai mengimpor kayu dari Kanada guna meningkatkan kapasitas produksi mebel yang akan diekspor ke negara-negara kawasan Eropa Barat. Impor itu dilakukan karena kelangkaan bahan baku kayu jati dan mahoni semakin parah sehingga kapasitas produksi perusahaan-perusahaan mebel yang mengandalkan mesin-mesin berat turun sampai di bawah 50 persen. Menurut Jokowi, kondisi yang dihadapi menjadi sangat ironis karena pasar ekspor mebel masih sangat terbuka dan Indonesia merupakan penghasil kayu yang sangat besar. Masih terbukanya pasar internasional ditunjukkan oleh kenaikan ekspor sebesar 5 persen dalam tiga tahun terakhir. Padahal, pada saat bersamaan, China, Vietnam, dan Thailand yang mendapatkan kayu dari Indonesia juga meningkatkan ekspor mereka di pasaran Eropa (Kompas, 23/7/2004).
Tampilnya Jokowi dalam pemberitaan media nasional, bisa jadi menjadi titik awal dirinya masuk dalam panggung nasional. Ia berperan sebagai aktor ekonomi yang tengah bergulat dalam mengatasi problem-problem klasik yang menghambat kemajuan ekonomi bangsa ini. Menariknya, sekalipun mengeluh terhadap kondisi, tetapi ia juga mampu menunjukkan peluang dalam skala internasional dan berbagai upaya mengatasinya.
Dalam pemberitaan lain, misalnya, bersama Asmindo, ia membangun kawasan industri mebel yang mampu menampung 50 perusahaan mebel besar dan 370 perajin. Begitu pula Bersama Asosiasi Pertekstilan Indonesia Surakarta, melakukan promosi dan penyambutan para pembeli dari negara-negara Eropa Timur. Alhasil, menjelang tutup tahun 2004 terjadi peningkatan ekspor mebel hingga 100 persen ke Eropa.
Masih dalam kapasitas sebagai aktor ekonomi, panggung nasional yang ia masuki mulai diperlebar. Tidak hanya berkisah soal kepiawaian menangkap peluang ekonomi semata, ia juga jeli menyisipkan peran sosial pengusaha yang ikut prihatin terhadap kondisi alam, bencana tsunami di Aceh. Terkait dengan peristiwa ini, sosoknya pun kembali tampil saat menyerahkan bantuan 143 set meja-kursi jati berkualitas ekspor buatan pengusaha Surakarta yang siap digunakan untuk bangku sekolah. Sumbangan para pengusaha mebel dalam naungan Asmindo itu diserahkan kepada Dana Kemanusiaan Kompas (Kompas, 24/3/2005).
Pada penggalan waktu lainnya, kiprah Jokowi meluas dan tidak lagi terbatas pada arena ekonomi dan sosial saja. Inilah momen pada saat ia melirik panggung politik. Sejalan dengan mulai berdenyutnya ajang Pemilihan Wali Kota Solo, ia mulai mengincar kekuasaan politik. Awal Maret 2005, bersama ketua DPC PDI-P Solo, FX Hadi Rudyatmo, Jokowi mendaftar bursa konvensi bakal calon wali kota yang digelar PDI-P. Jokowi-Rudy berhasil memenangi konvensi suara dominan 68 persen kursi pemilih, serta menyingkirkan lawannya, termasuk Wali Kota Solo, Slamet Suryanto.
Begitu pula selanjutnya, jalan politik Jokowi relatif mulus. Ia menikmati kelebihannya, bersandar pada PDI-P, partai yang punya sejarah penguasaan sangat kuat di Solo. Itulah sebabnya dalam Pilkada 27 Juni 2005 dengan mengusung slogan kampanye ”Berseri Tanpa Korupsi”, Jokowi-Rudy berhasil meraih 36,62 persen suara, menyisihkan ketiga pasang lawannya.
Lima tahun menjalankan kekuasaan, Jokowi-Rudy tampil sebagai pasangan inklusif yang bersifat progresif. Berbagai gebrakan kerja diretasnya, mulai dari KTP satu jam, penataan PKL, relokasi permukiman bantaran sungai, membentuk kawasan pejalan kaki (city walk), pengembangan pariwisata dan budaya, hingga pemberdayaan pasar tradisional. Dengan visi konkret ”Solo Masa Lalu adalah Solo Masa Depan”, ia berupaya mengantarkan kejayaan masa lalu kota kerajaan Solo (Surakarta Hadiningrat) dalam dimensi kekinian. Ia juga menyatakan hasratnya membangun Solo sebagai sebuah kota yang memanusiakan manusia.
Pamor kepemimpinannya meroket dan dirinya pun semakin dicintai warganya. Tidak mengherankan jika 87,8 persen dukungan ia raih dalam pilkada, yang sekaligus mengantarkannya pada periode kedua jabatan wali kota.
Tidak berhenti dalam jabatan wali kota, Jokowi berupaya memperlebar panggung politiknya. Kinerjanya mampu menjadikan Solo sebagai ikon penanganan kota yang mencuri perhatian nasional. Keberhasilannya dalam merelokasi permukiman bantaran sungai, misalnya, menjadi rujukan pemerintah pusat bagi pembenahan permukiman bantaran Sungai Ciliwung, DKI Jakarta.
Sisi lebih lainnya, sebagai sosok pemimpin dengan tampilan sederhana, Jokowi mampu menjadikan dirinya sebagai sosok yang dicintai para jurnalis. Ia rajin memproduksi isu yang mengundang banyak simpati. Pada awal tahun 2012, misalnya, ia mengganti mobil dinasnya dengan kendaraan bermerek Kiat Esemka, prototipe mobil kreasi anak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Solo. Terkait hal ini, secara tidak langsung Jokowi membalikkan kesan anak SMK yang dikenal selama ini dengan tawurannya, beralih menjadi generasi kreatif dan produktif. Jelas, terobosannya ini membawa Jokowi dalam arus pembicaraan nasional. Meskipun jabatannya wali kota, tetapi panggungnya menasional. Sesuatu yang jarang dilakukan para kepala daerah yang umumnya hanya berkutat dalam isu dan persoalan wilayahnya.
Sepanjang kiprahnya di Solo, tampak jika Jokowi piawai dalam mengolah peluang. Begitu pula, ia mampu memanfaatkan panggung politik, menjadi semakin luas lagi pengaruhnya. Pada saat yang bersamaan, ia pun mampu membuktikan kinerja kepemimpinannya, yang dibuktikan oleh tingginya apresiasi warganya.
Dengan kepiawaiannya itu, panggung kekuasaan Jokowi di Solo semakin sempit. Peluang memperluas nyata dalam panggung nasional. Itulah mengapa, ia mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan mantan Bupati Belitung Timur Basuki Tjahaja Purnama. PDI-P dan Gerindra, dua partai yang saat itu berperan oposisi pemerintahan, menjadi penyokong kedua tokoh ini. Ia berhadapan dengan salah satu calon terkuat petahana, Fauzi Bowo (dengan wakilnya Nachrowi Ramli), yang didukung Partai Demokrat dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, Fauzi Bowo diprediksi berbagai survei opini publik bakal mampu mengusai suara terbesar (Grafik 1).
Namun, menariknya, Jokowi justru melihatnya sebagai peluang yang masih terbuka lebar. Dua alasan yang mendukung, yaitu bagaimana terjadi stagnasi dukungan terhadap petahana, sementara masih terjadi peningkatan dukungan pada dirinya. Implikasinya, sebulan waktu menjelang pemilu masih memungkinkan perubahan posisi kemenangan. Selain itu, ia pun memandang masih terbuka dukungan dari para pemilih yang belum memutuskan yang saat itu terbilang signifikan jumlahnya. Para calon pemilih yang belum memutuskan ini sebagian besar merupakan kalangan bawah perkotaan yang notabene lebih dekat pada sosoknya selama ini (Kompas, 19/6/2012).
Apa yang diyakini menjadi kenyataan. Pilkada 11 Juli 2012, Jokowi-Ahok mampu mengungguli para pesaing lainnya, merebut 42,6 persen. Pesaing terdekat, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, sesuai dengan prediksi survei sebelumnya, bertahan dengan penguasaan 34,3 persen pemilih. Peningkatan dukungan pada Jokowi-Ahok signifikan terjadi dari kalangan yang memang sebelumnya merasa ragu atau belum punya pilihan.
Pada putaran kedua pilkada, momentum Jokowi tidak terbendung. Sekalipun peningkatan suara pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) lebih signifikan, terutama limpahan suara dari kelompok identitas keagamaan, tidak mampu merebut kemenangan. Jokowi berhasil menguasai hingga 53 persen suara, atau terpaut 6 persen atas pesaingnya.
Faktor apa yang membawanya pada kemenangan di Jakarta? Jika bersandar pada hasil survei, dapat terjelaskan dari sisi alasan para pemilih dalam memilih kedua pasangan yang saling bersaing. Pasangan Jokowi-Ahok menjadi rujukan pilihan lantaran keduanya dinilai aspiratif dalam mendengar suara masyarakat. Keduanya tidak berjarak dengan warga dan cenderung bersifat inklusif. Selain itu, aspek integritas dan keberanian dalam bertindak menjadi kelebihan lain yang mendorong mereka memilih pasangan ini. Kedekatan, integritas, dan keberanian bertindak menjadi nilai lebih dibandingkan dengan kelebihan lain yang menjadi daya tarik pasangan Foke-Nara. Para pemilih Foke-Nara merasa jika pengalaman memimpin DKI, pendidikan tinggi Foke-Nara, dan faktor-faktor identitas sosial, seperti kesamaan agama, suku bangsa, menjadi daya tarik.
Semua sisi lebih yang menjadi daya tarik pada pasangan Jokowi-Ahok ini tidak hanya sebatas potensi. Dalam perjalanan kepemimpinannya di DKI Jakarta, semua itu ditunjukkan keduanya dalam mengatasi problem perkotaan Ibu Kota. Sehari selepas menjabat, keduanya bergerak cepat dalam pembenahan tata ruang, permukiman, PKL, transportasi dan fasilitas kota. Tidak mengherankan jika hasil survei kepuasan terhadap kinerja keduanya dalam memimpin DKI Jakarta. Bahkan, sebanyak 89,5 persen responden merasa punya kebanggaan memiliki sosok gubernur Jokowi. Kebanggaan tersebut dinyatakan pula oleh mereka yang mengaku tidak memilih kedua pasangan tersebut dalam pilkada yang lalu.
Kebanggaan terhadap Jokowi semakin berujud, tatkala namanya mencuat menjadi calon presiden pilihan dalam Pemilu 2014. Hasil survei Litbang Kompas, Desember 2012, misalnya, sudah mendudukan Jokowi dalam pilihan teratas bursa calon presiden. Begitu pula survei-survei opini selanjutnya, yang dilakukan CSIS pada April 2013 dan LIPI di bulan Mei 2013, yang juga menempatkan keunggulan Jokowi di atas Prabowo, Megawati Soekarnoputri, Aburizal Bakrie, dan tokoh-tokoh yang jauh lebih dikenal sebelumnya (Grafik 2).
Penelusuran lebih jauh dari hasil survei popularitas calon presiden di saat Jokowi baru saja menjabat Gubernur DKI Jakarta ini tergolong menarik. Pasalnya, di antara tokoh-tokoh popular lainnya, Jokowi dinilai paling berpeluang besar lantaran dua pertimbangan. Pertama, popularitasnya tertinggi dan masih terus bertambah tinggi. Sejalan dengan panggung politik Gubernur DKI yang dikuasainya, amat memungkinkan ia menambah kembali polularitasnya. Kondisi demikian sulit dimiliki oleh tokoh lainnya yang sebagian besar hanya bersandar pada posisi sebagai ketua umum partai politik.
Kedua, yang tidak kalah penting sosok Jokowi yang terbilang pendatang baru, relatif terbebaskan dari resistensi masyarakat kepada dirinya. Semenjak ia memimpin Solo dan berlanjutnya di Jakarta, ia terus-menerus menuai apresiasi publik dari beragam kalangan. Sosoknya sejauh itu relatif terhindar dari resistensi dan lebih banyak dinilai sebagai sosok harapan. Sementara berbeda dengan tokoh-tokoh calon presiden lainnya yang memiliki ”persoalan” di mata publik. Prabowo Subianto, misalnya, pesaing terdekat Jokowi, sekalipun disukai banyak kalangan pemilih, tetapi tidak kurang banyak pula yang resisten. Bahkan, untuk Megawati Soekarnoputri, saat itu lebih banyak yang resisten ketimbang sebaliknya (Grafik 3).
Dengan lebih banyak dukungan, sementara penolakan padanya terbilang minim, serta-merta menempatkan sosok Jokowi dalam panggung politik yang lebih besar lagi. Apa yang dimilikinya sudah menjadi modal terbesar yang tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh nasional lainnya. Bermodalkan hal ini, langkahnya semakin ringan kelak dalam peluang mengejar kursi kepresidenan maupun saat ia membuktikan kinerja kepemimpinannya. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)