Protes Keadilan Pendapatan Industri Musik Streaming
Sebagian musisi menilai pemasukan royalti dari para pendengar masih belum cukup besar karena sistem pembagian royalti dipandang bermasalah.
Distribusi musik melalui kanal streaming semakin menjadi arus utama di era digital, sekaligus menjadi jalan keluar industri musik dunia di tengah himpitan pandemi Covid-19. Namun gemilang pendapatan streaming musik masih menyisakan kegusaran bagi para artis, yaitu mekanisme bagi hasil royalti yang belum adil.
Pandemi Covid-19 yang diikuti pembatasan aktivitas publik dan karantina wilayah di berbagai negara membuat bisnis musik dunia ikut terjerembab karena berkurangnya pertunjukan dan konser musik. Kegiatan musik kemudian banyak bertumpu pada kanal digital seperti streaming dibandingkan dari penjualan album fisik, tiket konser, serta royalti hak penggunaan musik.
Menurut data laporan International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), pada 2020 total nilai yang diperoleh dari streaming musik mencapai 13,4 miliar dollar AS. Angka ini meliputi 62 persen dari keseluruhan pendapatan industri musik dunia. Dibanding pada 2019, peningkatan nilai pendapatan streaming musik cukup menggembirakan, yaitu hampir menyentuh angka 20 persen.
Pertumbuhan pendapatan di tengah kondisi pandemi hanya dialami oleh kanal streaming. Kanal lainnya yaitu meliputi penjualan album fisik, penggunaan musik berlisensi, serta pengunduh musik digital mengalami pertumbuhan minus 4 persen hingga minus 15 persen.
Kondisi ini semakin mengukuhkan bahwa harapan untuk menjaga pemasukan para musisi tetap mengalir yaitu melalui kanal streaming. Namun, oleh sebagian musisi pemasukan royalti dari para pendengar masih belum cukup besar karena sistem pembagian royalti dipandang bermasalah.
Dari aspek royalti, masalah yang dihadapi adalah nilai bagi hasil yang diterima artis sangat kecil. Persoalan ini sudah mengemuka sejak tahun 2015. Kolumnis The Wall Street Journal Michael Driscoll mengulas perbandingan antara menjual satu kopi album dengan ongkos langganan streaming bulanan.
Satu keping CD musik berisi 10 lagu dijual dengan harga ritel 15 dollar AS (sekitar Rp 200.000 kurs tahun 2015). Setelah dikurangi biaya produksi, distribusi, serta pajak, penghasilan bersih yang diterima pencipta lagu dan penyanyi sekitar 1,5 dollar AS. Nilai tersebut jika dikonversi per satu lagu sebesar 15 sen atau sekitar Rp 2.000.
Perbandingan pendapatan musisi dari penjualan album fisik akan tampak jauh berbeda jika dibandingkan dengan penjualan dari kanal streaming. Salah satu data rujukan penjualan musik streaming yang dapat digunakan adalah Spotify. Pada Maret 2021, kanal streaming Spotify mengeluarkan laporan Loud & Clearuntuk menjawab polemik yang sudah bergulir bertahun-tahun tentang kecilnya nilai royalti.
Nilai kecil
Spotify mengklaim bahwa di tahun 2020 mereka membayarkan bagi hasil royalti senilai 5 miliar dollar AS. Pendapatan ini dihasilkan dari 356 juta pengguna di seluruh dunia, termasuk 158 juta pengguna berbayar. Royalti yang dibayarkan masih dibagi untuk berbagai pihak. Di antaranya adalah pihak label, artis, publisher, penulis lagu, distributor, agregator, manajer, serta kolaborator.
Dalam laporannya, Spotify menggolongkan jenis artis berdasar model kerja, posisi di industri musik serta jumlah pendengarnya menjadi 7 kelompok. Golongan dengan pendapatan tahunan tertinggi disebut Chart Toppers. Kelompok artis yang duduk di posisi ini ada sekitar 500 dengan pendapatan tahunan dari streaming senilai 3,7 juta dollar AS.
Chart Toppers untuk mencapai penghasilan tersebut, disokong oleh 17,3 juta pendengar setiap bulan. Penelusuran lebih lanjut untuk membandingkan perolehan antara penjualan album dengan streaming dapat dilakukan dalam nilai pendapatan per lagu.
Chart Toppers memperoleh royalti dari tiap akun pendengar senilai 0,018 dollar AS atau 1,8 sen saja per bulan. Angka ini sangat jauh dibandingkan dengan pembelian satu kopi album yang dapat memberi royalti hingga 15 sen per lagu.
Nilai ini didapatkan dari pembagian hasil langganan bulanan akun premium serta iklan dari pendengar gratis. Tarif berlangganan akun individu bervariasi antar negara, di Inggris langganan individu seharga 9,99 Poundsterling, di AS bertarif 9,99 dollar AS, di Indonesia Rp 49.990 per bulan. Tidak mengherankan bahwa impitan ekonomi akibat dampak pandemi semakin mendorong musisi yang tidak puas dengan sistem bagi hasil untuk melancarkan protes.
Artikel The New York Times edisi 7 Mei 2021 yang berjudul Musicians Say Streaming Doesn’t Pay. Can the Industry Change? memuat tentang kegelisahan para musisi di Inggris dan Amerika Serikat terkait keadilan dan transparansi pembagian royalti oleh platform streaming.
Lebih dari 150 artis di Inggris termasuk Paul McCartney, Kate Bush dan Sting menandatangani surat untuk meminta Perdana Menteri Boris Johnson supaya memperbaiki sistem ekonomi musik streaming. Di AS ada sekelompok artis dan kelompok advokad yang menamai diri Union of Musicians and Allied Workers berupaya menuntut hak royalti yang lebih tinggi dari Spotify.
Royalti berbasis penggemar
Simpul persoalan ada pada pembagian royalti streaming yang dipandang tidak adil. Penyedia platform streaming di antaranya Spotify, Apple Music, Deezer, dan penyedia jasa mayor lainnya menggunakan sistem pro-rata atau “bagi hasil proporsi” untuk mendistribusikan pendapatannya.
Seluruh uang penghasilan dikumpulkan di perusahaan platform streaming. Kemudian dibagi berdasar persentase lagu yang didengar oleh seluruh pengguna platform streaming.
Misalnya penyanyi Drake membukukan 5 persen dari seluruh lagu yang didengarkan dalam sebulan. Maka, ia berhak memperoleh 5 persen dari kue royalti yang dibagikan kepada seluruh artis. Dengan model ini, maka ada kemungkinan bahwa Drake bisa memperoleh pendapatan dari pendengar yang tidak pernah mendengarkan karyanya.
Model ini sangat merugikan bagi artis yang baru mulai merintis karir atau yang menggeluti genre musik minoritas. Selama ini tangga lagu dikuasai oleh genre musik pop. Jika model ini tidak segera diubah, maka artis yang duduk di posisi teratas akan semakin kuat kedudukannya. Di sisi lain, para artis perintis makin sulit mendapat pemasukan.
Model tandingan disodorkan oleh Soundcloud yang diberi nama fan-powered royalty bisa menjadi alternatif untuk saat ini. Metode bagi hasil dilakukan berdasar lagu apa saja yang didengarkan oleh pelanggan, kemudian royalti disalurkan kepada artis yang dinikmati karyanya.
Inovasi ini diluncurkan pada 1 April 2021 lalu dan diklaim bahwa mampu menambah penghasilan royalti antara model lama dengan fan-powered royalty mencapai 200 persen. Artinya, dengan menerapkan metode bagi hasil berdasar dukungan penggemar, artis dapat menikmati royalti dua kali lipat dibanding dengan model bagi hasil pro-rata.
Untuk saat ini, Soundcloud adalah satu-satunya pihak yang menerapkan fan-powered royalty. Terdapat konsekuensi yang muncul dengan model baru ekonomi musik streaming ini.
Artis independen, perintis karir, serta artis bergenre minor memiliki kesempatan untuk meningkatkan pendapatan dengan mekanisme yang baru. Di sisi lain, artis papan atas yang semula menggunakan sistem pro-rata akan mengalami penurunan pendapatan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari proses redistribusi royalti.
Baca juga: Anatomi Ketimpangan Pasar Musik Dunia
Selain dari aspek ekonomi, semangat dari royalti berdasar penggemar adalah untuk memperkuat ikatan antara artis dengan kelompok penggemarnya. Dengan mengetahui bahwa biaya langganan pengguna akan berkontribusi langsung terhadap ekonomi pencipta karya, maka akan timbul keterlibatan emosional antara pencipta dengan penikmat karya.
Dengan demikian, ada nilai lebih dari sistem ekonomi musik streaming baru yang ditawarkan. Industri tidak hanya sebatas transaksi jual beli karya. Namun termasuk juga melibatkan aspek afeksi dari kedua belah pihak. Diharapkan model ekonomi berbasis penggemar akan menciptakan iklim industri musik yang lebih inklusif dan adil. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Taylor Swift dan Lahirnya Kembali Industri Musik Dunia