Fotografi Analog sebagai Aktualisasi Diri di Era Digital
Tidak semua hal yang usang bakal ditelan zaman. Di tangan anak-anak muda yang penuh kreativitas, fotografi analog tetap eksis di era digital.
Fotografi analog yang sudah mulai ditinggalkan secara teknologi kini kembali populer di kalangan anak-anak muda pegiat fotografi. Fotografi analog menemukan bentuknya sebagai label identitas diri kawula muda.
Kebangkitan fotografi analog memiliki relasi historis dengan kaum muda. Pertalian ini terjadi setelah runtuhnya Uni Soviet yang menandai berakhirnya masa Perang Dingin. Pada musim semi 1991, sekelompok pelajar dari kota Viena, Austria, bepergian melewati batas negara Cekoslowakia yang baru saja dibuka. Mereka menjelajahi kota Praha untuk menyaksikan suasana eks wilayah Soviet.
Saat itu mereka menemukan kamera Lomo LC-A yang pada era Perang Dingin hanya dipasarkan di negara-negara komunis. Pertemuan para pelajar ini dengan Lomo LC-A menjadi titik awal dibentuknya komunitas fotografer yang menyebut diri sebagai lomografer.
Para pegiat lomografi yang disebut lomografer membangun komunitas untuk mengadakan pameran sekaligus diskusi. Pameran perdana digelar pada 1992 di sebuah apartemen berukuran 60 meter persegi di kota Vienna. Acara tersebut dihadiri oleh 300 hingga 400 lomografer.
Momen ini juga menjadi penanda dibentuknya Lomographic Society International (LSI). Sejak saat itu kelompok lomografer merambah berbagai belahan dunia. Hingga menghasilkan Kongres Lomografi Dunia yang perdana di Madrid pada Oktober 1997.
Lomografer di sejumlah negara mendirikan embassy lomografi untuk menyediakan ruang bagi kegiatan pameran, pertemuan, hingga penjualan produk-produk Lomography. Kedutaan didirikan di Berlin, Barcelona, Lisabon, Budapest, Tokyo, Singapura, Jakarta, dan masih banyak lagi di kota besar dunia.
Di Indonesia, komunitas lomografi Jakarta terbentuk pada 2004 yang diberi nama Lomonesia. Komunitas ini melakukan kegiatan rutin sebulan sekali dengan gathering dan hunting. Foto-foto hasil hunting bisa dipajang di situs www.lomonesia.com. Lomonesia sudah punya cabang di Bandung, Yogyakarta, Solo, Bali, Surabaya, dan Pontianak (Kompas 2/3/2018).
Kehadiran lomografer membuka ragam baru dunia fotografi yang mengedepankan ideologi dan identitas diri sesuai dengan manifesto yang tertuang pada The Ten Golden Rules of Lomography. Secara garis besar, aturan ini menjadi altenatif dari fotografi konvensional yang dianggap kaku dan kurang ekspresif serta kurang eksploratif.
Sejalan dengan ideologi para lomografer, muncul nilai pada diri pegiat lomografi sebagai fotografer yang bebas tidak terikat oleh kaidah. Ruang-ruang ekspresi yang semula mengandalkan kehadiran fisik, di era digital sekarang ini beralih medium melalui media sosial.
Gelombang muda kedua
Pelajar muda dari Vienna yang menginisiasi lomografi dapat dikatakan sebagai pegiat fotografi analog muda gelombang pertama. Saat ini, muncul generasi berikutnya, yaitu kelompok milenial atau generasi Y dan generasi Z yang memotori kebangkitan kedua fotografi analog di belantara ekosistem serba digital.
Salah satu momen penggugah bergeliatnya fotografi analog ketika model fashion Kendal Jenner pada acara The Tonight Show di awal tahun 2017 silam membawa kamera analog Contax T2 miliknya. Dunia analog yang mulanya landai-landai saja kemudian mulai banyak digemari.
Menyadur dari penelitian Ngoc Nguyen dari Universitas Haaga-Helia, Finlandia, pada November 2020, fotografi analog sesungguhnya belum pernah mati. Kelompok pengguna yang setia dengan teknologi analog pada periode 2000-2017 adalah para seniman fotografi.
Ngoc Nguyen mengibaratkan fenomena tersebut serupa dengan para pelukis. Media yang digunakan bisa dengan kanvas dan cat, di sisi lain ada yang menggunakan komputer dan perangkat lunak. Memang skala penggunaan teknologi kamera analog sudah ditinggalkan dari ranah industri dan tergantikan dengan digital. Namun, masih ada penggunanya dari kalangan seniman.
Untuk mengetahui keberadaan pengguna fotografi analog Ngoc Nguyen menggelar survei daring di wilayah Eropa, Amerika Utara, Australia, Asia, Amerika Latin, Karibia, Timur Tengah, serta Afrika. Dari survei ini tergambar profil demografis para pegiat fotografi analog di dunia, termasuk rentang usianya.
Pegiat terbanyak (41,4 persen) datang dari generasi Z yang berusia 7 hingga 22 tahun. Mereka adalah kelompok paling muda sekaligus populasi terbanyak pengguna kamera analog di dunia. Berikutnya generasi milenial (33,4 persen) yang berusia 23 hingga 38 tahun turut serta meramaikan geliat peranalogan.
Data tersebut menunjukkan bahwa pelaku fotografi analog justru datang dari generasi yang belum pernah menggunakan kamera film sepanjang masa hidupnya. Fenomena ini terbilang menarik karena biasanya produk ”jadul” lebih banyak digemari oleh generasi old yang pernah menggunakan atau bersentuhan dengan produk tersebut.
Lebih lanjut, Ngoc Nguyen mencari apa motivasi kaum muda menggunakan kamera analog. Dari hasil temuan survei, motivasi terbesar didorong karena menyukai peralatan fotografi analog (34,6 persen). Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa daya tarik dominan fotografi analog adalah pada peralatannya.
Hal inilah yang juga dilihat oleh Lomography sebagai produsen kamera analog hingga hari ini. Kamera model La Sardina yang dibuat menyerupai bentuk kaleng ikan sarden di era 1930-an menjadi salah satu produk unggulan.
Kamera La Sardina dibalut dengan desain grafis yang sangat beragam. Di antaranya terdapat desain kaleng sarden, grafik gradasi warna, hingga berbagai warna pastel yang digandrungi kawula muda.
Bermuara di digital
Kelompok lomografer membuat The LomoWall sebagai etalase untuk menampilkan karya mereka. Generasi muda sekarang di era internet memanfaatkan Instagram sebagai muara karya fotografi analognya.
Ngoc Nguyen dalam surveinya menemukan bahwa lebih dari 75 persen fotografer analog memanfaatkan Instagram untuk memajang karyanya. Instagram dalam dunia peranalogan berperan ganda, yakni sebagai etalase sekaligus menebar pengaruh untuk menggunakan kamera analog.
Semakin banyak karya yang ditampilkan, para audiens media sosial akan banyak yang terpapar karya-karya fotografer analog. Dalam penelitian Evelyne Morlot diungkapkan bahwa audiens dan pengguna Instagram memiliki kesukaan terhadap foto-foto yang memiliki kesan lawas atau vintage.
Hal ini dapat ditemui dari ragam jenis filter yang disediakan oleh Instagram. Sebagian besar membuat foto unggahan terlihat lawas. Pada poin ini adalah sebuah kebetulan yang menguntungkan bagi kelangsungan hidup fotografi analog. Khalayak di Instagram yang cenderung menyenangi vintage look dapat dijadikan kendaraan untuk memopulerkan lagi fotografi analog.
Salah satu tagar yang cukup fenomenal secara global adalah #filmisnotdead yang telah digunakan lebih dari 19 juta kali oleh pengguna Instagram. Disusul oleh tagar #analogphotography dengan unggahan sejumlah 11,6 juta. Di Indonesia juga ada tagar yang digunakan untuk menandai karya fotografi analog, salah satunya adalah #indo35mm dengan 650.000 unggahan.
Pengguna Instagram akan terafiliasi dengan kelompok fotografer analog dengan menyertakan tagar-tagar terkait di unggahannya. Perpaduan antara penggunaan kamera analog, pemilihan tagar, dan pemanfaatan Instagram sebagai etalase merupakan bentuk kehidupan baru teknologi ”usang” fotografi.
Baca juga : Dulu Ditinggalkan, Kini Jadi Incaran
Tidak selamanya produk atau teknologi yang usang akan ditinggalkan begitu saja. Menemukan ”klik” dengan generasi yang lebih muda akan membuat produk serta brand tetap mampu menemukan aktualisasinya di era saat ini dan di masa mendatang.
Di tangan generasi muda, fotografi analog yang sudah banyak ditinggalkan masih dapat menemukan eksistensinya di tengah perkembangan teknologi yang serba modern. Fotografi analog dimaknai dan dimanfaatkan oleh generasi digital native sebagai penanda identitas dan wahana aktualisasi diri.
(LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kamera Analog yang Merekam Zaman