Urbanisasi penduduk tanpa diiringi dengan penataan kota yang baik berpotensi memperparah kondisi pandemi Covid-19 di perkotaan.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·4 menit baca
Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Spanduk dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, berisi imbauan tidak mengajak untuk berurbanisasi, terpasang di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang dipadati pemudik Lebaran, Kamis (31/7/2014). Arus balik setelah Lebaran menjadi salah satu celah besar arus urbanisasi menyerbu kota.
Kondisi kota yang padat dengan mobilitas tinggi meningkatkan risiko penularan Covid-19. Situasi ini adalah risiko yang harus ditanggung karena tingginya urbanisasi tanpa penataan kota yang layak. Di sisi lain, urbanisasi menjadi salah satu solusi untuk memulihkan perekonomian pascapandemi.
Mudik menjadi momen tradisi hari raya Idul Fitri yang hampir tidak dapat ditinggalkan, meskipun situasi pandemi masih mengancam. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan larangan mudik lebaran tahun ini. Namun, kerinduan akan kampung halaman dan situasi pandemi yang melemahkan perekonomian juga menuntut sebagian masyarakat untuk mudik sekaligus untuk kembali ke asalnya agar dapat bertahan hidup.
Tahun lalu saat awal pandemi, temuan survei Balitbang Kementerian Perhubungan menyebutkan bahwa 49 persen dari 42.890 responden menyatakan tetap akan mudik. Sebanyak 7 persennya bahkan sudah mudik lebih awal.
Tahun ini, meskipun situasi tak segera membaik, masyarakat banyak yang tetap merencanakan mudik. Berdasarkan survei Balitbang Kementerian Perhubungan sebanyak 7 persen atau 18,9 juta orang tetap akan mudik.
Jika melihat dari daerah tujuannya, para pemudik ini banyak yang berpergian ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Lampung. Daerah-daerah ini memang menjadi daerah utama asal para migran yang merantau. Sementara daerah tujuan perantauan sebagian besar adalah Jabodetabek.
Mudik menjadi kegiatan rutin tahunan bagi sebagian orang karena keterikatan kuat seseorang dengan daerah asalnya. Tradisi mudik ini berkembang sedari jaman Hindia Belanda yang kemudian diikuti oleh mobilisasi penduduk dalam program transmigrasi.
Fenomena mudik erat kaitannya dengan urbanisasi sebab sebagian besar pemudik adalah para pendatang di kota-kota besar yang berasal dari daerah-daerah kecil. Mereka yang kemudian menetap di kota-kota ini mendorong berkembangnya urbanisasi meskipun migrasi neto ini hanya 20 persen faktor terjadinya urbanisasi.
Kompas
Dinas Kependudukan Kota Bandung menggelar operasi Yustisi di Terminal Cicaheum, Bandung, Jawa Barat, untuk mendata para penumpang yang tiba di Bandung bersamaan arus balik Lebaran, Minggu (26/7/2015). Arus balik menjadi salah satu celah arus urbanisasi ke kota-kota besar yang berdampak pada masalah kependudukan kota, termasuk Bandung, yang menjadi salah satu kota tujuan urbanisasi.
Sementara karakteristik urbanisasi di Indonesia yang utama (80 persen) didorong oleh meluasnya infrastruktur dan fasilitas perkotaan dan pertumbuhan alami penduduk di perkotaan. Urbanisasi di Indonesia terhitung lebih cepat dibandingkan di negara-negara lainnya.
Bank Dunia pada 2016 mencatat, setidaknya setiap tahun laju pertumbuhannya mencapai 4,1 persen. Cepatnya pertumbuhan kota-kota di Indonesia membuat Indonesia menjadi negara dengan wilayah perkotaan terbesar ketiga di kawasan Asia Timur-Tenggara setelah China dan Jepang.
Situasi tersebut merupakan buah dari cepatnya laju urbanisasi di masa lampau. Mulai tahun 1970, laju urbanisasi mulai meningkat pesat. Pada 1980-1990, lajunya mencapai lebih dari tiga persen per tahun, lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain di Asia Timur dan Pasifik dalam periode yang sama.
Laju urbanisasi merupakan laju pertumbuhan persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perhitungan ini digunakan untuk mengukur seberapa cepat transisi masyarakat perdesaan ke perkotaan.
Risiko saat pandemi
Di masa pandemipun, keinginan masyarakat daerah untuk berpindah ke kota masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas pada 13-15 Mei 2020, sebanyak empat dari 10 responden merasa kota masih menarik untuk mencari pekerjaan di masa pandemi.
Kota besar seperti DKI Jakarta masih menjadi tujuan bagi sebagian masyarakat demi menyambung hidup karena minimnya kesempatan kerja di kampung halaman. Tahun lalu tercatat ada 124.177 orang pendatang di DKI Jakarta.
Permasalahannya di masa pandemi, urbanisasi ini secara tidak langsung menjadi ancaman bagi kota itu sendiri. Urbanisasi tanpa diiringi dengan penataan kota yang baik memperparah kondisi pandemi di perkotaan. Hal ini ditinjau dari mobilitas dan kepadatan penduduk yang tinggi.
Pandemi Covid-19 membuktikan bahwa kawasan perkotaan adalah zona pertama dan paling rentan terhadap penyakit infeksi menular. Di Indonesia, Covid-19 merebak pertama kali di Jakarta dan kemudian menyebar melalui kota-kota lainnya.
Kompas
Petugas gabungan mengetuk pintu kos dalam Operasi Yustisi Kependudukan di Kelurahan Kebon Baru, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (22/9/2011). Pemprov DKI melaksanakan operasi yustisi secara serentak di lima wilayah.
Kota yang merupakan pusat dan pertemuan aktivitas ekonomi menjadi wahana yang tepat bagi virus untuk memasuki daerah-daerah kecil lainnya. Ini menjadi alasan desa-desa menolak pemudik dari luar daerah khususnya perkotaan yang menyandang zona merah pada periode Mudik Idul Fitri tahun lalu.
Selain mobilitas, kota menjadi rentan karena tingginya kepadatan penduduk yang lagi-lagi adalah salah satu dampak dari urbanisasi. Fenomena ini membentuk wajah perkotaan yang khas dengan kawasan permukiman kumuh.
Pada 2019, data BPS menyebutkan dari setiap 100 rumah tangga di perkotaan Indonesia terdapat 14 rumah tangga kumuh. DKI Jakarta menjadi wilayah yang paling banyak memiliki rumah tangga kumuh yakni 43 setiap 100 rumah tangga pada 2019.
Rumah tangga kumuh yang dimaksud adalah rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap sumber air minum, sanitasi, kondisi bangunan layak serta tidak memiliki luas lantai lebih dari 7,2 meter persegi per kapita.
Dengan lingkungan seperti ini, sulit bagi masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan seperti mencuci tangan dan menjaga jarak. Dengan luas ruang rumah yang sempit dan jarak rumah yang berdempetan, risiko penularan Covid-19 sangat tinggi.
Titik bangkit perekonomian
Risiko urbanisasi pada masa pandemi juga dapat ditilik dari sektor ekonomi. Jika melihat polanya, arus balik Idul Fitri biasanya menjadi momen bagi sejumlah orang untuk merantau khususnya ke wilayah perkotaan. Ini terbukti dari data-data beberapa tahun bahwa jumlah pendatang pada arus balik lebih besar dibanding jumlah pemudik dari suatu kota.
Di DKI Jakarta misalnya, pada Lebaran 2018, jumlah pemudik mencapai 5,87 juta orang sedangkan jumlah orang yang kembali ke Ibu Kota mencapai 5,93 juta orang. Pada 2019, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperediksi jumlah pendatang saat arus balik Lebaran bertambah menjadi 71 ribu orang. (Kompas, 11 Juni 2019)
Menariknya, kedatangan sejumlah migran didorong karena ajakan anggota keluarga yang sudah terlebih dahulu bekerja dan tinggal di kota-kota besar. Mereka kemudian membangun usaha informal yang sama dengan kerabat asal daerahnya.
Misalnya, pendatang dari daerah Kuningan, Jawa Barat biasanya memiliki usaha berjualan bubur kacang hijau. Di Yogyakarta, terdapat sekitar lima ribu pendatang asal Kuningan yang memiliki 1.000 warung.
Perantau dari Garut, Jawa Barat membuka usaha jasa potong rambut. Mereka yang merantau di Jabodetabek dan Bandung Raya mencapai lebih dari 2.500 orang.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Pemudik melewati baliho yang dipasang Pemda DKI Jakarta di Stasiun Gambir, Sabtu (3/9/2011).
Ketika kondisi normal, para pendatang yang memiliki usaha informal ini turut menggerakan roda perekonomian kota-kota besar. Namun, saat pandemi ketika perekonomian jatuh, mereka turut terkena dampaknya. Hidup di kota pun terasa berat. Selain karena risiko wabah yang tinggi juga karena tidak ada penopang ekonomi untuk hidup sehari-hari.
Menurut penelitian berjudul “Covid-19, Urbanization Pattern and Economic Recovery: An Analysis of Hubei, China (Desember 2020)” situasi tersebut adalah fase negatif dari hubungan urbanisasi dengan pemulihan ekonomi saat pandemi Covid-19. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Hubei, China ini, urbanisasi akan memunculkan fase positif saat penularan berhasil dikendalikan dan kasus Covid-19 berangsur menurun.
Fase positif inilah yang menjadi harapan pemulihan ekonomi pascapandemi. Urbanisasi menjadi salah satu faktor pembangkit perekonomian setelah situasi pandemi terkontrol dan selesai. Sebagaimana Bank Dunia menyebutkan, di Indonesia setiap peningkatan satu poin persentase penduduk yang tinggal di kota terjadi peningkatan 1,4 persen PDB per kapita.
Urbanisasi memang bernilai secara ekonomi terlebih untuk pemulihan situasi pascapandemi. Namun, melalui pandemi ini, dampak urbanisasi juga menunjukkan bahwa kota membutuhkan penataan dan pembangunan yang lebih layak dan sesuai dengan pembangunan berkelanjutan. Jangan sampai situasi pandemi di perkotaan seperti saat ini terjadi lagi di kemudian hari yang mana urbanisasi bisa jadi memicu penyakit-penyakit infkeksi menular lainnya. (LITBANG KOMPAS)