Rindu Makanan Kampung Tak Perlu Pulang Kampung
Larangan mudik tidak menghambat untuk menikmati kuliner kampung halaman. Melalui jasa ekspedisi, makanan khas Lebaran bisa menjadi obat rindu kampung halaman. Bisnis makanan dan minuman juga menggerakkan perekonomian.
Lebaran didorong bisa menjadi momentum untuk meningkatkan konsumsi masyarakat agar ekonomi semakin tumbuh, terutama saat pandemi ini. Di tengah kebijakan larangan mudik, menjamurnya bisnis makanan dan peningkatan layanan jasa pengiriman membuat kerinduan pada makanan kampung halaman bisa terobati tanpa harus pulang kampung.
Lebaran tanpa mencicipi makanan khas kampung halaman rasanya kurang afdal. Selain bersilaturahmi dengan keluarga, tujuan lain masyarakat berbondong-bondong melakukan tradisi mudik Lebaran ialah untuk berwisata kuliner, memuaskan kerinduan akan makanan khas daerah yang tidak dijumpai di perantauan. Namun, larangan mudik pada Idul Fitri 1442 Hijriah yang masih dalam kondisi pandemi Covid-19 memupuskan kerinduan tersebut.
Bicara tentang makanan khas daerah, Indonesia memang kaya akan beraneka ragam kuliner Nusantara. Menurut Murdijati Gardjito, pakar kuliner yang juga Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, ada 3.257 jenis kuliner asli Indonesia yang berasal dari 34 provinsi.
Ini belum termasuk kuliner khas daerah terpencil yang tidak memiliki nama ataupun jenis yang baru tercipta. Bahkan, untuk menu sate saja, salah satu hidangan yang disukai masyarakat Indonesia, penulis puluhan buku kuliner tersebut menyebut ada 252 ragam sate yang terdapat di Nusantara.
Lebih dari 200 jenis sayur, 400 buah, dan 1.600 rempah-rempah semakin memperkaya aneka makanan khas daerah. Oleh karena itu, menyusul larangan mudik tahun ini dan agar masyarakat tetap bisa menikmati kuliner Nusantara, Presiden Joko Widodo dalam kesempatan peresmian 5 Mei sebagai Hari Bangga Buatan Indonesia mengajak masyarakat untuk membeli produk-produk asli Indonesia.
Tak terkecuali membeli kuliner khas daerah, tetapi secara daring. Tanpa mudik, tinggal pesan lewat aplikasi, makanan akan dikirim ke rumah. Dengan demikian, kerinduan akan makanan tradisional dan oleh-oleh kampung halaman bisa terobati.
Peluang UMKM
Selain terpuaskan kerinduan menyantap makanan kampung halaman, antusiasme masyarakat untuk berbelanja makanan secara online juga turut berperan menggerakkan perekonomian yang tertahan akibat pandemi. Terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sangat terdampak agar bisa bangkit kembali.
Mengingat peran UMKM, meskipun berskala kecil, usaha ini merupakan penopang kelancaran serta stabilitas perekonomian nasional. Terlihat dari data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2019 yang melaporkan jumlah unit UMKM memiliki pangsa sekitar 99,99 persen (65,5 juta unit) dari total keseluruhan pelaku usaha di Indonesia dan menyerap 96,92 persen tenaga kerja.
Jenis usaha mikro merupakan yang paling dominan dalam kelompok UMKM (98,67 persen) dan menyerap tenaga kerja sebesar 89,04 persen. Skala kegiatan ekonomi UMKM juga memberikan kontribusi sekitar 60 persen terhadap total pendapatan domestik bruto Indonesia.
Sensus Ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) 2016 melaporkan ada tiga bidang usaha UMKM non-pertanian yang jumlah pelaku usahanya menempati urutan teratas dalam perekonomian nasional, yaitu perdagangan besar dan eceran (46,27 persen), penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum (16,93 persen), serta industri pengolahan (16,65 persen). Ketiga bidang usaha tersebut mencakup juga usaha-usaha yang terkait dengan produk-produk makanan dan minuman.
Kebijakan pelarangan mudik untuk kedua kalinya di masa pandemi ini bisa menjadi momentum kebangkitan dan peluang bagi pelaku UMKM produk makanan dan minuman untuk lebih berinovasi, termasuk produk makanan khas daerah yang mempunyai daya tarik tersendiri.
Makanan diolah secara khusus agar tahan lama dan dikemas lebih menarik, modern, dan higienis untuk dijual secara daring. Gudeg Yogya, misalnya, sudah ada dalam bentuk kemasan kaleng, juga rendang asli Padang atau pempek Palembang dari berbagai jenama (brand) terkenal di daerah bisa dengan mudah dipesan melalui lokapasar (marketplace) dan dikirim ke banyak kota.
Peluang bisnis produk makanan juga semakin terbuka karena meski ada larangan mudik, tidak bisa bersilaturahmi dengan keluarga dan sahabat secara langsung, tak menghilangkan tradisi untuk saling berbagi hantaran atau bingkisan pada hari raya ataupun selama bulan Ramadhan.
Jajak pendapat Kompas menjelang Lebaran tahun lalu merekam, dalam kondisi larangan mudik di awal pandemi dan adanya pembatasan sosial berskala besar, masih ada sekitar 40 persen responden yang tetap mengirimkan parsel makanan bingkisan Lebaran.
Pada Lebaran tahun ini diprediksi pengiriman parsel atau hampers yang sedang ngetren tersebut akan lebih banyak peminat. Idul Fitri tak lengkap rasanya tanpa hantaran. Apalagi di tengah larangan mudik yang semakin ketat, mengirim parsel menjadi penyambung tali silaturahmi tanpa tatap muka.
Berbagi bingkisan makanan termasuk makanan khas daerah tampaknya menjadi favorit konsumen. Platform e-dagang Tokopedia mencatat parsel makanan menjadi salah satu produk yang paling diminati selama Ramadhan, terutama menjelang Idul Fitri.
Bisnis hampers menjadi salah satu usaha musiman yang menjanjikan menjelang Lebaran. Tidak hanya bagi pelaku UMKM di perkotaan, tetapi juga menumbuhkan ekonomi daerah dengan adanya permintaan pengiriman oleh-oleh ke kota besar karena tidak bisa mudik.
Baca juga : Kerupuk Basah, Kuliner Lebaran ala Kapuas
Jasa ekspedisi meningkat
Selain itu, berkah dari maraknya pengiriman parsel ini juga dirasakan oleh penyedia jasa pengiriman barang. Salah satunya Paxel, pada Ramadhan 2021 ini jumlah pengiriman parsel meningkat sekitar 30 persen dibandingkan dengan Ramadhan tahun lalu.
Makin mudahnya pengiriman bingkisan Lebaran dan makanan dari daerah ke kota-kota besar menjadi faktor pemicu. Perbaikan infrastruktur juga turut melancarkan pelayanan jasa ekspedisi, terutama yang mempunyai program pengiriman sameday.
Berkah juga dinikmati Lion Parcel. Perusahaan layanan ekspedisi Lion Air Group ini menargetkan kenaikan pengiriman hingga 100 persen selama bulan Ramadhan hingga Lebaran dibandingkan dengan hari biasa. Demikian pula dengan GoSend, layanan antar-jemput barang milik Gojek Indonesia, juga mencatatkan peningkatan volume pengiriman barang hingga 25 persen memasuki Ramadhan 2021.
Peningkatan terutama terjadi pada layanan GoSend Intercity (antarkota) untuk pengiriman next-day yang mengalami lonjakan hingga 60 persen dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Sejumlah 80 persen pengiriman didominasi kategori makanan dan minuman.
Bahkan, GoFood dari Gojek Indonesia dan GrabFood dari Grab Indonesia, dua pemain jasa antar makanan-minuman berbasis teknologi, mencatat total nilai transaksi bruto (GMV) sepanjang 2020 terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Laporan berjudul Food Delivery Platforms in Southeast Asia yang dipublikasikan Momentum Works pada Januari 2021 menyebutkan Indonesia menempati posisi puncak GMV dengan kontribusi senilai 3,7 miliar dollar AS dari 11,9 miliar dollar AS gabungan enam negara. Nilai gabungan tersebut tumbuh 183 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Kompas, 15/3/2021).
Baca juga: Optimalkan Dampak Positif Transaksi Jasa Pesan Antar pada UMKM
Dorong konsumsi rumah tangga
Pembatasan mobilitas dan pertemuan fisik di masa pandemi turut mendorong peningkatan volume pengiriman barang yang berasal dari transaksi daring. Bank Indonesia (BI) mencatat preferensi masyarakat akan belanja daring terlihat dari pertumbuhan transaksi e-commerce (e-dagang) pada awal tahun ini. Pada Februari 2021 transaksi e-dagang naik 45,28 persen dibandingkan dengan Februari 2020.
BI juga mencatat konsumsi masyarakat periode April 2021 mengalami peningkatan di tengah momentum Ramadhan. Rata-rata proporsi pendapatan konsumen yang digunakan untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) meningkat pada April 2021 dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yaitu dari 74,4 persen menjadi 75,5 persen.
Baca juga : Merayakan Tradisi Lebaran
Hal ini menunjukkan perkembangan ekonomi yang semakin membaik mengingat konsumsi rumah tangga menjadi komponen penting pada perekonomian Indonesia. Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto mencapai sekitar 56,93 persen.
Namun, berdasarkan data BPS, daya beli masyarakat masih lemah pada triwulan I-2021. Tecermin dari masih terkontraksinya konsumsi rumah tangga sebesar 2,23 persen secara tahunan (YOY). Walau demikian, konsumsi rumah tangga terus mengalami perbaikan dari titik terendahnya pada triwulan II-2020.
Pada saat itu masa awal pandemi Covid-19, konsumsi rumah tangga anjlok hingga 5,52 persen. Padahal, sejak 2017 sampai 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia paling besar ditopang oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Permasalahan pada konsumsi rumah tangga Indonesia terlihat pada konsumsi makanan dan minuman selain restoran, salah satu komponen pembentuk konsumsi rumah tangga yang masih mengalami kontraksi.
Menurut catatan BPS, pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman selain restoran pada triwulan I-2021 terkontraksi negatif 2,31 persen secara tahunan, lebih buruk dibandingkan dengan triwulan IV-2020; komponen ini terkontraksi negatif 1,39 persen.
Karena itu, pemerintah tetap berupaya menjadikan periode Ramadhan dan Idul Fitri sebagai momentum untuk mengungkit ekonomi pada triwulan II-2021, terutama mendorong komponen konsumsi makanan dan minuman selain restoran agar tumbuh positif.
Sejumlah kebijakan dioptimalkan untuk mendorong peningkatan konsumsi masyarakat pada periode ini, di antaranya kewajiban memberikan tunjangan hari raya serta mempercepat penyaluran target perlindungan sosial. Kerinduan mengirim makanan dan oleh-oleh dari kampung halaman diharapkan bisa turut menggerakkan daya beli masyarakat. (LITBANG KOMPAS)