Anomali Ekonomi Lebaran di Tengah Pandemi
Mencermati tren inflasi dan komponennya, rasanya tak berlebihan jika fenomena hari raya Idul Fitri di tengah pandemi ini disebut sebagai anomali.
Tahun 2020, deflasi dan pertumbuhan yang terkontraksi menjadi anomali saat perputaran ekonomi seharusnya tinggi karena momentum hari raya Idul Fitri. Meski demikian, sejumlah indikator menunjukkan potensi perbaikan pada masa Lebaran tahun ini.
Lesunya kondisi ekonomi Lebaran di tengah pandemi Covid-19 yang disertai larangan mudik salah satunya ditunjukkan oleh tingkat inflasi. Bank Indonesia (BI) mencatat, tingkat inflasi secara umum pada Mei 2020 (periode Ramadhan/Idul Fitri) sebesar 2,19 persen (year on year).
Mengacu pada kententuan BI terkait target inflasi 2020 sebesar ± 3 persen, tingkat inflasi tersebut masuk kategori terkendali dan rendah. Namun, nilainya merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Tahun 2019, misalnya, momentum Ramadhan dan Idul Fitri yang sebagian besar juga terjadi pada bulan Mei menunjukkan tingkat inflasi umum sebesar 3,32 persen. Begitu pun dengan tahun sebelumnya, tidak pernah berada di bawah angka 3 persen. Saat itu, target inflasi ditetapkan sebesar ± 3,5 persen.
Maka, rasanya tak berlebihan jika fenomena hari raya di tengah pandemi ini disebut sebagai anomali. Pasalnya, kelompok makanan justru menyumbang deflasi. Masih merujuk data BI, komponen makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau mengalami deflasi sebesar 0,32 (month to month).
Padahal, komponen ini biasanya menjadi penyumbang inflasi terbesar saat momentum Ramadhan dan Lebaran. Misalnya, pada tahun lalu, komponen ini menduduki posisi kedua teratas penyumbang inflasi Mei 2019, yakni sebesar 0,10 persen. Sementara bahan makanan menduduki posisi pertama dengan andil 0,43 persen.
Daya beli
Inflasi yang lebih rendah juga terjadi pada komponen pakaian dan alas kaki. Euforia Lebaran biasanya diikuti dengan belanja baju baru oleh masyarakat untuk menyambut hari kemenangan. Namun, tingkat inflasi komponen tersebut pada Mei 2019 hanya sebesar 0,09 persen. Sebelumnya mencapai 0,45 persen.
Tentu inflasi yang terlalu tinggi pun tidak diharapkan. Sebab, inflasi yang tinggi dan tidak stabil akan memberikan dampak negatif pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Namun, lesunya roda ekonomi di tengah momentum Lebaran yang idealnya mampu mengungkit kinerja ekonomi menunjukkan adanya penurunan permintaan masyarakat.
Hal ini tidak lepas dari menurunnya juga tingkat pendapatan masyarakat. Hampir semua lapisan masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Salah satunya adalah kelompok buruh, di mana delapan dari 10 pekerja di Indonesia adalah buruh.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) , rata-rata upah buruh turun menjadi Rp 2,76 per bulan karena terdampak pandemi. Sebelumnya, besarannya mencapai Rp 2,9 juta per bulan. Di sisi lain, survei BI menemukan bahwa lebih dari 80 persen usaha mikro, kecil, dan menegah juga mengalami dampak pandemi. Sebagian besar di antaranya mengalami penurunan penjualan.
Ekonomi sektoral
Beragam fenomena tersebut turut berdampak pada kinerja sektor-sektor ekonomi terkait. Deflasi yang terjadi pada komponen makanan di sisi lain menunjukkan rendahnya permintaan pada komponen tersebut.
Artinya, produk yang sudah diproduksi oleh industri tidak terserap dengan baik oleh konsumen atau masyarakat. Hal ini sangat berdampak pada pertumbuhan subsektor industri makanan dan minuman.
BPS mencatat, salah satu subsektor unggulan tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat. Triwulan II-2020 (periode Ramadhan/Idul Fitri), pertumbuhannya hanya sebesar 0,22 persen. Padahal sebelumnya mampu tumbuh hingga 7,99 persen (year on year).
Begitu pula dengan industri tekstil dan pakaian jadi. Turunnya permintaan yang biasanya ramai saat Lebaran bukan hanya berdampak pada tingkat inflasi yang rendah. Meski demikian, industri tekstil dan pakaian jadi juga mencatat pertumbuhan ekonomi yang mengkhawatirkan.
Pada periode yang sama tahun 2020 industri unggulan ini mengalami kontraksi sebesar 14,23 persen. Pertumbuhan minus ini menjadi yang terdalam sepanjang lima tahun terakhir setelah mengalami kontraksi 0,07 persen pada tahun 2016.
Hal ini menjadi ironi. Pasalnya, sektor ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi pada tahun 2019, yakni 20,71 persen. Bahkan mencapai empat kali lipat dari angka pertumbuhan ekonomi nasional. Tentu, turunnya permintaan secara global pun turun menjadi faktor anjloknya pertumbuhan industri ini.
Di sisi lain terdapat juga sektor yang mengalami kontraksi lebih dalam, yakni sektor transportasi. Pembatasan pergerakan masyarakat sudah barang tentu akan berimbas pada melemahnya sektor ini. Ditambah lagi aturan larangan mudik yang idealnya mampu memutar dengan cepat roda ekonomi sektor penghubung ini.
Triwulan II-2020, sektor transportasi dan pergudangan ini mengalami kontraksi 30,80 persen. Pada periode yang sama tahun 2019 pertumbuhannya mencapai 5,86 persen. Angkutan udara dan angkutan rel menjadi subsektor dengan kontraksi terdalam, yakni 80,26 persen dan 63,75 persen.
Sektor akomodasi dan makan minum juga turut terdampak. Momentum Lebaran yang diikuti dengan mudik dan libur panjang biasanya menarik minat masyarakat untuk berwisata.
Sektor akomodasi dan makan minum yang mencakup hotel dan restoran ini idealnya mampu mencapai pertumbuhan yang tinggi. Namun, tahun lalu, pertumbuhannya mengalami kontraksi hingga 21,97 persen karena aktivitas masyarakat terpaksa dibatasi.
Lebih optimistis
Lebaran tahun ini tak jauh berbeda dengan tahun lalu. Larangan mudik masih diberlakukan karena peningkatan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 masih sangat tinggi.
Meski demikian, sejumlah indikator menunjukkan potensi perbaikan di tahun ini jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi yang baru saja dirilis BPS pada awal bulan ini menunjukkan sejumlah sektor yang berkaitan langsung dengan fenomena Lebaran mengalami perbaikan.
Selain komponen makanan, inflasi yang rendah juga terjadi pada komponen pakaian dan alas kaki.
Industri makanan dan minuman, misalnya, triwulan I tahun ini mencatat pertumbuhan sebesar 2,45 persen. Meski masih mengalami kontraksi, sektor transportasi dan penyediaan akomodasi juga mengalami perbaikan. Keduanya secara berurutan mengalami pertumbuhan sebesar minus 13,12 persen dan minus 7,26 persen, lebih baik daripada periode Lebaran tahun lalu.
Optimisme masyarakat juga tecermin dari nilai indeks keyakinan konsumen (IKK) yang disusun oleh BI, yakni sebesar 101,5 pada April 2021. Masyarakat juga dinilai lebih optimistis memandang masa yang akan datang, dilihat dari nilai indeks ekspektasi kondisi ekonomi (IEK) yang mencapai 122,6.
Meningkatnya aktivitas ekonomi masyarakat ini memberi sinyal harapan adanya perbaikan. Meskipun demikian, pengawasan ketat masih sangat diperlukan agar pergerakan masyarakat tetap menyesuaikan protokol kesehatan dan tidak menimbulkan kerumunan yang membahayakan lonjakan kasus Covid-19. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Geliat Ekonomi Tanpa Mudik