Jalan Lapang dan Terjal Partai Politik
Verifikasi faktual menjadi elemen penting memonitoring kerja partai politik menjelang pemilu. Verifikasi juga menjadi momen bagi publik menilai mana partai politik yang serius untuk mendapatkan mandat pemilih di pemilu
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang “membebaskan” partai politik peraih kursi DPR menjalani verifikasi faktual sebagai syarat mengikuti pemilihan umum 2024 bagaikan jalan lapang bagi partai yang saat ini memiliki tiket untuk mengajukan pasangan calon presiden. Sebaliknya, keputusan ini bagaikan "jalan terjal politik" bagi partai politik pendatang baru.
Jalan lapang bagi partai politik “petahana” di DPR ini dibacakan Mahkamah Konstitusi awal Mei lalu. Melalui putusannya No 55/PUU-XVIII/2020, lembaga penjaga konstitusi tersebut memutuskan partai politik yang telah lolos ambang batas parlemen, yakni partai yang meraih dukungan suara nasional 4 persen pada pemilu, hanya perlu mengikuti verifikasi administrasi untuk menjadi peserta pemilu selanjutnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sementara itu, verifikasi administrasi dan verifikasi faktual hanya berlaku untuk partai politik yang tidak lolos ambang batas parlemen dan partai politik pendatang baru yang berniat mengikuti pemilu 2024.
Ketentuan ini juga berlaku bagi partai politik yang hanya memiliki kursi di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menindaklanjuti uji materi yang diajukan oleh Partai Gerakan Perubahan (Partai Garuda) terkait ketentuan Pasal 173 Ayat 1 UU No 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur ketentuan soal perlunya verifikasi administrasi dan faktual bagi partai politik yang akan mendaftar sebagai peserta pemilihan umum. Bagi Partai Garuda, ketentuan ini semestinya tidak berlaku bagi partai-partai politik yang sudah pernah mengikuti pemilu.
Namun, putusan Mahkamah Konstitusi justru lebih “progresif” dari materi tuntutan pengaju uji materi. MK memutuskan justru pada ketentuan verifikasi faktual tidak diberlakukan pada partai peraih kursi DPR. Pendek kata, putusan ini justru tidak mengabulkan apa yang diharapkan oleh Partai Garuda sebagai pengaju uji materi.
Baca juga : Putusan MK Berpotensi Turunkan Kualitas Parpol
Jika mengacu putusan ini, Partai Garuda yang notabene pernah menjadi peserta Pemilu 2019, namun gagal memenuhi ambang batas parlemen, tetap diwajibkan untuk melalui proses verifikasi administrasi dan verifikasi faktual sebagai syarat menjadi peserta pemilu 2024 nanti.
Selain Partai Garuda, putusan ini juga berdampak pada partai politik peserta Pemilu 2019 yang juga gagal meraih kursi DPR. Mereka adalah Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Berkarya.
Partai Hanura sebelumnya pernah meraih kursi DPR di Pemilu 2014, namun mengalami “degradasi” setelah gagal memenuhi ambang batas parlemen di Pemilu 2019.
Perlakuan sama
Catatan lembaga independen Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KODE Inisiatif) menyebutkan, putusan Mahkamah Konstitusi ini dinilai bertentangan dengan putusan MK sebelumnya dan dianggap melawan dari asas pemilu itu sendiri.
Putusan MK No 55/PUU-XVIII/2020 seakan bertentangan dengan putusan yang dibuat oleh MK sendiri dalam Putusan No 53/PUU-XV/2017 yang memberikan kedudukan yang sama kepada seluruh partai politik peserta pemilu, baik itu partai yang memenuhi ambang batas parlemen maupun yang tidak memenuhi ambang batas.
Di dalam Putusan MK No 53/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan bahwa seluruh partai politik calon peserta pemilu harus diperlakukan sama untuk menjadi peserta pemilu 2019 ketika itu. Putusan ini menegaskan, tidak ada pembedaan perlakuan bagi partai politik baru ataupun partai politik yang telah ikut dalam pemilu sebelumnya.
Baca juga : Saatnya Partai Politik Bekerja
Peneliti KODE Inisiatif, Ihsan Maulana menegaskan putusan MK terkait verifikasi partai politik ini dinilai tidak konsisten dengan putusan MK sebelumnya. Dalam putusan empat tahun silam itu, Mahkamah Konstitusi menilai tidak boleh ada perlakuan berbeda terhadap calon peserta pemilu, sebab bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan dan menyebabkan terjadinya ketidakadilan dalam pemilu.
“Untuk menghindari perlakuan yang berbeda terhadap partai politik calon peserta pemilu, maka semua partai politik calon peserta pemilu harus mengikuti verifikasi tanpa terkecuali”, ungkap Ihsan.
Ihsan juga menyebutkan, putusan MK 55/PUU-XVIII/2020 pada esensinya justru tidak menjawab sama sekali kebutuhan pemohon, yakni Partai Garuda, bahkan bersifat kontradiktif dengan permohonan yang diharapkan dan juga memberikan kemunduran dalam hal verifikasi partai politik yang sudah diputus MK di 2017.
Salah satu pertimbangan dari putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 adalah bahwa memperlakukan verifikasi secara sama terhadap semua partai politik peserta pemilu, baik partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suatu ketidakadilan. Salah satunya karena partai peraih kursi DPR dinilai sudah melalui proses verifikasi faktual dan lolos menjadi partai peraih kursi DPR.
Padahal, seperti catatan KODE Inisiatif, pentingnya verifikasi administrasi dan faktual kepada partai politik peserta pemilu pada praktik penyelenggaraan Pemilu 2014 ke 2019 sebetulnya menjadi pembelajaran.
Baca juga : Preferensi Publik soal Parpol Cenderung Mapan, tetapi Masih Bisa Dinamis
Salah satunya soal pemahaman bahwa tidak selalu partai politik yang sudah di parlemen pasti akan lolos menjadi partai peserta pemilu karena pasti ada dinamika soal berkurangnya dukungan di dalamnya.
Jalan Lapang
Tentu saja putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 ini ibarat jalan lapang bagi partai politik peraih kursi di DPR. Ibarat kompetisi sepak bola, putusan MK ini makin menegaskan, partai-partai politik yang memiliki representasi perwakilan di DPR semakin berada di zona nyaman. Mereka tidak lagi waswas dengan potensi di zona degradasi seperti yang sebelumnya pernah dirasakan oleh partai politik ketika verifikasi faktual.
Pengalaman ini pernah dialami PBB dan PKPI. Keduanya pernah merasakan dalam posisi zona degradasi dalam seleksi calon partai peserta pemilu. Keduanya sempat dinyatakan gagal mengikuti Pemilu 2019.
Namun setelah proses ajudikasi, keduanya akhirnya diloloskan oleh KPU sebagai peserta pemilu, meskipun pada akhirnya keduanya tetap gagal memenuhi ambang batas parlemen.
Baca juga : Lebih Dari Dua Calon Presiden, Lebih Baik
Selain tanpa verifikasi, jalan lapang bagi partai politik peraih kursi DPR adalah berhak mengajukan, baik sendiri maupun berkoalisi dengan ketentuan minimal suara maupun kursi, untuk mengajukan pasangan calon presiden – wakil presiden di Pemilihan Presiden 2024.
Jadi, bisa disimpulkan sisi eksklusifnya partai politik pemilik kursi DPR, selain dalam proses verifikasi dimudahkan hanya dengan berkas administrasi, mereka juga diuntungkan dengan memiliki tiket pencalonan di pemilihan presiden.
Jalan terjal
Hal berbeda terjadi di partai politik “alumni” peserta Pemilu 2019 yang gagal memenuhi ambang batas parlemen, apalagi partai politik baru yang mencoba peruntungan menjadi peserta pemilu di 2024 nanti.
Kelompok partai politik ini harus melalui proses verifikasi administrasi dan verifikasi faktual. Proses ini tentu tidak mudah bagi partai-partai lama yang selama ini kulturnya cenderung “baru bekerja saat pemilu”.
Banyak juga modus partai-partai melakukan mobilisasi orang untuk menjadi pengurus partai, apalagi untuk memenuhi kuota 30 persen partisipasi perempuan dalam kepengurusan partai politik yang tidak mudah dilakukan.
Jadi inilah jalan terjal bagi partai politik peserta Pemilu 2019 yang gagal memenuhi ambang batas parlemen dan partai politik pendatang baru. Mereka harus membuktikan mampu memenuhi persyaratan partai peserta pemilu. Salah satunya adalah syarat kepengurusan yang semakin berat harus dipenuhi oleh partai politik.
Baca juga : Mulailah Tahapan Pemilu Lebih Awal
Merujuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, jumlah pengurus partai di tingkat provinsi secara nasional harus memenuhi 100 persen dari provinsi yang ada di Indonesia.
Selain itu, di dalam masing-masing provinsi, partai politik harus memiliki kepengurusan di minimal 75 persen dari kabupaten/kota yang ada dalam provinsi tersebut.
Sementara di tingkat kabupaten/kota, partai politik harus memiliki kepengurusan di separuh dari total kecamatan yang ada di kabupaten/kota tersebut. Tentu, selain kepengurusan, mereka juga dibebankan dengan keberadaan sekretariat sebagai kantor resmi kegiatan-kegiatan partai.
Ketua Bidang Jaringan dan Kerjasama Lembaga Dewan Pimpinan Nasional Partai Gelora Ratu Ratna Damayani menyebutkan, sebagai partai politik pendatang baru, pihaknya menghormati putusan MK tersebut. Namun, Ratu menyebutkan bahwa verifikasi partai politik itu bagian dari support system demokrasi.
“Verifikasi partai itu ibarat sertifikasi halal sebuah produk, ia perlu melakukan sertifikasi lagi jika ada perkembangan dalam produknya, demikian juga verifikasi partai itu kan untuk melihat sesuatu yang tidak stabil, terutama soal dukungan terhadap partai yang dinamis,” ungkap Ratu yang juga menyebutkan partainya kini bersiap menghadapi verifikasi dengan membentuk kepengurusan di daerah sesuai syarat yang ditentukan undang-undang.
“Verifikasi partai itu ibarat sertifikasi halal sebuah produk, ia perlu melakukan sertifikasi lagi jika ada perkembangan dalam produknya"
Pada akhirnya, verifikasi partai politik adalah elemen penting, khususnya bagi negara untuk melakukan monitoring terhadap keberadaan partai politik. Perlakuan sama terhadap semua partai politik harus dilakukan agar beban kontestasi, baik itu jalan lapang maupun jalan terjal, benar-benar dirasakan oleh semua partai.
Di sisi yang lain, verifikasi partai, baik administrasi dan faktual, tetap akan menguntungkan publik agar mereka paham mana partai yang serius akan diamanahi mandat oleh pemilih di pemilu nanti dan mana partai politik abal-abal yang sekadar menjadi tim hore tanpa kerja-kerja serius membangun demokrasi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Problematika Pemilu Serentak 2024