Bisa jadi, peringatan tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei 1998 yang berdekatan dengan Idul Fitri tahun ini menjadi momentum baik untuk pemerintah meminta maaf kepada korban dan keluarga korban.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·7 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang rutin menggelar Aksi Kamisan di depan Istana Kepresidenan bertemu Presiden Joko Widodo di dalam Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/5/2018). Sejak 2007 menggelar Aksi Kamisan di seberang Istana Kepresidenan, ini menjadi pertemuan perdana antara peserta Aksi Kamisan dan Presiden.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia masih perlu jalan panjang untuk dituntaskan. Pengakuan dan permintaan maaf dari negara dapat menjadi bukti kehadiran negara bagi para korban dan keluarga korban. Lantas, mengapa meminta maaf menjadi pelik?
Dalam momen Mei 1998 ini, ingatan publik mengenai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM berat di masa lalu masih membekas. Setidaknya ada lima peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi menjelang reformasi, yaitu Peristiwa Trisakti, Tragedi Semanggi I, Tragedi Semanggi II, penghilangan orang paksa 1997-1998, serta kerusuhan Mei 1998 termasuk pemerkosaan terhadap warga etnis Tionghoa. Hingga kini, rentetan peristiwa tersebut masih perlu diselesaikan oleh pemerintah.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 27-30 April 2021 menunjukkan bahwa publik menilai pemerintah perlu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini menggantung. Adapun lebih dari setengah responden menginginkan pemerintah dapat menyelenggarakan pengadilan hukum sebagai langkah prioritas dalam penyelesaian kasus.
Selain itu, masing-masing sekitar 15 persen memandang pemerintah perlu memberikan kompensasi dan pendampingan hukum maupun psikologis bagi korban dan keluarga korban. Menariknya, ada sebagian responden (10,4 persen) yang menilai bahwa pemerintah perlu mengakui dan meminta maaf kepada korban dan keluarga korban.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang rutin menggelar Aksi Kamisan di seberang Istana Kepresidenan memasuki Istana Kepresidenan, Jakarta, untuk bertemu Presiden Joko Widodo, Kamis (31/5/2018).
Secara spesifik, pemerintah perlu mengakui telah terjadi kerusuhan dan pemerkosaan massal yang sangat merugikan warga etnis Tionghoa pada 1998. Akan tetapi, permintaan maaf yang dinantikan publik ini ternyata pelik karena berkaitan erat dengan peristiwa kelam yang terjadi di periode 1965-1966.
Inilah salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Dalam visi misi Jokowi Ma’aruf pada Pemilihan Presiden 2019 lalu, dijanjikan bahwa negara hadir dalam penegakan HAM. Secara eksplisit dituliskan bahwa pemerintah akan melanjutkan penyelesaian yang berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Mundur ke belakang pada 2015 lalu sempat tersiar kabar bahwa pemerintah akan meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban Peristiwa 1965-1966. Namun, kabar tersebut dibantah oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (saat itu) Luhut Binsar Pandjaitan dengan menyatakan pemerintah tidak akan menyampaikan permintaan maaf terkait peristiwa tersebut. Lanjutnya, pemerintah menjanjikan akan mencari format yang tepat untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Akan tetapi, upaya rekonsiliasi yang dijanjikan pemerintah perlu memperhatikan nasib korban dan keluarganya, seperti yang diutarakan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siti Noor Laila pada Agustus 2015. Menurut dia, tanpa permintaan maaf dan pernyataan bahwa peristiwa itu tak akan terulang lagi, proses rekonsiliasi dianggap belum selesai.
Maaf
Sejatinya, pengakuan dan permintaan maaf adalah tahap pertama dari lima unsur yang harus dipenuhi pemerintah dalam menuntaskan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu. Kelimanya perlu dilakukan secara bertahap.
Pertama, negara memberi pengakuan bahwa terjadi peristiwa yang melanggar HAM tersebut. Kedua, dilakukan pengungkapan kebenaran. Ketiga, negara meminta maaf atau menyesalkan terjadinya peristiwa tersebut. Keempat, ada jaminan tidak terulang lagi. Kelima, korban dan keluarga korban dipulihkan (Kompas, 27/8/2015).
Kendati Komnas HAM sudah membahasnya sejak 2015 silam, gagasan rekonsiliasi itu tampaknya kini belum memperlihatkan kemajuan berarti. Peliknya sikap untuk mengakui dan meminta maaf ini tidak terlepas dari kontroversi yang menyertainya.
Dalam konteks hidup bernegara dan esensinya, permohonan maaf melekat pada tanggung jawab. Permohonan maaf tidak bisa hadir tanpa empati, kemampuan dan kemauan menyelami luka yang orang lain rasakan.
Dalam pengakuan dan permintaan maaf ini, korban dan keluarga korban adalah pihak yang dilukai dan diposisikan sebagai subyek. Luka para korban dan keluarganya bersifat personal, unik, dan spesifik, sehingga luka ini tidak dapat dijelaskan bahkan dengan dalih ideologi apa pun. Oleh sebab itu, sikap Pramoedya Ananta Toer yang menolak permintaan maaf dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak dapat ditafsir sebagai sikap semua korban beserta keluarganya.
Sekali lagi, pengakuan dan permintaan maaf dari negara terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu, bukan berarti memaklumi kesalahan-kesalahan para aktor yang terlibat. Lebih dari itu, permintaan maaf adalah bukti nyata kehadiran negara bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Permintaan maaf menjadi pintu pembuka rekonsiliasi antara pemerintah dengan pihak korban.
Negara lain
Dalam sejarah dunia, peristiwa kelam pelanggaran HAM menjadi catatan hitam sebuah negara. Mengutip pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel dalam Garis Besar Filsafat Hukum (Grundlinien der Philosophie des Rechts, 1821), negara bukan entitas yang tetap dan siap sejak awal dibentuknya. Negara senantiasa berdialektika menemukan identitasnya dan oleh sebab itulah, tiap negara memiliki gejolak dan dinamika sepanjang sejarahnya.
Menyingkap catatan hitam dalam sejarah, beberapa negara telah mengakui kesalahan pemerintahan di masa lalu. Bersamaan dengan itu, permintaan maaf disampaikan kepada pihak korban sejarah.
Masyarakat dunia pada penghujung 1970 teralihkan perhatiannya sejenak pada sikap Kanselir Jerman Barat Willy Brandt yang kala itu menghadiri peringatan Yahudi korban Ghetto Warsawa di Polandia. Dengan tenang, ia berlutut di hadapan monumen peringatan tanpa mengucapkan sepatah kata. Peristiwa ini menjadi catatan pertama dunia tentang negara yang mengakui dan meminta maaf secara terbuka atas kesalahannya di masa lalu.
Tragedi Holocaust saat Perang Dunia II memang peristiwa kelam yang tidak dapat dilupakan begitu saja. Sikap permintaan maaf terbaru disampaikan oleh Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier pada 31 Agustus 2019 dalam upacara di Wielun, Polandia. Hingga saat ini, Pemerintah Jerman berkomitmen memberikan kompensasi bagi para penyintas asal Israel dan Yahudi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para mahasiswa yang tergabung dalam Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya menggelar aksi peringatan 20 tahun Reformasi, 20 Tahun Tragedi Semanggi I, di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (13/11/2018). Dalam aksi ini, mereka menuntut pemerintah mengusut tuntas pelanggaran HAM Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998.
Langkah-langkah politis demi kemanusiaan ini tidak hanya dilakukan Jerman, tetapi juga diikuti oleh sejumlah negara atas tindakannya di masa lalu. Pemerintah Belanda pun pernah melakukan hal serupa bagi Indonesia. Pada 12 September 2019, Duta Besar Kerajaan Belanda Tjeerd de Zwaan menyampaikan permintaan maaf kepada janda dan keluarga korban kekerasan dalam aksi polisionel Belanda pada kurun tahun 1945-1949, di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, Jakarta.
Sikap pengakuan dan permintaan maaf bukan hanya mencakup konflik yang melibatkan dua negara, tetapi juga terkait konflik internal yang pernah terjadi di dalam negara. Pada 24 Maret 2004, Pemerintah Argentina mengakui kekejaman rezim kediktatoran (1976-1983) dan menggelar peringatan para korban untuk pertama kalinya di Buenos Aires.
Tidak cukup di permintaan maaf, pemerintah Argentina akhirnya menjatuhkan vonis bersalah terhadap Alfredo Astiz dan Jorge Eduardo Acosta. Dalam pengadilan HAM yang digelar pada 29 November 2017 di Buenos Aires, keduanya divonis bersalah sebagai sebagai dalang tindak kekejaman, pembunuhan massal, dan penghilangan paksa ratusan orang di masa lalu. Pengadilan HAM juga turut menjatuhkan vonis bersalah kepada 54 orang lainnya yang terlibat dalam peristiwa kelam tersebut.
Argentina telah berani mengakui dan meminta maaf terhadap pemerintahan militer setelah 28 tahun berselang. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM oleh Argentina melalui pengadilan HAM di 2017 tentu tidak dapat dilepaskan dari langkah permintaan maaf terbuka yang dilakukan sebelumnya pada 2004 silam. Dengan demikian, Argentina telah memberikan contoh bagi negara-negara lain yang masih bergulat dengan masa lalunya, termasuk Indonesia.
Rekonsiliasi
Beberapa langkah dilakukan pemerintah setelah Presiden Jokowi menemui peserta Aksi Kamisan di Istana Negara pada 31 Mei 2018. Presiden Jokowi kemudian membentuk Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM Berat pada 2019 dan meminta Jaksa Agung untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada Desember 2020, Jaksa Agung membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM Berat.
Permintaan maaf adalah tahap pertama dari lima unsur yang harus dipenuhi pemerintah dalam menuntaskan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu.
Lebih lanjut pada Maret 2021 lalu, pemerintah membahas pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat (UKP-PPHB). Langkah terbaru dari pemerintah ini perlu terus dikawal mengingat rekonsiliasi dengan para korban hingga saat ini belum terwujud. Kehadiran negara bagi para korban dan keluarga korban masih ditunggu.
Jeda 23 tahun setelah rentetan peristiwa kekerasan dan kerusuhan 1998 seharusnya sudah cukup bagi pemerintah untuk melapangkan hati dan mengakui kesalahan tersebut. Bisa jadi, peringatan kerusuhan Mei 1998 yang berdekatan dengan hari raya Lebaran tahun ini menjadi momentum baik untuk pemerintah meminta maaf.
Semua ini harus diletakkan dalam tujuan yang lebih besar, yakni pintu masuk rekonsiliasi dan pengejawantahan sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. (LITBANG KOMPAS)