Kepingan Sejarah Banten dalam Jejak Misionarisme
Misionaris di Banten menghadapi resistensi tinggi dari Muslim ortodoks. Agama Kristen dipandang sebagai warisan kolonial sehingga apa pun yang berbau ”penjajah” harus dipandang infidel (kafir).
Penulis: Mufti Ali
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2021
Bahasa: Indonesia
Jumlah halaman: xxi, 276 halaman
Misionarisme di Banten berlangsung sejak abad ke-17 ketika pemerintah kolonial Perancis membuka loji perdagangan pada tahun 1671-1672. Loji ini tak sekadar berfungsi untuk kepentingan dagang, melainkan juga memiliki peran sebagai pos evangelisme (penginjilan) yang melayani orang-orang Katolik di Banten sekaligus berusaha menyebarkan ajaran Kristen kepada penduduk sekitar.
Jejak misionarisme di Banten tercatat pertama kali dilakukan oleh lembaga misionaris Perancis, Missions Étrangères de Paris (MEP), yang mendapat dukungan moril dan finansial oleh kompeni Perancis (Compagnie Royale Français des Indes). Kedekatan aktivis dan pastor MEP dengan para petinggi loji perdagangan membuat Banten menjadi tempat persinggahan pastor-pastor dari berbagai kelompok yang menumpang kapal-kapal dagang Perancis.
Menurut peneliti asal Perancis, Claude Guillot, posisi Banten sebagai tempat singgah menandakan pentingnya peran loji pada masa itu dalam penyebaran agama Katolik di kawasan Asia Pasifik, khususnya Nusantara. Selain di Banten, MEP juga menyebarkan agama kepada para penganut Katolik di loji-loji perdagangan yang tersebar di sejumlah pelabuhan, seperti Tonkin (China), Indochina, Pulau Formosa (Taiwan), Siam (Thailand), dan Surat (India).
Pada masa yang sama, MEP bukan satu-satunya lembaga yang merintis misi penginjilan. Orang-orang Belanda melalui VOC juga melakukan misi yang sama. Dalam beberapa catatan misionaris dilaporkan, tempat-tempat ibadah sudah dibangun permanen di loji VOC sejak ditandatanganinya ”traktat lada” oleh Jenderal Kaufmann dan Sultan Haji pada 1684.
Rintisan penyebaran Kristen melalui misi dagang Eropa menjadi pijakan kuat misionarisme di Banten. Setelah VOC bangkrut dan diambil alih pemerintah kolonial, Kota Serang, Banten, dipilih menjadi tempat pertama pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ditandai dengan berdirinya kantor Residentie van Bantam.
Atas inisiatif gereja Protestan di Hindia Belanda (Indische Kerk) yang bermarkas di Batavia, dibangun sebuah ”gereja negara” di dekat Alun-alun Kota Serang pada 1846. Inisiatif pembangunan dilakukan karena terdapat lebih dari 200 penduduk Eropa yang berhak mendapatkan pelayanan rohaniah. Pembangunan gereja Protestan ini menandai kegiatan misionarisme di Banten yang dimotori oleh dua lembaga misionarisme Belanda, GIUZ (Genootschap voor In en Uitwendige Zending) dan NZV (Nederlandsche Zending Vereeniging).
Cikal bakal misionarisme di Banten ini digali oleh Mufti Ali dalam buku Misionarisme di Banten, diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama (2021). Mufti Ali ingin membuktikan teori bahwa bagaimanapun upaya misionaris, baik terkait kolonialisme maupun tidak, pada akhirnya harus menghadapi resistensi tinggi dari Muslim Banten.
Untuk membuktikan tesisnya, Mufti Ali mengeksplorasi berbagai sumber primer, terutama berbasis arsip-arsip misionaris, baik yang tersimpan di perpustakaan negeri Belanda maupun ANRI. Selain arsip, penelitian juga dilakukan dengan wawancara sejumlah informan terkait misionarisme di Banten.
Misionaris di Banten menghadapi tantangan yang mirip terjadi di berbagai wilayah Nusantara. Kesatuan erat antara agama, kebangsaan, dan adat istiadat menjadi penyebab kian tingginya resistensi yang dihadapi dari masyarakat setempat. Berpindah ke agama lain, tetapi tidak meninggalkan kebangsaan dan adat istiadat, tetap dianggap pengkhianatan terhadap identitas.
Jejak misionarisme di Banten ini merupakan sejarah yang luput dari kajian para peneliti sejarah. Sejauh ini, kajian sejarah Banten lebih banyak menyorot era kesultanan, sementara sejarah Banten pada era kolonial masih gelap. Buku ini melengkapi kepingan sejarah Banten dan diharapkan dapat menjadi referensi sekaligus memantik para sejarawan lokal untuk menggali lebih dalam sejarah Banten.
Konversi agama
Meski misionaris sudah masuk sejak abad ke-17 di Banten, konversi atau perpindahan agama penduduk lokal baru dilaporkan pada awal abad ke-18. Seorang wanita Muslim tercatat dibaptis di Batavia karena pernikahannya dengan salah seorang pegawai VOC. Setelah pembaptisan, ia diberi nama Helena van Bantam.
Perpindahan agama ini tidak bisa diterima oleh Sultan Banten. Helena yang masih memiliki garis keturunan kesultanan kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Abdul Mahasin Zainul Abidin yang mengekstradisinya dari Batavia ke Banten.
Upaya penginjilan lewat para misionaris yang terstruktur baru berlangsung sekitar abad ke-19 dengan kehadiran FL Anthing sebagai tokoh sentralnya. Pada tahun 1877, Anthing berhasil mengkristenkan 750 orang yang tersebar di sembilan komunitas Kristen. Khusus di Banten, pada kurun waktu 1865-1883, Anthing berhasil mengkristenkan lebih dari 150 orang dengan enam orang di antaranya berasal dari Badui.
Kesuksesan Anthing tak lepas dari konsepnya, penginjilan terhadap pribumi akan lebih baik jika dilakukan oleh para penginjil pribumi. Anthing berkeyakinan bahwa ajaran Kristen akan lebih cepat diserap jika yang menyampaikan adalah sesama pribumi, dengan bentuk dan metode secara pribumi pula. Menurut Anthing, kedudukan politis dan ekonomis orang-orang Eropa menghambat segala upaya penginjilan oleh misionaris di Nusantara.
Untuk mewujudkan penginjilan oleh pribumi, Anthing merekrut penginjil dari sejumlah daerah. Kader-kader Anthing ini diutus untuk menyebarkan Kristen ke Tanah Tinggi, Kresek, Balaraja, Tiga Raksa, Serpong, Maja, Rangkasbitung, Badui, dan Cikuya.
Metode lain yang digunakan Anthing dan kadernya adalah ngelmu sesuai suasana masyarakat di Banten. Anthing mengemas pokok-pokok ajaran Kristen di dalam bentuk rumusan-rumusan magis. Upaya Anthing ini mendapat respons baik dari masyarakat. Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan rumusan trinitas ketika hendak mengusir kuasa jahat ataupun saat berada di tempat yang mereka anggap didiami oleh kuasa kegelapan.
Pada pertengahan abad ke-19, lembaga misionaris Belanda, NZV, juga membuka pos-pos pekabaran Injil di Banten dan merekrut kader-kader Anthing. Dengan dukungan dana yang besar, NZV mampu mengirim para misionaris dan keluarganya untuk melakukan penginjilan di Batavia, Banten, dan Jawa Barat hingga 1942.
Dari catatan sejarah dan teori-teori konversi, Mufti Ali menyimpulkan, pola perpindahan agama yang terjadi di Banten berawal dari lingkup keluarga. Komunitas Kristen di Banten jika dirunut memiliki hubungan geneologis yang sama dengan di Jawa Barat. Pola lainnya, pemeluk Kristen di Banten berasal dari lapisan masyarakat yang masuk dalam golongan rakyat biasa. Mobilisasi vertikal dan survival merupakan alasan dominan yang melatarbelakangi perpindahan agama.
Resistensi
Kegiatan misionarisme mendapat resistensi tak hanya di Banten, tetapi juga di sejumlah daerah di Nusantara. Dua misionaris dari Amerika ditemukan meninggal ketika melakukan ekspedisi pertama misionaris di tanah Batak pada 1834. Resistensi yang berujung maut juga terjadi di Pamekasan, Madura, dan di Tabanan, Bali, pada pertengahan abad ke-19.
Periodisasi hubungan kerajaan Islam dengan Belanda turut memengaruhi variasi reaksi dan respons Muslim terhadap umat Kristen pada masa penjajahan. Khusus di Banten, pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, para pedagang Belanda Kristen dianggap sebagai pesaing dagang yang tamak. Sultan menyebut kehadiran Kristen Belanda sebagai racun budaya yang harus dienyahkan.
Resistensi ini terus berlanjut dengan kadar yang berbeda. Setelah ditandatangani traktat lada pada masa Sultan Haji, Kristen Belanda dianggap sebagai rekan yang harus diakui keberadaanya walau tidak disukai. Pada masa ini, Belanda memiliki kekuatan seimbang, bahkan cenderung dominan.
Dari abad ke-18 hingga abad ke-20, umat Islam Banten masih memiliki resistensi tinggi terhadap misionarisme. Resistensi tersebut tampak pada sejumlah respons dan reaksi, meliputi pengisolasian komunitas Kristen, peracunan misionaris, dan pembakaran gereja. Bagi orang Banten, identifikasi masuk Kristen berarti menjadi Belanda dan telah tercabut dari akar kebudayaan Banten. (LITBANG KOMPAS)