Nuklir sebagai Opsi Sumber Pembangkitan
Lambannya pengembangan sumber pembangkitan energi yang berasal dari energi baru dan terbarukan atau EBT membuka peluang opsi nuklir sebagai salah satu solusi mengatasi kelambatan tersebut.
Lambannya pengembangan sumber pembangkitan energi yang berasal dari energi baru dan terbarukan atau EBT membuka peluang opsi nuklir sebagai salah satu solusi mengatasi kelambatan tersebut. Target bauran energi primer tahun 2025 yang sekitar 23 persennya berasal dari EBT akan sulit terealisasi apabila tidak melibatkan nuklir dalam skema bauran tersebut.
Hingga tahun 2020, bauran energi nasional yang bersumber dari EBT masih berkisar 11 persen. Padahal, target untuk mencapai bauran sebesar 23 persen itu tinggal empat tahun lagi sehingga perlu langkah progresif untuk merealisasikannya.
Laju peningkatan bauran EBT selama ini masih sangat kecil. Dalam periode 2015-2020, bauran energi EBT rata-rata hanya bertambah sekitar satu persen per tahun. Apabila tetap menggunakan cara yang ditempuh selama ini, maka mustahil bauran energi sebesar 23 persen pada tahun 2025 bakal terwujud. Target yang lebih besar lagi, yakni 32 persen pada tahun 2050, seperti di awang-awang.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengkaji ulang sejumlah kebijakan terkait upaya penyediaan energi nasional. Hal ini sangat penting mengingat pencapaian bauran energi dari EBT berkorelasi dengan penggunaan energi fosil.
Semakin tinggi bauran energi dari EBT yang dapat dicapai, maka penggunaan energi fosil untuk konsumsi energi di masyarakat akan semakin berkurang. Artinya, EBT mengurangi ketergantungan impor Indonesia terhadap bahan bakar minyak dan gas dari luar negeri. Sekaligus juga dapat mengurangi penggunaan batubara yang berdampak buruk terhadap lingkungan.
Sebaliknya, apabila pemerintah gagal meningkatkan bauran energi dari sektor EBT, maka ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil akan bertambah besar. Tidak hanya masalah tingginya emisi karbon dan juga impor bahan bakar fosil saja yang akan dihadapi, tetapi juga ancaman terhadap keberlanjutan perekonomian nasional.
Mimpi Indonesia untuk tumbuh menjadi negara maju di tahun 2045 akan tergerus oleh defisit neraca perdagangan akibat besarnya impor energi fosil berupa BBM dan gas.
Baca juga: Energi Nuklir Tetap Pilihan Terakhir
Keadaan tersebut menjadi kontraproduktif bagi pembangunan ekonomi nasional. Prestasi neraca perdagangan nonmigas yang selalu surplus menjadi sia-sia ketika diakumulasikan dengan neraca perdagangan migas yang selalu defisit.
Dalam kondisi normal, dengan perdagangan nonmigas yang surplus tinggi, ada kemungkinan secara akumulasi neraca perdangan masih akan tetap surplus. Namun, apabila kondisi global kurang baik, ada kemungkinan surplus neraca perdangan nonmigas tidak terlalu tinggi sehingga ketika digabung dengan neraca perdagangan migas akan menghasilkan notasi defisit.
Hal ini menandakan neraca migas Indonesia sudah tidak sehat karena selalu menggerus devisa yang pada akhirnya menjadi beban bagi kemajuan Indonesia.
Terbukti, sejak tahun 2018 Indonesia mengalami defisit akumulasi neraca perdagangan lebih dari 3 miliar dollar AS akibat semakin tingginya defisit neraca perdagangan migas. Pada tahun 2018-2019, surplus neraca perdagangan nonmigas rata-rata kurang dari 7 miliar dollar AS per tahun. Namun, defisit migas dalam kurun waktu itu rata-rata lebih dari 9 miliar dollar AS per tahun.
Kondisi ini sangat memberatkan bagi keuangan negara dan juga tidak adil bagi perekonomian nasional. Sektor nonmigas seolah-olah dipaksa untuk tumbuh melesat guna mencukupi kebutuhan energi fosil yang sebagian besar bergantung pada impor.
Bauran sulit tercapai
Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), target bauran energi final relatif sulit tercapai. Dari dua skenario yang diproyeksikan oleh BPPT, yakni skenario dasar dan skenario peningkatan EBT, tidak ada satu pun yang menunjukkan target bauran pada tahun 2025 dan 2050 akan tercapai seperti yang diharapkan.
Pada skenario dasar, target bauran pada tahun 2025 dan 2050 hanya berada pada kisaran 14-15 persen. Dengan skenario peningkatan EBT, target bauran melonjak lebih tinggi, tetapi tetap tidak sesuai harapan. Pada tahun 2025, bauran EBT diperkirakan hanya sebesar 18 persen dan tahun 2050 sekitar 23 persen.
Khusus untuk sumber energi pembangkitan listrik, juga tidak banyak perubahan berarti. Dengan skenario dasar, pada tahun 2025 dan 2050 nanti sumber utama pembangkitan listrik sekitar 84 persen tetap berasal dari energi fosil, yakni dari batubara, gas, dan BBM. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan tahun 2020 yang diperkirakan sekitar 87 persen pembangkitan listrik juga berasal dari ketiga sumber energi itu.
Namun, apabila menggunakan skenario peningkatan EBT, diperkirakan akan terjadi penurunan sumber pembangkitan listrik dari energi fosil yang cukup signifikan. Pada tahun 2025 energi fosil yang berasal dari batubara, gas, dan BBM akan menyusut sekitar 10 persen dari tahun 2020 menjadi kisaran 78 persen. Pada tahun 2050 susut lagi lebih dalam menjadi kisaran 71 persen. Hal ini mengindikasikan, persentase bauran EBT untuk pembangkitan listrik kian besar.
Baik dalam skenario dasar ataupun skenario peningkatan, terdapat jenis energi EBT yang kontroversial di Indonesia, yakni energi nuklir. Nuklir sebagai energi beberapa tahun yang lalu mendapat penolakan dari masyarakat, yaitu ketika pemerintah berencana membangun reaktor nuklir di wilayah Muria, Jepara, Jawa Tengah. Akibatnya, pemerintah urung membangun proyek reaktor komersial tersebut.
Dalam skenario yang disusun BPPT terlihat kontribusi bauran energi dari pembangkit nuklir tergolong besar. Pada model skenario dasar diperkirakan kontribusi nuklir mencapai 3,4 persen pada tahun 2050 nanti. Dengan skenario peningkatan, kontribusi nuklir kian masif lagi karena mampu menyumbang sekitar 8,6 persen atau terbesar dalam kelompok EBT pada tahun 2050.
Bila nuklir dipergunakan, diperkirakan akan mengalahkan sumbangan sumber energi pembangkitan dari PLTA ataupun PLTP yang selama ini mendominasi dari kelompok energi ramah lingkungan.
Baca juga: Soal Energi Terbarukan, Insentif adalah Kunci
Proyeksi tersebut merupakan peluang dan juga sekaligus tantangan bagi Indonesia. Menjadi peluang karena masih ada celah bagi pemerintah untuk berusaha mengakselerasi penggunaan EBT secara masif dengan memanfaatkan sumber energi yang dimiliki oleh Indonesia.
Menurut laporan Batan, Indonesia memiliki potensi bahan baku nuklir berupa uranium dan torium. Diperkirakan potensi uranium di Indonesia mencapai kisaran 82.000 ton dan torium sekitar 143.000 ton. Kedua jenis mineral energi ini setidaknya tersebar di tiga wilayah di Indonesia, yakni di Pulau Kalimantan, Bangka Belitung, dan Sulawesi.
Estimasi potensi ini merupakan rangsangan kesempatan yang bernilai strategis tinggi seandainya Indonesia serius untuk membangun reaktor pembangkit energi nuklir. Hanya saja, di balik peluang tersebut tersimpan hambatan yang tidak kecil dan sekaligus pelik.
Salah satunya karena Indonesia selama ini belum pernah memiliki reaktor komersial yang bersumber dari energi nuklir sehingga belum terbangun kepercayaan diri yang besar untuk mengelola energi ini. Selain itu, ada stigma bahwa Indonesia kurang dipercaya oleh sejumlah negara untuk mengembangkan nuklir secara mandiri.
Ada indikasi keraguan bahwa sumber daya manusia Indonesia dianggap belum mampu untuk menangani proyek nuklir itu. Bahkan, ada juga indikasi ketakutan dari sejumlah negara jika pengembangan nuklir di Indonesia dapat dimanfaatkan untuk pengembangan senjata nuklir.
Kian sulit lagi dengan adanya sejumlah penolakan dari masyarakat dan juga LSM mengenai bahaya dari kebocoran reaktor seperti yang terjadi di Chernobyl, Rusia dan di Fukusima, Jepang.
Segala indikasi negatif ini menyebabkan Indonesia tidak pernah sukses untuk mencoba proyek nuklir nasional hingga sekarang. Padahal, dalam sejarahnya Indonesia sudah memiliki reaktor mini untuk keperluan riset sejak era 50-an ketika Presiden Soekarno menjadi pemimpin pertama bangsa ini.
Peluang nuklir
Kini, opsi untuk pengembangan nuklir di Indonesia terbuka kembali. Dengan relatif sulitnya perkembangan EBT di Indonesia, ada peluang nuklir akan kembali disinggung sebagai alternatif sumber energi baru. Apalagi, dorongan pengembangan energi nuklir juga tercantum dalam kebijakan energi nasional (KEN).
Selain itu, pengembangan energi nuklir juga tertuang dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang pada tahun 2021 ini menjadi salah satu program legislasi nasional prioritas. Apabila pembangkit nuklir diperkenankan untuk beroperasi di Indonesia, ada harapan besar dapat memberi kontribusi yang signifikan bagi bauran energi nasional.
Mengacu pada target bauran energi tahun 2025 sebesar 23 persen, maka waktu bagi pemerintah relatif sangatlah sempit. Mengingat bauran saat ini masih berkisar 11 persen, diperlukan lonjakan tambahan besaran EBT sebesar 14 persen dalam tempo 4 tahun. Masih sangat mungkin untuk mengejar ketertinggalan itu. Hanya saja, apabila dengan cara yang biasa saja, mustahil bakal tercapai.
Kondisi tersebut menjadi peluang bagi sejumlah produsen pembangkitan energi terutama yang berbasis nuklir untuk menawarkan bisnisnya ke Indonesia. Thorcon merupakan salah satu industri energi yang sudah melakukan pendekatan kepada pemerintah untuk bekerja sama membangun reaktor nuklir Thorium Molten Salt Reactor (TMSR) 500 MW sejak tahun 2019.
Pembangkit listrik tenaga torium (PLTT) akan dibangun di salah satu tempat di Kalimantan Barat, Bangka Belitung, atau Riau. PLTT ini merupakan pilot project terbangunnya industri nuklir di Indonesia. Direncanakan PLTT ini akan mulai dibangun pada tahun 2023 dan akan mulai dioperasikan pada tahun 2026.
Terlepas dari pro dan kontra dari rencana investasi Thorcon tersebut, setidaknya saat ini ada wacana baru terkait komersialisasi nuklir di Indonesia. Berbeda dengan rencana pembangunan PLTN di Muria yang ditentang banyak pihak, rencana Thorcon ini relatif tidak atau belum menghadapi banyak penolakan dari sejumlah kalangan.
Satu hal mendasar yang membedakan antara PLTN di Muria dan Thorcon adalah teknologi yang digunakan. PLTN di Muria masih menggunakan teknologi relatif konvensional yang dikhawatirkan akan terjadi kebocoran pada reaktornya sehingga sangat membahayakan. Sementara Thorcon menggunakan teknologi TMSR (thorium molten salt reactor).
Model ini diklaim sebagai jenis reaktor pembangkit yang dapat memanfaatkan torium secara efisien serta memiliki tingkat keamanan tertinggi. Jenis reaktor ini memakai pendingin garam cair (molten salten) dan bahan bakar torium cair. Bahan bakar berbentuk cair ini sangat aman karena tidak memerlukan tekanan sehingga kekhawatiran seperti yang terjadi di Fukusima dan Chernobyl tidak akan terjadi.
Selain itu, dengan model tanpa tekanan ini menyebabkan bahan produksi TSMR500 menjadi lebih murah dibandingkan pembangkit listrik lainnya karena tidak memerlukan baja yang tebal.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk mendukung proyek Thorcon. Pertama, Indonesia memiliki potensi torium yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku pembangkitan PLTT. PT Antam beberapa saat lalu bersedia untuk menyuplai torium guna pembangkitan PLTT di Indonesia.
Kedua, Indonesia memiliki industri perkapalan, PT PAL yang dapat diajak kerjasama untuk membangun struktur kapal yang digunakan sebagai tempat penyimpanan reaktor torium itu. Dengan sistem modulasi kapal ini, pembangunan galangan atau pulau TMSR ini membutuhkan waktu hanya sekitar 1-2 tahun.
Berbeda jauh dengan pembangkit listrik PLTN konvensional yang membutuhkan waktu 7-10 tahun. Teknologi perkapalan ini dapat menghemat biaya secara signifikan dan sekaligus memiliki kualitas yang bagus dari sisi bahan konstruksi yang terbuat dari logam dan baja.
Pada tahap desain awal, direncanakan model desain struktur kapal dengan panjang 174 meter dan lebar 66 meter akan dibangun oleh Daewoo Shipyard & Marine Engineering (DSME) di Korea Selatan. Selanjutnya, PT PAL akan membuat rumah reaktor TMSR 500 yang memiliki panjang 18 meter dengan diameter 8 meter.
Sejumlah dukungan sumber daya dan infrastruktur tersebut membuat Thorcon dan Indonesia relatif cocok untuk menjalin kerjasama membangun reaktor nuklir PLTT.
Apabila proyek ini berhasil, peluang untuk mengembangkan teknologi serupa sangat terbuka luas di sejumlah tempat lain di Indonesia. Terutama di daerah kepulauan yang sulit terkoneksi listrik ongrid dari pembangkitan terpusat. (LITBANG KOMPAS)