Banjir informasi ternyata belum diikuti oleh literasi media yang kuat. Publik lebih cenderung memilih media sosial untuk mengakses informasi meskipun belum menjamin adanya akurasi.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Kemampuan membaca, memahami, dan memilah informasi semakin penting di tengah kelindan banjir informasi saat ini. Konten berita bisa menjadi salah satu sumber kredibel untuk melengkapi literasi digital bagi masyarakat. Sayangnya, publik masih enggan mengakses jenis informasi ini.Konsumsi berita di internet perlu diperkuat sebagai aspek penting peningkatan literasi digital warga. Saat ini, kebingungan atas benar dan salah sebuah berita peristiwa masih menghinggapi masyarakat akibat banyaknya hoaks.
Hasil Survei tatap muka nasional Kompas pada April 2021 lalu merekam gambaran konsumsi bermedia digital masyarakat Indonesia yang belum mencerminkan melek literasi.
Dari survei ini ditemukan bahwa separuh lebih (54,3 persen) masyarakat sudah merasa cukup dengan apa yang disediakan oleh internet. Kelompok ini menyatakan telah menemukan informasi yang dibutuhkan dan diinginkan di internet. Sementara itu, ada 24 persen yang mengatakan tidak selalu mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Namun, jika ditelusuri, rasa cukup informasi oleh masyarakat itu ternyata semu. Mayoritas publik masih mengakses informasi bukan dari sumber berita yang lebih tepercaya dan dalam proporsi yang minim pula. Ada sejumlah alasan terhadap kesimpulan ini.
Pertama, hasil survei merekam sudah ada 65,7 persen publik responden yang secara berkala mengakses situs berita online. Sayangnya, mayoritas durasi dalam mengakses berita masih di level yang rendah baik dari skala mingguan dan harian.
Tercatat hanya satu dari sepuluh responden yang selalu membuka situs berita online setiap harinya. Sementara itu, 12,7 persen mengakses 3-6 kali dalam seminggu. Mayoritas dari proporsi pengakses berita, yakni 41,9 persen, hanya mengakses situs berita 1-2 kali dalam seminggu.
Dari skala durasi waktu, sebagian besar mengonsumsi berita dalam kategori rendah. Dihitung dari total pengakses berita, hanya 4,6 persen responden yang menikmati berita di situs berita online lebih dari 60 menit. Dalam proporsi yang makin besar, sejumlah 12,3 persen mengakses berita selama 31-60 menit dan 83,1 persen menikmati berita tidak lebih dari 30 menit per hari.
Dengan gambaran itu bisa disimpulkan relatif masih minimnya informasi kredibel yang diakses oleh publik (netizen).
Penikmat situs berita online dengan kategori konsumsi sedang ke tinggi didominasi masyarakat kategori usia dewasa (17-40 tahun). Sementara dari kelompok masyarakat senior (usia 41-60 tahun), tak lebih dari 20 persen yang masuk kategori ini.
Warga senior menyumbang proporsi paling banyak pada kelompok yang sama sekali tidak pernah mengakses berita di situs berita online. Artinya, kelompok ini rentan dengan kabar-kabar bohong.
Latar belakang pendidikan turut menjadi variabel yang memengaruhi karakter bermedia masyarakat. Semakin tinggi pendidikan, semakin sering pula mengakses berita dari situs berita online.
Risiko rentan terhadap paparan informasi yang tak berkualitas bisa dilihat pula dari kandungan hoaks di sebuah informasi. Hasil survei dari Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi pada 2019 menunjukkan hampir seluruh responden (95,8 persen) mengaku pernah menjumpai hoaks. Sayangnya, 54,4 persen dari kelompok tersebut mengaku bingung membedakan konten hoaks dan fakta, padahal survei ini dilakukan pada responden yang mayoritas terpelajar berusia 15-45 tahun.
Di tengah rendahnya minat masyarakat untuk mengakses situs berita online, aktivitas warga dalam penggunaan media sosial justru lebih tinggi. Hanya seperempat bagian responden (24,1 persen) yang tidak pernah mengakses media sosial.
Durasi penggunaan media juga lebih sering dibandingkan situs berita online. Tercatat 52,3 persen mengakses media sosial lebih dari dua kali dalam sehari, hanya 23,6 persen yang mengakses sehari sekali.
Publik juga menghabiskan durasi yang lebih lama dalam berselancar di media sosial. Tercatat sebanyak 7 persen responden membuka media sosial lebih dari 60 menit. Sementara itu, 20,3 persen selama 31-60 menit dan 72,7 persen yang menghabisakan kurang dari 30 menit.
Media sosial yang paling menjadi referensi dan dipercaya adalah media sosial yang memang pouler di Indonesia. Survei ini menemukan bahwa Facebook dan Whatsapp berada di papan atas dengan tingkat kepercayaan masing-masing Facebook (25 persen) dan Whatsapp (22,3 persen). Di papan tengah ada Youtube (19,7 persen) dan Instagram (12,1 persen).
Jika dicermati, pilihan media sosial yang diminati untuk mendapatkan informasi memiliki tingkat kontrol konten yang rendah. Whatsapp, misalnya, media ini sejatinya merupakan aplikasi percakapan di mana informasi yang dipertuturkan berasal dari individu. Meskipun informasi yang dikirimkan dapat berupa tautan berita, tingkat akurasinya tidak terjamin.
Hal ini menjadi preseden yang kurang menguntungkan dalam upaya peningkatan literasi digital karena karakter media sosial yang lebih tidak dapat dikontrol.
Media sosial lainnya, seperti Facebook dan Instagram, juga menjadi arena tanding bebas, baik untuk yang sifatnya positif maupun negatif. Opini dari setiap akun yang terdaftar dapat memuat konten yang sama sekali tidak memiliki jaminan kurasi yang baik.
Perilaku ”netizen”
Belakangan ini, media sosial Indonesia juga disorot karena mencatatkan capaian buruk. Laporan Microsoft mengenai interaksi pengguna internet yang berjudul Digital Civility Index (DCI) yang dipublikasikan pada Februari 2021 menyebut skor DCI warganet dewasa Indonesia memburuk 16 poin menjadi 83.
Indonesia berada di peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Faktor yang memperburuk skor DCI Indonesia tahun 2020 ialah berita bohong atau hoaks dan penipuan di internet (47 persen), ujaran kebencian (27 persen), serta diskriminasi (13 persen).
Yang cukup memprihatinkan, kesediaan responden untuk mencari informasi yang benar dengan cara membayar juga terekam relatif minor. Hanya sepertiga bagian responden yang bersedia membayar sedangkan dua pertiganya menyatakan tidak bersedia membayar.
Kesediaan membayar itu makin kecil jika dilihat dari jenis konten digitalnya. Hanya satu dari sepuluh responden yang bersedia membayar berita setimbang jenis lainnya, seperti video, game, atau aplikasi.
Hasil itu menunjukkan, di tengah pola komunikasi sosial masyarakat yang kompleks, internet sudah dominan menjadi sarana komunikasi dan hiburan, tetapi masih minim sebagai sarana pembelajaran dan informasi yang akurat.
Publik masih perlu memperkuat literasi digital melalui berbagai usaha untuk meningkatkan penalaran dan pemahaman sehingga bisa terhindar dari dampak buruk konsumsi informasi di dunia internet. (LITBANG KOMPAS)