Personalisasi Politik di Antara Partai Baru
Kehadiran partai politik baru pada pemilu selalu ditopang oleh kekuatan dan popularitas dari sosok. Personalisasi sosok menjadi varibel penting sukses tidaknya sang pendatang baru pada pemilu tersebut.
Sepanjang periode reformasi, gelaran pemilu selalu diikuti oleh kelahiran partai politik baru yang ditopang kekuatan berupa personalisasi politik. Kini, jelang Pemilu 2024, fenomena tersebut kembali terulang.
Sejak 1999 hingga 2019, pemilihan umum di Indonesia selalu diikuti oleh partai politik baru. Satu-dua berhasil bertahan dan tetap eksis dalam gelanggang politik nasional, sedangkan sebagian lainnya harus takluk di arena pertarungan karena gagal merebut simpati masyarakat.
Kehadiran partai politik baru tidak terlepas dari euforia demokrasi setelah Indonesia melalui pengekangan gerakan partai politik selama Orde Baru. Luapan euforia ini terlihat jelas pada Pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik dari total 141 partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Padahal, pemilu sebelumnya hanya diikuti oleh tiga partai politik sebagai buah kebijakan dari fusi partai yang dilakukan oleh Presiden Soeharto tahun 1973.
Baca juga: Reformasi Partai Politik
Dalam Pemilu 1999, sejumlah partai baru mencoba peruntungan dengan berbagai strategi dan ideologi yang ditawarkan. Beberapa partai mencoba membawa semangat kejayaan masa lampau, seperti PNI-Front Marhaenis dan Partai Masyumi Baru. Sementara sebagian lainnya mencoba menawarkan pendekatan golongan, seperti partai berlandaskan keagamaan ataupun profesi.
Euforia ini terus berlarut hingga gelaran pemilu berikutnya. Partai baru terus bermunculan dengan ragam pemikiran dan program yang ditawarkan. Tak sedikit di antara partai-partai ini yang tumbang. Hal ini terlihat dari semakin menyusutnya jumlah partai yang ikut serta dalam pemilu dari 48 partai pada Pemilu 1999 menjadi 16 partai pada Pemilu 2019.
Selain karena kalah saing dari sisi elektoral, pengetatan syarat bagi partai untuk ikut serta dalam pemilu juga mendorong semakin sedikitnya jumlah partai peserta pemilu. Dari sisi kepengurusan, misalnya, pada Pemilu 1999, partai politik hanya disyaratkan untuk memiliki kepengurusan pada sepertiga provinsi di Indonesia. Syarat ini kemudian diperketat menjadi kewajiban memiliki kepengurusan di semua provinsi dalam pemilu berikutnya.
Tokoh
Namun, di balik pengetatan sejumlah syarat, partai baru tetap bermunculan pada setiap gelaran pemilu. Terakhir, pada Pemilu 2019 terdapat empat partai baru, yakni PSI, Perindo, Berkarya, dan Garuda. Meski sebagian adalah hasil reinkarnasi partai lama, partai-partai ini tetap menjadi wajah baru dengan nama, logo, dan pengurus yang sama sekali berbeda dengan partai sebelumnya.
Hal menarik yang perlu dicermati dari kemunculan partai baru sepanjang periode reformasi adalah keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi di tengah panggung politik nasional. Jika melihat pola strategi yang digunakan, partai baru yang berhasil menjulang sebagai partai papan atas adalah partai yang identik dengan personalisasi politik. Artinya, partai-partai ini memiliki figur yang menjadi daya tarik dan nilai jual politik.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, sejak awal pendiriannya tahun 1998 identik dengan tokoh Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Sebelum pendirian PKB, Gus Dur adalah sosok yang telah jamak dikenal oleh publik sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Bermodalkan kekuatan basis massa NU dan ketokohan Gus Dur, partai ini berhasil melenggang dalam posisi empat besar dalam Pemilu 1999. Tentu raihan ini adalah prestasi yang cukup mengejutkan mengingat PKB sebagai partai baru harus bersaing dengan partai elite lainnya yang telah memiliki basis massa selama lebih dari dua dekade, yakni PPP, Golkar, dan PDI.
Kondisi serupa tampak pada sejumlah partai lainnya yang lahir pada awal periode reformasi, yakni PAN dengan figur Amien Rais dan Partai Demokrat dengan figur Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, jelang pemilu langsung kedua pada periode reformasi, lahir pula Hanura dengan figur Wiranto dan Gerindra dengan figur Prabowo Subianto.
Para figur yang muncul di permukaan pada setiap partai baru adalah sosok yang telah memiliki pengalaman dalam panggung politik nasional ataupun dalam tataran pemerintahan. Amien Rais, misalnya, pernah menjabat Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebelum mendirikan PAN. Sementara Susilo Bambang Yudhoyono pernah menjabat Menteri Pertambangan dan Energi serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan sebelum memutuskan mundur jelang Pilpres 2004.
Sistem politik
Ada beberapa penyebab lahirnya personalisasi politik dalam pendirian partai baru. Pertama, dari sisi modal politik, figur berpengalaman dibutuhkan untuk menembus ruang-ruang sosial dan politik hingga ke akar rumput dalam tempo yang singkat jelang pemilu.
Untuk mencapai hal ini, simpati masyarakat perlu digalang dengan memanfaatkan ketokohan. Ideologi, nilai, dan program yang ditawarkan oleh partai sulit untuk menembus berbagai lapisan masyarakat tanpa adanya figur yang mumpuni.
Kedua, penerapan sistem presidensialisme yang, suka ataupun tidak, menuntut partai politik untuk melahirkan figur yang dapat bertarung dalam arena pemilihan presiden.
Indikasi ini telah terlihat dalam jejak personalisasi politik yang terjadi pada sejumlah partai baru sepanjang periode reformasi. Sosok yang dimunculkan sebagai identitas personal dalam partai politik adalah mereka yang bertarung dalam pemilihan presiden (lihat infografik).
Pengamat politik Amerika Serikat, David J Samuels, dalam tulisannya berjudul Presidentialized Parties: The Separation of Powers and Party Organization and Behavior (2002) mengungkapkan, pemilihan presiden kerap kali mendominasi pemilihan dalam sistem presidensialisme dibandingkan dengan pemilihan legislatif.
Dampaknya, sebagian partai lebih mengandalkan efek ekor jas atau coattail effect dari figur personal yang diusung dalam pilpres dibandingkan dengan identitas kolektif organisasi. Artinya, sistem presidensialisme turut mendorong personalisasi politik dalam partai, khususnya partai politik baru.
Faktor ketiga, pengetatan persyaratan dalam setiap pemilu juga berdampak pada dibutuhkannya figur utama untuk menopang eksistensi partai hingga ke tingkat daerah.
Jika merujuk pada persyaratan dalam Pemilu 2019 lalu, partai politik harus memiliki kepengurusan minimal 75 persen pada kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. Oleh sebab itu, dibutuhkan figur yang memiliki kekuatan dari sisi finansial ataupun politik untuk menyatukan kepengurusan hingga ke tingkat daerah.
Baca juga: Amien Rais Deklarasikan Partai Ummat, Pemilu 2024 Target Dua Digit Suara
Berulang
Kini, jelang Pemilu 2024, kelahiran partai baru yang melekat dengan personalisasi politik kembali terulang. Sedikitnya telah terdapat enam partai baru yang dideklarasikan, yakni Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), Partai Indonesia Terang, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Usaha Kecil Menengah (UKM), dan Partai Ummat.
Beberapa partai baru ini telah memiliki figur politik berpengalaman. Partai Gelora, misalnya, dipimpin oleh Anis Matta, Presiden DPP PKS 2013-2015. Selain itu, juga terdapat sosok Fahri Hamzah yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua DPR RI 2014-2019.
Ada pula Partai Ummat yang didirikan mantan politikus PAN, Amien Rais. Tokoh dalam reformasi 1998 ini menjadi sosok sentral dalam pendirian Partai Ummat yang baru dideklarasikan pada April 2021 lalu.
Partai lainnya yang juga memiliki figur dari tokoh nasional adalah Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau yang juga kerap disebut sebagai Masyumi Reborn. Selain modal jejak kejayaan pada masa lalu, partai ini juga diperkuat oleh sejumlah tokoh, seperti penasihat KPK 2005-2013, Abdullah Hehamahua, serta anggota DPR RI 2009-2014 sekaligus Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Ahmad Yani.
Menarik untuk menantikan strategi politik dari partai baru untuk mendulang basis massa. Apalagi, jika melihat berdasarkan survei terbaru dari Litbang Kompas pada April 2021 lalu, partai baru dalam Pemilu 2019 hingga kini masih terjebak sebagai partai gurem dengan elektabilitas di bawah 2 persen.
Jika Pemilu 2024 kembali diikuti oleh partai baru, persaingan ketat tampaknya akan tersaji di antara sesama partai baru dalam merebut ceruk basis massa yang tidak begitu dalam. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?