Menilik Tingkat Upah dan Standar Hidup Layak Buruh
Belum semua buruh mendapatkan imbalan sesuai batas bawah yang ditentukan. Hanya sekitar lima dari sepuluh buruh yang menerima upah di atas upah minimum provinsi.
Upah menjadi isu yang selalu disuarakan buruh dari tahun ke tahun. Tuntutan ini tak lain untuk memperoleh jaminan tercukupinya kebutuhan dan standar hidup yang layak di tengah masih minimnya penerimaan dari hasil bekerja.
Upah minimum yang dirumuskan pemerintah setiap tahun idealnya diikuti dengan penerapan di lapangan. Dengan kata lain, setiap buruh berhak mendapat upah sesuai standar yang ditetapkan. Tujuannya untuk mencukupi kebutuhan hidup layak bagi buruh dan keluarganya.
Merujuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan upah minimum adalah upah terendah bagi buruh di tingkat terbawah yang masa kerjanya kurang dari satu tahun.
Meski demikian, belum semua buruh mendapatkan imbalan sesuai batas bawah yang ditentukan. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Agustus 2020, yang disusun Badan Pusat Statistik menunjukkan, hanya sekitar lima atau enam dari sepuluh buruh yang menerima upah di atas upah minimum provinsi (UMP).
Baca juga: Disparitas Upah dan Produktivitas Tenaga Kerja
Jika ditarik ke belakang, setidaknya lima tahun terakhir, trennya cenderung menurun dan persentasenya semakin kecil. Data termutakhir yang dihimpun BPS pada Agustus 2020 menunjukkan, persentase buruh (termasuk karyawan dan pegawai) dengan upah di atas UMP sebesar 49,10 persen. Artinya, tidak mencapai separuh dari total buruh yang ada di Tanah Air.
Tahun sebelumnya di periode yang sama, persentasenya lebih besar, yakni mencapai 56,54 persen. Penurunan tersebut tak lain karena adanya pandemi Covid-19 yang berdampak besar pada perekonomian.
Pembatasan aktivitas masyarakat sebagai upaya mencegah penyebaran virus SARS CoV-2 penyebab Covid-19 membuat permintaan menurun. Barang dan jasa yang dihasilkan dunia usaha tidak banyak tersalurkan ke konsumen karena kendala distribusi.
Roda ekonomi yang melemah itu berdampak pada menurunnya pendapatan perusahaan. Demi menjaga keberlanjutan, perusahaan mengurangi biaya operasional, salah satunya dengan pemotongan gaji karyawan.
Bahkan, tidak sedikit yang berujung pada pemutusan hubungan kerja. Menurut catatan BPS pada periode yang sama, lebih dari lima juta orang kehilangan kesempatan kerja karena bencana non-alam tersebut.
Di sisi lain, persentase buruh dengan upah di atas UMP yang semakin kecil tidak hanya terjadi saat pandemi melanda. Pada bulan Agustus 2018, angkanya sebesar 57,55 persen. Meski lebih tinggi dari tahun 2019, nilai tersebut merosot jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Pasalnya, pada tahun 2017, lebih dari 60 persen buruh menerima upah di atas UMP dan merupakan yang paling besar selama lima tahun belakangan. Adapun tahun sebelumnya hanya mencapai 58,74 persen.
Dengan kata lain, penerima upah sesuai standar semakin kecil. Kenaikan upah minimum yang terus diperjuangkan dari tahun ke tahun dalam momentum demo buruh setiap 1 Mei hanya dirasakan sebagian pekerja.
Pengeluaran per kapita
Sementara kebutuhan setiap orang semakin bertambah dari hari ke hari. Besarannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tecermin dari semakin besarnya pengeluaran per kapita penduduk Indonesia.
Dihitung dari data pengeluaran per kapita yang dihimpun BPS, rata-rata peningkatan pengeluaran penduduk Indonesia sebesar 1,5 persen setiap tahun. Jumlah ini setara dengan Rp 151.778 per tahun, atau Rp 12.648 per bulan.
Angka ini menjadi lebih kecil karena adanya dampak pandemi. Pengeluaran per kapita pada tahun 2020 turun menjadi minus 2,5 persen dibandingkan tahun 2019, dari Rp 941.583 per bulan menjadi Rp 917.750, seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat.
Baca juga: Membaca Arah Kesejahteraan Pascapandemi
Jika dalam situasi normal, tanpa adanya pandemi Covid-19, rata-rata pengeluaran per kapita meningkat sebesar 2 persen. Dalam satu dekade terakhir, setidaknya naik sekitar Rp 200.000 per tahun, atau Rp 17.208 per bulan.
Di sisi lain, peningkatan pengeluaran per kapita mengindikasikan taraf hidup yang lebih baik. Pasalnya, pengeluaran per kapita menjadi salah satu indikator untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia. Indikator ini menggambarkan dimensi standar hidup layak penduduk Indonesia. Rata-rata pengeluaran per kapita digunakan untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan setiap golongan ekonomi rumah tangga.
Anggota rumah tangga
Merujuk Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan, penetapan upah minimum yang dilakukan setiap tahun salah satunya didasarkan pada kebutuhan hidup layak. Hal tersebut merupakan standar kebutuhan hidup layak secara fisik untuk kebutuhan satu bulan seorang buruh/pekerja lajang.
Data BPS menunjukkan, rata-rata upah buruh pada Agustus 2020 sebesar Rp 2,76 juta per bulan. Dengan rata-rata pengeluaran sekitar Rp 900.000 per bulan, di atas kertas sebagian besar dari upah dapat digunakan untuk menabung, investasi, atau lainnya.
Namun, realitas di lapangan sungguh berbeda. Upah bulanan yang diterima buruh tidak hanya untuk mencukupi kebutuhannya sendiri, tetapi juga untuk anggota lainnya dalam keluarga.
Merujuk publikasi ”Keadaan Pekerja di Indonesia Agustus 2020” yang disusun BPS, separuh (29,5 juta) dari total pekerja di Indonesia berstatus sebagai kepala rumah tangga. Pekerja ini tidak hanya terdiri dari buruh, tetapi juga pekerja bebas di pertanian dan pekerja bebas nonpertanian.
Dari jumlah tersebut, mayoritas memiliki anggota rumah tangga lebih dari satu. Bahkan, tujuh dari sepuluh pekerja memiliki tiga hingga lima anggota rumah tangga. Paling banyak di antaranya adalah pekerja dengan empat anggota rumah tangga, yakni 31,4 persen.
Jika pendapatan dalam sebulan digunakan untuk kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga, boleh jadi sangat minim sisanya, atau bahkan tidak mencukupi. Seperti diberitakan Kompas, Herry, seorang buruh otomotif, harus menghidupi tujuh anggota keluarganya.
Dengan upah Rp 6 juta per bulan, ia harus memenuhi kebutuhan istri dan kelima anaknya, selain untuk dirinya sendiri. Hingga saat ini, rumah yang dimilikinya hanya memiliki dua kamar, artinya hanya satu kamar yang tersedia untuk kelima anaknya. Dia mengaku tidak berani membeli rumah baru karena upah yang diterima menjadi satu-satunya pendapatan keluarga.
Baca juga: ”Tak Berharap Anak Jadi Buruh”
Tentu masih banyak kisah serupa seperti yang dialami Herry di seluruh pelosok negeri ini. Tidak heran, peringatan hari buruh selalu dipenuhi teriakan dan tuntutan kenaikan upah. Sementara upah selalu menjadi persoalan tarik-menarik kepentingan dua pihak, yakni buruh dan pengusaha.
Melihat situasi ini, kehadiran pemerintah paling dinanti untuk menghadirkan solusi. Dalam waktu dekat, persoalan pandemi harus segera diatasi agar problem ekonomi menjadi lebih kondusif dan tidak membuat kondisi perusahaan dan buruh semakin tertekan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Menakar Pemberian THR di Masa Pandemi