Preferensi Publik soal Parpol Cenderung Mapan, tetapi Masih Bisa Dinamis
Hasil survei ”Kompas” menunjukkan, ada enam parpol yang konsisten meraih tingkat keterpilihan jauh melampaui ambang batas parlemen. Partai-partai itu ialah PDI-P, Golkar, Gerindra, PKB, Demokrat, dan PKS.
Oleh
Yohan Wahyu/ Litbang Kompas
·6 menit baca
Konfigurasi pilihan masyarakat terhadap partai politik cenderung memperlihatkan kemapanan preferensi mereka. Dua tahun terakhir, pilihan masyarakat terhadap partai tidak begitu beranjak jauh dengan hasil Pemilu 2019. Meskipun demikian, dinamika tingkat keterpilihan parpol tetap terbuka selama tiga tahun ke depan, hingga jelang Pemilu 2024.
Kecenderungan kemapanan pilihan partai politik ini terekam dari hasil survei periodik Litbang Kompas dua tahun terakhir. Dari empat kali survei yang dilakukan, partai-partai politik yang saat ini memiliki kursi di DPR RI masih berpeluang lolos ambang batas parlemen 4 persen sebagai salah satu syarat untuk bertahan di lembaga legislatif nasional tersebut.
Berdasarkan hasil survei Kompas, jika mengacu pada ambang batas parlemen ini, setidaknya ada tiga kategori tingkat elektabilitas partai politik. Kategori pertama adalah partai-partai yang konsisten meraih tingkat keterpilihan jauh melampaui ambang batas parlemen tanpa harus memperhitungkan tingkat kesalahan penarikan sampel. Ada enam parpol di kategori pertama, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Keenam partai itu relatif konsisten ada di enam besar hasil survei Kompas dalam empat kali survei terakhir. Dari enam partai politik itu, empat di antaranya peraih suara terbesar di Pemilu 2019, yakni PDI-P, Gerindra, Golkar, dan PKB. Jika mengacu pada tren perolehan elektabilitas dan rekam jejak di pemilu, keenam partai yang masuk kategori pertama ini berada di papan atas untuk lolos kembali dari ambang batas parlemen.
Kategori kedua adalah kelompok parpol yang tetap berpeluang lolos ambang batas parlemen dengan tetap menyertakan dan memperhitungkan tingkat kesalahan penarikan sampel. Artinya, dengan memasukkan penambahan potensi kesalahan penarikan sampel sampai 2,8 persen, partai-partai ini tetap berpotensi lolos ambang batas parlemen.
Jika kategori pertama adalah kelompok partai yang berada di papan atas untuk lolos ambang batas parlemen, pada kategori kedua ini boleh dibilang partai-partai yang berada di papan menengah untuk lolos ambang batas parlemen. Ada empat partai politik yang masuk dalam kategori kedua ini. Mereka adalah Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Prinsipnya, kedua kategori di atas memiliki peluang lebih besar untuk mempertahankan representasinya di DPR RI meskipun partai-partai politik di kategori pertama relatif lebih besar peluangnya dan lebih mapan dari sisi tingkat keterpilihan. Dengan kata lain, jika pemilu digelar saat survei dilakukan, peluang kesembilan partai yang kini menduduki kursi DPR akan mampu mempertahankan keberadaannya di lembaga legislatif tersebut.
Sementara kategori ketiga adalah kelompok partai politik yang peluangnya lolos ambang batas parlemen masuk papan bawah. Hal ini merujuk pada tren tingkat keterpilihan partai-partai ini sepanjang empat survei Kompas yang selalu berada di bawah angka ambang batas parlemen. Selain itu, jika ditambahkan rentang tingkat kesalahan penarikan sampel pun, tingkat keterpilihan partai-partai ini berada di bawah ambang batas parlemen.
Dari parpol peserta Pemilu 2019, ada enam parpol yang masuk kategori ketiga ini. Mereka adalah Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Berkarya, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Garuda.
Dua partai politik yang masuk kategori ini sebelumnya adalah partai yang pernah punya kursi di DPR, yakni PBB dan Hanura. Kedua partai itu gagal bertahan di DPR setelah tidak lolos ambang batas parlemen. Hanura menjadi partai terakhir yang harus hengkang dari Senayan setelah suara yang diraihnya di Pemilu 2019 jauh di bawah ambang batas, padahal sejak Pemilu 2009, saat pertama kali ikut pemilu, partai ini selalu lolos di DPR.
Dinamika politik
Pertanyaan selanjutnya, apakah ketiga kategorisasi di atas akan mengalami perubahan komposisi? Tentu jika mengacu pada dinamika politik yang relatif masih panjang menuju Pemilu 2024, peluang perubahan peta politik tetap memungkinkan untuk terjadi. Peluangnya juga terjadi pada dua sisi.
Di satu sisi, partai-partai yang berpeluang lolos ambang batas parlemen akan berupaya keras mempertahankan posisinya. Di sisi yang lain, partai- partai yang peluangnya mengecil untuk lolos ambang batas juga melakukan hal yang sama untuk bisa berada di barisan partai-partai yang berpeluang lolos ambang batas parlemen.
Meskipun pola tingkat keterpilihan partai dari hasil survei ini relatif mapan, yakni belum beranjak dari peta perolehan suara partai di Pemilu 2019, peluang perubahan tingkat elektabilitas tetap terbuka. Fluktuasi angka elektabilitas partai yang mengalami dinamika bisa menjadi salah satu penguat adanya potensi perubahan itu.
Jika dilihat dari tren elektabilitas dari empat survei Litbang Kompas, terekam bagaimana partai-partai mengalami pasang surut tingkat keterpilihan. Dari enam partai politik yang masuk kategori pertama, misalnya, tampak sebagian besar dari partai-partai ini rata-rata pergerakannya tidak terlalu melonjak tinggi.
Dari empat survei tersebut, Partai Demokrat mengalami rata-rata kenaikan 2,3 persen, lebih tinggi dibanding lima partai politik lainnya. Sementara Partai Gerindra, meskipun selalu berada di peringkat kedua, trennya justru turun. Dari keempat survei ini, tren rata- rata fluktuasi Gerindra berada di angka minus 3,1 persen. Sementara keempat partai lainnya relatif landai pergerakannya, yakni berkisar 0,1 persen hingga 1,7 persen.
Kecenderungan landainya fluktuasi pergerakan tingkat keterpilihan partai ini turut memberikan insentif pada terbentuknya kemapanan pilihan terhadap partai politik. Di satu sisi juga bisa dimaknai saat ini masyarakat belum menjadikan isu pilihan partai sebagai perhatian di tengah isu pandemi yang mendominasi perhatian publik dan pemerintah.
Program kerja
Pergerakan pilihan partai yang melandai ini juga tidak lepas dari durasi waktu yang masih panjang menuju Pemilu 2024. Untuk itu, partai politik masih mempunyai banyak waktu untuk bekerja meyakinkan publik. Hasil survei juga menangkap pesan dari masyarakat soal minat mereka ketika memilih partai lebih mempertimbangkan sejumlah hal.
Salah satu yang paling banyak disebutkan sebagai hal yang dipertimbangkan adalah program kerja partai. Sebanyak 89,1 persen responden menyebutkan program kerja menjadi hal yang dipertimbangkan, bahkan sepertiga dari responden mengatakan hal itu sangat dipertimbangkan dalam memilih partai politik. Hal ini menjadi potret harapan publik bahwa partai politik harus menyuguhkan tawaran program kerja yang jelas dan konkret kepada masyarakat, bukan sekadar jargon politik.
Selain program kerja, sisi lain yang menonjol disebutkan responden adalah ketokohan dalam partai. Jika merujuk hal yang dipertimbangkan, faktor ketokohan ini disebutkan 68 persen responden. Tentu ini terkait kepercayaan publik terhadap personifikasi partai yang umumnya selalu dilekatkan dengan sosok ketua umumnya.
Selain itu, hal ini juga bisa dimaknai dengan siapa sosok yang akan dicalonkan oleh partai politik sebagai calon presiden nanti. Pengalaman Pemilu 2014 dan 2019, ada insentif elektoral yang diraih PDI-P dan Gerindra dengan mengajukan kader partainya, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, dalam pemilihan presiden.
Jika merujuk hasil survei Kompas terkait bursa calon presiden, sejumlah nama yang masuk dalam jajaran atas tingkat elektoral ada yang sudah dikenal sebagai kader partai dan ada yang belum terasosiasi dengan partai politik tertentu. Boleh jadi inilah peluang bagi partai untuk menjadikan variabel sosok calon presiden yang diusungnya guna semakin memapankan potensi elektoralnya di hadapan pemilih.