Dilema Pembelajaran Tatap Muka
Publik masih gamang dengan wacana pembukaan sekolah tatap muka. Di satu sisi menilai pembelajaran daring tidak efektif, tapi di sisi lain masih mengkhawatirkan penularan Covid-19 jika sekolah tatap muka dibuka.
Kebijakan pembukaan sekolah tatap muka secara menyeluruh masih menimbulkan kegamangan dan kekhawatiran. Di satu sisi masyarakat menilai pembelajaran daring tidak efektif, tapi di sisi lain masih mengkhawatirkan penularan Covid-19 di lingkungan sekolah.
Kegamangan ini terekam dalam hasil survei Kompas April lalu di mana respons masyarakat terbelah, antara yang masih khawatir (50,1 persen) dan yang merasa tidak khawatir (49,2 persen) menanggapi kebijakan pemerintah yang akan membuka kembali pembelajaran tatap muka (PTM) pada tahun ajaran baru Juli mendatang.
Seperti diketahui, pada akhir Maret 2021, melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri, pemerintah mendorong akselerasi pembelajaran tatap muka terbatas dengan tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat. Hal ini juga sejalan dengan akselerasi pelaksanaan vaksinasi terhadap guru dan tenaga kependidikan yang dilakukan pemerintah.
Baca juga : Tunda Buka Sekolah Tatap Muka, Utamakan Keselamatan Anak
Sejak dimulainya penutupan sekolah pada Maret 2020 akibat pandemi Covid-19, paling tidak pemerintah sudah empat kali mengeluarkan SKB empat menteri terkait rencana pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka.
Namun, sudah satu tahun lebih hingga hari ini dunia pendidikan masih maju mundur untuk menerapkannya. Pasalnya, pandemi Covid-19 tidak kunjung mereda, bahkan cenderung meningkat pada akhir tahun lalu. Sementara itu tak dapat dimungkiri dunia pendidikan menghadapi tantangan yang berat dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Pemberian vaksin pada sekitar 5 juta guru dan tenaga kependidikan yang ditargetkan bisa selesai di akhir Juni 2021 menjadi harapan terselenggarakannya kembali pembelajaran tatap muka Juli mendatang. Secara umum, mayoritas responden merespons positif kebijakan pemerintah untuk memulai pembelajaran tatap muka ini.
Namun, mayoritas mereka (84,2 persen) menekankan syarat yang ketat terkait pembelajaran tatap muka tersebut. Sementara itu, kelompok responden lainnya, yakni sekitar 13,5 persen, justru sepakat agar pemerintah menunda kebijakan tersebut.
Syarat utama yang ditekankan responden adalah terkait kondisi kasus Covid-19. Sebagian besar dari kelompok responden yang merespons positif kebijakan belajar tetap muka ini mensyaratkan dibuka hanya di wilayah yang tidak ada penambahan kasus Covid-19 atau penambahan kasusnya sedikit.
Hanya 15 persen responden yang secara tegas setuju dilakukan di seluruh wilayah, termasuk di wilayah dengan penambahan kasus Covid-19 tinggi (Zona Merah). Tentu, respons masyarakat ini menggambarkan bahwa sebenarnya masih ada keragu-raguan dan kekhawatiran untuk melepaskan anak-anak kembali masuk sekolah.
Kluster sekolah
Kekhawatiran terbesar masyarakat jika sekolah dibuka kembali adalah besarnya risiko penyebaran Covid-19 terjadi di ruang kelas. Sebanyak 61,9 persen responden menyatakan alasan tersebut. Sementara sebanyak 21,5 persen responden khawatir siswa atau guru dapat menjadi pembawa (carrier) penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Kekhawatiran tersebut cukup beralasan mengingat kasus terkonfirmasi positif pada anak usia sekolah di Indonesia tergolong tinggi, meski rendah dibandingkan kelompok usia lainnya. Data pada laman covid19.go.id per 24 April 2021 menunjukkan, kasus Covid-19 pada anak mencapai 12,2 persen.
Tingkat kematian akibat Covid-19 pada anak juga tinggi, sekitar 3 persen dan merupakan yang tertinggi di Asia Pasifik. Apalagi, muncul kluster penularan Covid-19 di sejumlah sekolah berasrama setelah menjalankan pembelajaran tatap muka (Kompas, 1/4/2021).
Hal ini menunjukkan, pembukaan sekolah masih berisiko tinggi bagi siswa. Kasus Covid-19 pada anak memang umumnya bergejala ringan, bahkan tak bergejala, tetapi bukan berarti anak tidak rentan dan tidak berbahaya jika terpapar.
”Normal baru” dunia pendidikan dengan berbagai pembatasan juga dinilai sebagian responden (6,3 persen) tidak nyaman dan tidak efektif untuk belajar. Di samping itu, masyarakat juga menilai kedisiplinan sekolah menerapkan protokol kesehatan masih minim. Munculnya kluster penyebaran Covid-19 di sejumlah sekolah ditengarai akibat kendurnya pelaksanaan dan pengawasan protokol kesehatan.
Tidak efektif
Namun, di sisi yang lain, tidak efektifnya pembelajaran daring menjadi alasan utama yang paling menonjol (36,9 persen) dari responden yang menyatakan tidak khawatir dengan pelaksanaan pembelajaran tatap muka di masa pandemi ini.
Pembelajaran jarak jauh, baik daring maupun luring, dinilai tidak efektif dan menimbulkan dampak learning loss (hilangnya pengalaman belajar) yang semakin dalam. Pembukaan sekolah diharapkan mencegah kerugian yang lebih besar lagi akibat penutupan sekolah.
Di samping itu, sepertiga responden tidak khawatir karena yakin kegiatan belajar di sekolah dapat dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Kerinduan siswa untuk kembali ke sekolah (13,3 persen) juga menjadi alasan yang mendorong pembelajaran tatap muka segera dilaksanakan.
Baca juga : Pembelajaran Tatap Muka Terbatas Masih Berisiko Tinggi
Tak dapat dimungkiri, PJJ yang berkepanjangan telah menimbulkan kejenuhan bagi siswa dan membuat siswa malas belajar. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan demotivasi untuk melanjutkan sekolah.
Vaksinasi yang sudah mulai dilaksanakan sejak medio Januari 2021 sebagai salah satu upaya penanganan pandemi Covid-19 menjadi alasan sebanyak 16,4 persen responden tidak merasa khawatir lagi belajar tatap muka. Apalagi, guru dan tenaga kependidikan juga mendapat prioritas pemberian vaksin.
Tidak hanya pendidik, mayoritas responden (72,4 persen) juga mengharapkan para siswa bisa mendapatkan vaksinasi agar lebih terjamin keselamatannya. Apalagi, perusahaan farmasi asal China, Sinovac, mengklaim bahwa vaksin Covid-19 mereka aman dan efektif untuk anak-anak usia 3-17 tahun. Terkait hal tersebut, pemerintah (Kemenkes) masih menanti hasil uji klinis secara keseluruhan sebelum memutuskan apakah akan melakukan vaksinasi kepada anak-anak atau tidak.
Protokol kesehatan
Meskipun demikian, kalaupun semua guru telah mendapatkan vaksin, itu belum menjamin sekolah aman dibuka kembali karena kekebalan kelompok di lingkungan sekolah belum terbentuk sehingga risiko siswa terpapar Covid-19 masih tinggi.
Karena itu, infrastruktur dan standar operasional prosedur protokol kesehatan menjadi syarat mutlak jika sekolah hendak dibuka lagi. Pemerintah menetapkan ada 15 indikator atau daftar periksa yang harus dipenuhi sekolah sebelum menyelenggarakan pembelajaran tatap muka.
Hasil survei juga menunjukkan, sebagian besar responden (44 persen) sepakat penyediaan infrastruktur protokol kesehatan di sekolah yang memadai seperti masker, air bersih, tempat cuci tangan, cek suhu, dan lainnya menjadi hal yang paling penting dipersiapkan pemerintah.
Sayangnya, data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang kesiapan belajar menunjukkan, baru 280.372 atau 52,44 persen sekolah yang mengisi daftar kesiapan proses belajar mengajar di masa pandemi, itu pun baru sekitar 10 persen yang siap (Kompas, 18/3/2021).
Selain penyediaan infrastruktur protokol kesehatan, yang terpenting adalah pengawasannya. Sekolah tidak akan bisa normal kembali seperti sebelum pandemi, pembukaan sekolah tatap muka tetap mengacu pada protokol kesehatan yang ketat.
Setidaknya, kepastian penerapan dan pengawasan protokol kesehatan mampu menjadi pertimbangan untuk sedikit menjawab dilema publik terkait rencana pembukaan sekolah tatap muka. (LITBANG KOMPAS)