Menakar Potensi Kekuatan Poros Partai Islam
Poros partai politik Islam berpeluang menjadi kekuatan baru, tetapi sejarah merekam tidak mudahnya menyatukan kekuatan partai berbasis pemilih Islam ini ke dalam satu wadah.
Wacana pembentukan poros partai Islam mencuat saat pertemuan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan, pertengahan April lalu. Sejumlah partai berhaluan Islam pun turut diajak bergabung. Jika mewujud, koalisi ini berpotensi menjadi poros kekuatan baru di tengah dominasi polarisasi politik yang ada saat ini.
Dalam pertemuan kedua partai, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa sepakat membangun kerja sama dalam peta lingkaran kekuatan politik partai.
Pertemuan keduanya direspons positif oleh Partai Bulan Bintang (PBB) yang menganggap hal ini merupakan momentum tepat untuk membangun kekuatan politik berbasis partai Islam menjelang konstelasi politik pada 2024.
Baca juga: Tantangan Partai Islam
Seturut dengan PBB, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun sama terbukanya menyambut baik adanya pembentukan poros partai Islam ini, bahkan partai berlambang sembilan bintang dan bola dunia ini telah menyatakan kesiapannya untuk turut andil besar dalam mendukung pembentukan poros koalisi tersebut.
Di tengah dukungan yang menguat, Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai partai yang juga berbasis pada konstituen Islam justru bersikap sebaliknya. Partai yang kelahirannya dekat dengan pemilih di kalangan Muhammadiyah ini memandang poros koalisi partai Islam tak sejalan dengan semangat rekonsiliasi nasional yang saat ini terus digaungkan pascapolarisasi hebat yang terjadi pada Pemilu 2019. PAN mengkhawatirkan hadirnya poros baru ini hanya akan memantik kembali isu SARA dan perpecahan di tengah masyarakat.
Kritik terhadap rencana koalisi partai Islam juga disampaikan oleh Partai Gelombang Rakyat (Gelora) dan juga Partai Ummat. Kedua partai politik pendatang baru ini menilai langkah penggabungan hanya akan mengedepankan kepentingan politik pragmatis, termasuk pula pencalonan presiden yang tidak berpijak pada kepentingan luas masyarakat.
Peta kekuatan
Jika dilihat berdasarkan sikap awal ini, sokongan dukungan dari PKB dan PBB tampaknya telah cukup untuk menjadikan koalisi partai Islam muncul sebagai poros baru yang patut diperhitungkan. Berdasarkan hasil Pemilu 2019, penggabungan empat partai, yaitu PPP, PKS, PKB, dan PBB, ini setidaknya telah menghimpun tidak kurang dari 30 persen suara.
Dengan tolok ukur ambang batas pencalonan presiden dari sisi suara yang diraih di pemilu, praktis angka itu telah cukup bagi koalisi partai Islam untuk dapat mengusung calon presiden dalam gelaran pemilihan mendatang.
Dengan modal suara yang cukup unggul dibandingkan dengan tiga partai lainnya, posisi PKB yang mengantongi 9,69 persen suara pada Pemilu 2019 akan secara signifikan berpengaruh di dalam poros koalisi yang akan dibentuk. Tidak heran jika kemudian dalam pernyataannya PKB siap untuk memimpin poros koalisi partai Islam ini.
Baca juga: Partai Masyumi Mulai Diaktifkan Kembali
Selain PKB, PKS menjadi partai yang juga cukup memiliki modal suara besar dengan meraup 8,21 persen pada pemilu lalu. Namun, jika koalisi hanya dilakukan duet PKS dan PPP yang hanya memiliki 4,52 persen suara sepertinya tak akan cukup bertaji. Sementara dukungan dari PBB, sekalipun sebagai partai nonparlemen, juga turut memperkuat posisi koalisi dan memperluas pasar suara pemilih partai Islam.
Dalam membangun koalisi, perhitungan peta kekuatan dan pengaruh yang dibawa oleh setiap partai yang akan ikut bergabung tentu menjadi begitu penting. Pertimbangan elektoral tersebut tentulah tetap menjadi hal utama sekalipun pembentukan poros koalisi yang diwacanakan berbalut kesamaan dari landasan nilai Islam yang diusung partai.
Di awal kemunculan wacana pembentukan poros koalisi ini, tak sedikit pula pihak yang menilai hal tersebut sebagai sekadar bentuk pelarian dari partai-partai Islam yang tengah menghadapi penurunan suara sehingga perlu membangun kekuatan untuk dapat terus eksis dalam kancah pemilu dan perpolitikan nasional. Data tren hasil pemilu sejak 2004 merekam, suara partai-partai Islam, seperti PPP, PAN, dan PBB, terus tergerus cukup drastis.
Suara eksisting PPP saat ini, misalnya, merosot lebih kurang separuh dari hasil Pemilu 2004. Demikian pula raihan suara PBB yang dalam tiga periode pemilu terakhir terus bergeming di bawah 2 persen.
PKB ataupun PKS dapat dikatakan memang berhasil secara konsisten merawat perolehan suara. Kedua partai Islam tersebut terbukti mampu terus mempertahankan posisinya sebagai partai papan tengah yang terus diperhitungkan secara posisi politik, baik sebagai pendukung pemerintah maupun oposisi. Kenaikan suara yang cukup memuaskan bahkan diraih oleh PKS dalam Pemilu 2019 hingga berhasil menyentuh lebih dari 8 persen yang semakin mendekati perolehan suara PKB.
Tantangan konsolidasi
Dalam hal elektabilitas, PKB dan PKS juga menjadi partai Islam yang masih memperoleh hasil memuaskan. Hasil survei Litbang Kompas dalam tiga periode pada Oktober 2019, Agustus 2020, dan Januari 2021 menunjukkan, elektabilitas PKB cukup stabil pada angka 5 persen.
Sementara itu, meskipun sempat mengalami penurunan elektabilitas menjadi 3 persen, PKS tetap menduduki posisi sebagai partai Islam dengan elektabilitas tertinggi setelah PKB.
Secara gamblang, modal elektoral yang dibawa oleh setiap partai tentulah akan terkonversi menjadi kekuatan dukungan pemilih untuk poros koalisi. Meskipun begitu, penggabungan kekuatan dari beberapa partai untuk membentuk koalisi yang solid juga sangat ditentukan dari proses konsolidasi yang dilakukan.
Kesepakatan dalam sebuah koalisi partai tentu wajar jika ditempuh dengan proses yang begitu kompleks. Tak hanya mempertimbangkan dampak elektoral, tetapi juga menyepakati kesamaan visi dan misi yang tentunya harus saling menurunkan dominasi dan ego sektoral dari setiap partai.
Hal paling mendasar, misalnya, mengenai perbedaan cara pandang dan nilai yang diyakini oleh tiap-tiap partai Islam sering kali menjadi jurang pemisah yang membuat buntu kesepakatan.
Selain itu, dinamika di internal partai hingga situasi perpolitikan nasional ataupun di daerah memang telah mengantarkan partai-partai islam dalam menentukan sikap politiknya. Misalnya, saat ini PKS memutuskan untuk menjadi oposisi pemerintah, yang berkebalikan dengan PKB, PPP, dan PAN.
Pilihan untuk membangun koalisi sedari awal memang harus dirumuskan untuk menjadi pusat kekuatan yang kokoh dalam pertarungan elektoral. Hal itu pun tentulah sejalan dengan kemungkinan risiko politik sebagai pertaruhan untuk dapat meraup sebesar-besarnya suara pemilih atau justru sebaliknya.
Sekalipun pasar suara pemilih Indonesia yang berpotensi mengalir pada partai Islam cukup besar, rekam jejak hasil pemilu yang dilakukan pascareformasi, belum ada satu pun partai Islam yang keluar sebagai pemenang.
Baca juga: PKB-PKS Belum Mau Bahas Poros Partai Islam
Kesepakatan alot diperkirakan juga akan terjadi saat penentuan siapa sosok yang paling tepat untuk dimunculkan sebagai calon presiden. Jika dilihat hingga saat ini, setiap partai telah menyiapkan sosok yang berasal dari internal ataupun tokoh di luar partai yang dinilai berpotensi maju sebagai calon presiden.
Konsolidasi nan kompleks dari berbagai aspek tersebut menjadi kunci dari mewujudnya cita-cita koalisi partai Islam yang solid. Dengan begitu, potensi besar dari kekuatan politik yang terhimpun dapat terwadahi dan muncul sebagai poros kekuatan politik baru yang sangat diperhitungkan. (LITBANG KOMPAS)