Buruh, Katalisator atau Komoditas Politik? (Bagian Pertama)
Kebijakan yang silih berganti dilahirkan oleh setiap periode pemerintahan membuat posisi buruh kerap terombang-ambing di antara dialektika politik negeri ini.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Sejak era pemerintahan Soekarno hingga saat ini, buruh kerap kali berada dalam dua posisi politik, yakni sebagai katalisator dan komoditas dalam kontestasi. Kebijakan yang silih berganti dilahirkan oleh setiap periode pemerintahan membuat posisi buruh kerap terombang-ambing di antara dialektika politik negeri ini.
Suka ataupun tidak, harus diakui bahwa buruh adalah bagian yang turut memainkan peranan penting sepanjang sejarah Republik. Perkumpulan dalam jumlah besar, gerakan yang bersifat masif dan reaktif, hingga organisasi yang tersebar hingga unit terkecil di perusahaan, melahirkan posisi tersendiri bagi buruh dalam jagat politik dalam negeri.
Posisi politik ini telah terlihat jauh sebelum kemerdekaan. Pekerja yang tergabung dalam beberapa serikat buruh telah membuat sejumlah gerakan yang berhasil membuat kewalahan pemerintah kolonial. Gerakan ini salah satunya dilakukan oleh serikat buruh kereta api atau Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) pada 1923.
Persoalan tunjangan dan gaji saat itu menjadi alasan buruh kereta api melakukan mogok kerja. Dampaknya, sarana transportasi kereta lumpuh sehingga memaksa pemerintah kolonial untuk turun tangan dan menangkap sejumlah pimpinan gerakan pemogokan (Ingleson, 2004).
Beberapa tokoh buruh juga identik dengan gerakan politik. Semaun, misalnya, salah satu klerk atau juru tulis perusahaan kereta api di Surabaya. Setelah terlibat dalam pergerakan buruh di bawah naungan VSTP, ia kemudian aktif sebagai salah satu pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI).
Hingga periode kemerdekaan, buruh masih memainkan peranan penting dalam konstelasi politik bangsa. Pada saat penerapan kebijakan politik Presiden Soekarno untuk mengambil alih perkantoran dari pihak asing di awal periode revolusi, para pekerja turut berjuang mempertaruhkan nyawa untuk menguasai setiap perkantoran. Hal ini salah satunya dilakukan oleh buruh pada bidang kelistrikan saat mengambil alih perkantoran pada sejumlah daerah di Pulau Jawa (Haryono, dkk, 2020).
Sentuhan antara buruh dan politik semakin terlihat pada periode revolusi hingga Pemilu 1955. Saat itu, telah terbentuk sejumlah serikat buruh yang berafiliasi dengan partai politik. Salah satunya adalah Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) yang terbentuk pada 1948. SBII merupakan organisasi buruh yang berafiliasi dengan Partai Masyumi.
Selain itu, juga terdapat Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) berhaluan komunis. Perkumpulan ini juga berafiliasi dengan PKI.
Dari jejak pergerakan buruh antara periode kolonial dan masa-masa awal kemerdekaan, tampak dengan jelas bahwa buruh telah menjalankan dua peran. Pertama, sebagai katalisator politik. Hal ini terlihat saat buruh berusaha menggalang gerakan besar untuk menuntut kesejahteraan. Selain itu, sejumlah buruh juga terlibat dalam PKI beserta pergerakannya sebelum periode kemerdekaan.
Di sisi lain, buruh juga berperan sebagai komoditas politik. Lahirnya organisasi buruh yang berafiliasi dengan partai politik saat Pemilu 1955 menunjukkan bahwa kelompok ini juga dimanfaatkan sebagai sumber gerakan politik di akar rumput.
Untuk melihat dan memahami lebih jauh tentang gerakan buruh, posisi buruh di antara kancah politik nasional dapat dibagi pada tiga periode. Pada masing-masing periode, terdapat pandangan dan kebijakan yang berbeda terhadap buruh yang berdampak pada eksistensi gerakan buruh.
Periode pertama adalah pada era kepemimpinan Presiden Soekarno. Saat itu, buruh menempati posisi yang istimewa. Buruh tidak hanya dipandang sebagai perkumpulan sosial semata, tetapi juga sebagai massa actie yang dapat melakukan machtsvorming. Artinya, buruh memainkan peran sebagai suatu kesatuan yang memiliki kekuatan sosial ataupun kekuatan politik untuk menciptakan suatu tekanan.
Buruh kala itu begitu dipuja sebagai representasi kaum marhaen dan pahlawan masyarakat kelas borjuis, terutama pada dekade awal kemerdekaan. Pandangan ini muncul tidak terlepas dari keinginan Soekarno untuk memajukan nasib buruh. Bagi Soekarno, salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan buruh adalah dengan memberikan ruang guna meningkatkan perjuangan buruh itu sendiri. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah politieke toestand.
Konsep ini salah satunya pernah disinggung oleh Soekarno saat perayaan Hari Buruh pada 1966. Pentingnya posisi buruh memang membuat Soekarno kerap kali menyempatkan diri untuk menyapa buruh pada tanggal 1 Mei.
Saat itu, Soekarno kembali menyinggung pentingnya peran buruh dalam melawan kapitalis yang melahirkan imperialisme dan kolonialisme. Oleh sebab itu, 1 Mei bukan hanya perayaan kemenangan bagi para buruh internasional, melainkan juga buruh di Indonesia (Kompas, 2 Mei 1966).
Dari pernyataan ini, terlihat bahwa alasan Soekarno pro terhadap buruh berkaitan dengan konsep berdiri di atas kaki sendiri atau berdikari yang digaungkan. Artinya, buruh saat itu memainkan posisi sebagai komoditas politik untuk mencapai tujuan Soekarno agar Indonesia tidak bergantung pada kekuatan kapital yang dikhawatirkan kembali menjajah Indonesia dari beragam sisi.
Pentingnya posisi buruh bagi Soekarno berdampak pada sejumlah kebijakan politik terkait kelompok buruh. Kebijakan utama yang dikeluarkan pada periode awal kemerdekaan langsung menyentuh substansi kesejahteraan buruh.
Kebijakan politik salah satunya lahir pada Oktober 1947. Saat itu, Soekarno melalui Menteri Perburuhan SK Trimurti menerbitkan undang-undang yang mewajibkan perusahaan membayarkan ganti rugi kepada buruh yang mengalami kecelakaan kerja ataupun menderita penyakit karena pekerjaan. Buruh berhak memperoleh uang tunjangan hingga 70 persen selama tidak bekerja.
Aturan untuk menjamin kesejahteraan buruh juga kembali dikeluarkan pada tahun 1948 melalui undang-undang. Hak buruh tentang jam kerja, libur, dan pembebasan dari kewajiban kerja pada tanggal 1 Mei menjadi atensi dalam beleid ini. Lahirnya ketentuan yang pro pada buruh sejak tahun-tahun awal kemerdekaan membuktikan bahwa Soekarno begitu memandang buruh secara istimewa.
Namun, posisi dan eksistensi buruh berubah secara perlahan sejak dekade 1960-an. Di tengah kancah politik nasional, buruh di satu sisi dituntut untuk patuh pada pemerintah. Pengekangan ini bermuara pada eksistensi buruh yang terus bergelora setelah runtuhnya rezim pemerintahan Soeharto. Bagaimana posisi politik buruh selama periode Orde Baru dan reformasi? (LITBANG KOMPAS)