Buruh, Katalisator atau Komoditas Politik? (Bagian Kedua)
Ketidakstabilan ekonomi hingga transisi kuasa berdampak pada eksistensi dan pengekangan gerakan buruh. Dengan jejak sejarah yang panjang, sulit melepaskan posisi buruh dalam kancah politik nasional.
Kesulitan ekonomi hingga konflik politik berdampak pada posisi dan eksistensi buruh. Secara perlahan, buruh diposisikan sebagai subyek pasif dalam dialektika politik Orde Baru sebelum akhirnya mencoba memainkan peran sebagai katalisator politik pada era Reformasi.
Sejak dekade 1960-an, posisi buruh perlahan mulai termarjinalkan di tengah kemelut politik yang terjadi. Ketidakstabilan ekonomi hingga transisi kuasa berdampak pada eksistensi dan pengekangan gerakan buruh.
Kondisi ini dimulai pada 1960. Saat itu, Presiden Soekarno mengeluarkan aturan yang melarang buruh di perusahaan dan badan yang vital melakukan mogok kerja. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Penguasa Perang Tertinggi RI Nomor 4 Tahun 1960.
Beleid ini dikeluarkan di tengah ancaman krisis sehingga buruh diharapkan dapat berperan untuk mencegah gangguan kehidupan ekonomi masyarakat. Bagi yang melanggar, buruh atau pekerja akan dikenai sanksi penjara hingga denda Rp 1 juta.
Secara tidak langsung, aturan ini dapat dipahami sebagai awal pengekangan terhadap gerakan buruh. Secara perlahan, eksistensi buruh terus memudar hingga menyentuh puncaknya pada masa kepemimpinan Soeharto.
Di bawah pemerintahan Orde Baru, gerakan buruh dikekang agar tidak menimbulkan gejolak dalam pembangunan. Buruh saat itu tidak lagi memainkan peran sebagai katalisator politik, tetapi diposisikan sebagai subyek pasif karena dikhawatirkan menimbulkan gerakan menentang pemerintah. Dampaknya, pemerintah menghapus 1 Mei sebagai peringatan Hari Buruh karena dinilai memiliki kaitan dengan Marxisme dan Leninisme.
Penghapusan peringatan hari buruh ini bermakna bahwa pemerintah tidak lagi ingin ada pergerakan buruh secara masif dalam jumlah besar. Hal ini semakin dipertegas dengan pengakuan serikat buruh tunggal, yakni Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Pada 1985, nama FBSI berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Serikat buruh ini adalah satu-satunya wadah yang diakui pemerintah untuk menyalurkan aspirasi bagi buruh di Indonesia. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan semangat awal yang digaungkan oleh Soekarno untuk memberikan ruang yang begitu besar bagi buruh untuk bergerak. Artinya, terdapat dua sudut pandang dan kebijakan politik yang berbeda antara Soekarno dan Soeharto terkait buruh. Perbedaan ini membuat posisi buruh terombang-ambing di tengah-tengah arah gelombang kebijakan politik yang berubah.
Baca juga: Buruh, Katalisator atau Komoditas Politik? (Bagian Pertama)
Kebangkitan
Gerakan buruh kembali menemui eksistensinya pada awal periode reformasi. Eksistensi ini tidak terlepas dari lahirnya sejumlah kebijakan yang memberikan ruang kebebasan bagi buruh untuk berekspresi.
Gerbang kebebasan bagi buruh terbuka sejak Presiden BJ Habibie mengesahkan konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi bagi para pekerja pada 1998. Artinya, para buruh memiliki kebebasan untuk berserikat setelah dikekang selama periode Orde Baru.
Indonesia bahkan tercatat sebagai negara pertama di Asia yang meratifikasi seluruh konvensi dasar ILO, seperti penghapusan kerja paksa, diskriminasi jabatan, dan usia minimum pekerja. Kebijakan ini sekaligus menjadi babak baru dalam sejarah pergerakan buruh di Indonesia.
Sepanjang reformasi, serikat buruh tak lagi berorientasi pada satu wadah tunggal seperti pada periode Orde Baru. Beberapa organisasi buruh menunjukkan eksistensinya, seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Serikat Pekerja Nasional (SPN), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
Buruh semakin mendapatkan tempat dalam kebijakan politik saat ditetapkannya tanggal 1 Mei sebagai hari libur oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013. Secara politis, lahirnya kebijakan ini dapat dimaknai sebagai pengakuan bagi eksistensi buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan.
Rangkaian kebijakan politik yang dilahirkan terkait buruh berbanding lurus dengan semakin aktifnya gerakan buruh. Tak jarang, buruh mencoba berperan sebagai katalisator kebijakan politik pada sejumlah persoalan.
Hal ini terlihat dari beberapa gugatan yang diajukan oleh serikat buruh ke Mahkamah Konstitusi, seperti UU BPJS, UU Pengampunan Pajak, dan UU Cipta Kerja. Terlepas dari diterima atau tidaknya gugatan yang diajukan, kehadiran buruh dalam tuntutan hingga tingkat Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa serikat pekerja kian memainkan peran di tengah kebijakan politik nasional.
Namun, sepanjang reformasi, suka ataupun tidak, harus diakui bahwa buruh juga kerap dianggap sebagai komoditas politik, terutama jelang pemilihan umum. Hal ini telah terlihat sejak Pemilu 1999. Saat itu, terdapat sejumlah partai yang membidik suara buruh, yakni Partai Buruh Nasional, Partai Pekerja Indonesia, Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia, dan Partai Solidaritas Pekerja.
Keempat partai ini sama-sama berpandangan bahwa saatnya buruh menjadi subyek aktif dalam kancah politik nasional dan tidak lagi menjadi obyek yang hanya pasif dalam gelaran pemilu.
Kehadiran sejumlah partai yang mencoba merepresentasikan buruh tidak serta-merta menjamin raihan suara dalam pemilu. Menurut catatan KPU, partai-partai ini hanya memperoleh raihan suara di bawah 1 persen dalam Pemilu 1999. Kegagalan ini mencerminkan bahwa tak mudah membawa buruh yang sebelumnya terkekang sebagai obyek pasif pada masa Orde Baru menjadi subyek aktif dalam kancah politik nasional.
Kontrak politik
Seiring perkembangan gerakan serikat pekerja, buruh kian menyadari pentingnya mengambil posisi dalam kancah politik nasional. Hal ini terlihat sejak Pilpres 2004. Saat itu, buruh telah mengambil sikap politik untuk tidak memilih capres yang berasal dari militer, Orde Baru, ataupun neo-Orde Baru. Secara tidak langsung, kesepakatan ini sekaligus menjadi buah kebijakan politik buruh yang mengarahkan dukungan pada calon-calon tertentu.
Hingga saat ini, buruh kerap kali diposisikan sebagai komoditas politik ketika pemilu, baik pemilu nasional maupun pemilu daerah. Di sisi lain, buruh juga tetap mencoba untuk memainkan posisi sebagai katalisator kebijakan politik. Titik singgung di antara keduanya terlihat dalam pemilu saat buruh menyepakati kontrak politik dengan tokoh yang akan dipilih.
Kontrak politik ini dapat dimaknai dalam dua hal. Pertama, buruh dianggap sebagai komoditas politik yang menjanjikan sehingga aktor politik bersedia menyepakati keinginan para buruh jika sang aktor terpilih sebagai pemimpin dalam pemilu. Kedua, buruh mencoba memainkan peranan sebagai katalisator dan menunjukkan eksistensinya dengan melahirkan kontrak politik pada calon pemimpin.
Dari jejak sejarah panjang yang dimiliki oleh buruh, sulit untuk melepaskan posisi buruh dalam kancah politik nasional. Di masa yang akan datang, dengan segala modal sosial yang dimiliki, buruh akan selalu mencoba memainkan peran sebagai katalisator politik meski tetap dianggap sebagai komoditas oleh sejumlah aktor yang akan bertarung dalam kontestasi politik lokal ataupun nasional. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?