Kapal selam kerap kali dianggap sebagai senjata pamungkas dalam perang di laut. Menengok multifungsinya yang ampuh, banyak negara memilih armada pertahanan ini.
Oleh
Albertus Krisna
·6 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Kapal selam KRI Ardadedali-404 tiba dari Korea Selatan di pangkalan Komando Armada II di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (17/5/2018). KRI Ardadedali-404 merupakan kapal kedua setelah KRI Nagapasa-403 pesanan Pemerintah Republik Indonesia yang diproduksi Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) Korea Selatan.
Tenggelam dan gugurnya 53 awak KRI Nanggala-402 membawa duka mendalam bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kapal selam seperti KRI Nanggala terbukti telah sangat berjasa menjaga kedaulatan negara pada masa-masa awal kemerdekaan.
Sebagai sebuah negara maritim, keberadaan kapal selam sebagai alutsista pertahanan laut telah menjadi keniscayaan. Hal itu ditandai ketika pada masa awal kemerdekaan, Indonesia memiliki kekuatan kapal selam yang massif pada masanya. Tak hanya kapal selam, kapal perang besar pun dimiliki hingga jumlah puluhan. Tak heran periode tahun 1959 hingga 1966 itu kekuatan Angkatan Laut Indonesia berada pada era kejayaan kapal selam dan sangat disegani di kawasan Asia Pasifik.
Dalam tulisan Tradisi TNI Angkatan Laut (Dinas Perawatan Personil TNI AL, 2020) disebutkan Indonesia saat itu telah memiliki 12 kapal selam kelas Whiskey buatan Uni Soviet, yakni RI Tjakra (401), RI Nanggala (402), RI Nagabanda (403), RI Trisula (404), RI Nagarangsang (405), RI Tjandrasa (406), RI Alugoro (407), RI Tjundamani (408), RI Wijayadanu (409), RI Pasopati (410), RI Hendrajala (411), dan RI Bramastra (412).
Dua kapal selam pertama Indonesia diperoleh dari Uni Soviet pada 12 September 1959 dan diberi nama RI Tjakra dan RI Nanggala. Tanggal tersebut kemudian dijadikan hari lahir Korps Hiu Kencana, yaitu korps pasukan militer yang khusus mengawaki kapal selam RI. Di tanggal itu juga berdiri Sekolah Kapal Selam Angkatan Laut (Sekalas) di Surabaya.
Pada akhir 1961 akhirnya dibentuk organisasi Komando Armada Divisi Kapal Selam (Kojenkasel). Pada tahun berikutnya, Kojenkasel dibekali kapal-kapal pendukung, di antaranya RI Ratulangi dan RI Thamrin yang semua dibeli dari Uni Soviet. RI Ratulangi bertugas sebagai kapal induk kapal selam dan RI Thamrin sebagai kapal tender (logistik, perawatan, perbaikan) kapal selam. Kapal-kapal itu spesialis operasi penyelamatan atau Combat SAR (penyelamatan di tengah pertempuran).
Selama masa dinas, tercatat sejumlah misi penting telah dilaksanakan Kojenkasel. Salah satunya keberhasilan dalam Operasi Tjakra-II tahun 1962 menerobos pertahanan musuh dan mendaratkan regu Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di pantai Irian Barat. Dalam bagian dari perintah Presiden Soekarno untuk Tri Komando Rakyat (Trikora), Angkatan Laut mengerahkan tiga kapal selam, yaitu RI Nagarangsang, RI Trisula, dan RI Tjandrasa, ke Irian Barat.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Kapal selam KRI Alugoro-405 yang baru diluncurkan di Dermaga Fasilitas Kapal Selam PT PAL di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (11/4/2019). Kapal selam diesel electric submarine U209/1400 tersebut merupakan kapal selam yang dibangun dengan skema alih teknologi antara Daewoo Shipbuilding Marine And Engineering (DSME) Korea Selatan dan PT PAL Surabaya.
Purnabakti
Jelang tahun 1970, satu per satu kapal selam di Indonesia memasuki masa purbakti. Diawali dari RI Tjakra dan RI Nanggala yang pensiun sejak 12 Desember 1966, kemudian diikuti RI Hendrajala dan RI Alugoro pada 18 Maret 1970. RI Trisula, RI Nagarangsang dan RI Tjandrasa menyusul pensiun pada 25 Mei 1971, begitu juga RI Bramastra pada 24 Juni 1986.
Di sela-sela masa itu, tahun 1979 Pemerintah Indonesia memesan dua kapal selam buatan Jerman Barat. Dua tahun berselang, tepatnya 8 Juli 1981 kapal selam tipe U-209/1.300 tiba di Indonesia dan diberi nama KRI Cakra-401. Tidak lama setelah itu, giliran kapal kedua tiba pada 21 Oktober 1981 dengan nama KRI Nanggala-402. Pada saat itu, kedua kapal selam baru tersebut menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Kehadiran dua kapal selam buatan Jerman Barat sekaligus menunjukkan kehandalan TNI AL karena mengoperasikan kapal selam dari blok kekuatan militer dunia yang berbeda. Pembelian kapal selam itu juga menjadi tonggak pertama kapal perang organik milik armada RI, di mana semua kapal selam sebelumnya adalah bekas negara Uni Soviet.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Kapal selam KRI Ardadedali-404 melintas saat berlangsung Upacara Peringatan Hari Armada RI di Dermaga Koarmada II, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (5/12/2019).
Setelah resmi bergabung dengan TNI AL, KRI Cakra-401 dan KRI Nanggala-402 menjadi andalan Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Pada masa baktinya, sejumlah misi penting berhasil dilaksanakan, salah satunya ketika krisis di Timor Timur akhir tahun 1999. Kala itu keduanya bertugas membayangi armada yang membawa pasukan penjaga perdamaian dari Australia menuju Dili.
Hingga awal 2021, jumlah kapal selam di Indonesia bertambah tiga sehingga total menjadi lima unit. Kapal selam baru tersebut merupakan kerja sama antara perusahaan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering Co Ltd (DSME) Korea Selatan dan PT PAL (Persero). Sebanyak dua kapal dibuat di Korea Selatan dan satu kapal dibuat di Indonesia.
Mirip dengan KRI Cakra dan KRI Nanggala, tiga kapal selam baru ini juga memiliki spesifikasi yang sama. Mereka termasuk dalam kapal selam tipe U209/1.400 diesel elektrik dengan panjang 61,3 meter dan kecepatan selam maksimal 21 knot. Berturut-turut ketiganya diresmikan tahun 2017, 2018, dan 2021 dengan nama KRI Nagapasa-403, KRI Ardadedali-404, dan KRI Alugoro-405.
Ujung tombak
Kapal selam kerap kali dianggap sebagai senjata pamungkas dalam perang di laut. Armada ini adalah platform serbaguna yang mampu menyerang kapal di permukaan air, melakukan perang antikapal selam (ASW), menyebar ranjau, dan sebagian armada turut dilengkapi rudal untuk menyerang sasaran di daratan.
Menengok multifungsinya yang ampuh, banyak negara memilih armada pertahanan ini. Di laman resmi Global Firepower disebutkan, hingga tahun 2020 tercatat ada total 516 kapal selam yang dioperasikan 41 negara, meningkat dari 416 kapal selam pada 2013. Terbanyak ditemukan di China dengan 79 unit, Amerika Serikat 68 unit, Rusia 64 unit, dan Korea Utara 36 unit.
Tidak hanya dimiliki negara adidaya, kepemilikan kapal selam kini di negara seluruh penjuru benua, seperti Asia (Iran, Algeria, Israel), Amerika Latin (Argentina, Brasil, Chile, Kolombia), begitu juga Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh, dan Myanmar).
Meski demikian, meningkatnya jumlah kapal selam belum tentu mencerminkan meningkatnya ancaman atas suatu negara. Dalam tulisan The Race to The Bottom (Jan Joel A., 2015) disebutkan setidaknya ada tiga hal yang dinilai.
KOMPAS/PURNAMA KUSUMANINGRAT
Kapal selam RI Pasopati, salah satu kapal selam milik TNI AL, ikut muncul bersama beberapa kapal perang lainnya pada Hari Armada, Jumat, 5 Desember 1975, di Surabaya. RI Pasopati merupakan kapal selam generasi awal dari Satuan Hiau Kencana TNI AL. Kapal ini sekarang dijadikan museum di Surabaya.
Pertama, jumlah dan usia armada. Kekuatan kapal selam yang efektif membutuhkan standar jumlah armada minimal empat. Jika kurang dari itu, tidak akan memberikan kesempatan yang cukup untuk pelatihan awak kapal, penempatan patroli reguler, dan pemeliharaan rutin agar unit selalu prima ketika dibutuhkan sewaktu-waktu. Persyaratan ini yang belum dipenuhi sejumlah negara. Terlebih sebagian dari mereka masih mengoperasikan armada berusia sangat tua.
Kedua, pemeliharaan. Salah satunya terkait dengan lingkungan bawah laut di negara tropis dengan salinitas dan suhu air laut lebih tinggi. Kondisi ini dapat meningkatkan korosi, khususnya pada armada yang dirancang untuk iklim utara yang lebih dingin dan tidak terlalu korosif. Sementara tidak semua negara mampu memelihara kapal selam dengan sistem yang kompleks. Oleh karena itu, tidak jarang mangkrak karena harus dirawat di luar negeri dalam waktu lama dengan biaya mahal.
Ketiga, pelatihan dan pengembangan. Proses pelatihan awak kapal selam sangat sulit dan memakan banyak waktu. Agar memenuhi syarat, awak harus mengikuti pelatihan intensif satu hingga dua tahun. Namun, agar dapat menguasai semua sistem dan mampu beroperasi di laut secara efektif setidaknya dibutuhkan enam tahun pelatihan. Sementara seorang kapten kapal selam dengan tingkat keterampilan tertinggi membutuhkan 10 hingga 15 tahun.
Berbeda dengan awak kapal permukaan yang dapat mempraktikkan keterampilannya di berbagai kapal, awak kapal selam hanya dapat berlatih efektif di satu kapal selam yang sama. Meski terdapat simulator, banyak keterampilan kapal selam yang hanya dapat dipelajari di armada tertentu secara langsung. Karena terbatasnya jumlah kapal selam, membuat ketersediaan awak kapal selam terlatih juga sangat terbatas.
Menengok tiga hal di atas, menjadi sebuah berita yang sangat menyedihkan ketika KRI Nanggala-402 dinyatakan subsunk atau tenggelam pada Sabtu, 24 April 2021. Semua awak kapal sebanyak 53 orang gugur di utara perairan utara Bali. Mereka semua adalah prajurit terbaik TNI AL yang siap menjaga kedaulatan negara ini. Selamat jalan patriot, selamat melaksanakan patroli abadi di laut Indonesia. (LITBANG KOMPAS)