Perlu Menepis Kekhawatiran Lingkungan di IKN
Perpindahan ibu kota dikhawatirkan akan membuat lingkungan alam Kalimantan semakin rusak.
Meski proyek pembangunan fisik belum sepenuhnya berjalan, sebagian publik lokal sudah mengkhawatirkan dampak negatif dari pembangunan ibu kota negara atau IKN di Kalimantan Timur.
Hal tersebut terungkap dari jajak pendapat Kompas akhir Maret 2021 lalu. Tiga perempat lebih responden mengkhawatirkan perpindahan ibu kota akan membuat lingkungan alam Kalimantan semakin rusak.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Setengah abad terakhir, penyusutan hutan di Kalimantan terjadi sedemikian masif. Sementara Kalimantan merupakan bagian dari hutan tropis Indonesia yang tercatat sebagai kawasan hutan terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Zaire.
Tahun 2018, tercatat dalam Statistik Kehutanan, luas hutan yang beralih fungsi mencapai 149.000 hektar. Jenis hutannya merupakan hutan dipterokarpa (jenis tanaman keras untuk komersial) dataran rendah, hutan lahan tinggi, mangrove, dan gambut.
Sementara alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan nonhutan banyak terjadi di Kaltim. Data KLHK, deforestasi hutan di Kaltim (2017-2018) mencapai 44.709,8 hektar (ha). Deforestasi tertinggi terjadi di areal penggunaan lain (29.946,5 ha), disusul di hutan produksi tetap (12.378,7 ha), dan di hutan konservasi (2.518,1 ha).
Penyusutan lahan hutan juga terjadi di kawasan mangrove. Data Forest Watch Indonesia, luasan mangrove di Teluk Balikpapan masih 17.620 ha. Tahun 2018, luasnya menurun menjadi 16.520 ha. Pengamatan Kompas awal Maret lalu, mangrove di beberapa lokasi di Teluk Balikpapan telah beralih fungsi menjadi kawasan industri, seperti industri pasca-pertambangan batubara.
Selama setengah abad, kekayaan alam Kalimantan yang berlimpah tersebut telah banyak dieksploitasi. Dimulai dari aktivitas penebangan kayu hutan sekitar tahun 1970-an, kemudian perkebunan sawit sekitar satu dekade berikutnya.
Di tingkat masyarakat lokal, dampak aktivitas perkebunan terhadap degradasi lingkungan salah satunya diungkapkan Heriyanto (57), warga Desa Tengin Baru, Kecamatan Sepaku, Kaltim. Dia menyebutkan, lokasi calon ibu kota baru ini rawan kekurangan air.
Saat ini saja, menurut Heriyanto, kebutuhan air bersih Kecamatan Sepaku ditopang dengan jaringan perpipaan SPAM Tengin Baru yang melayani sekitar 9.000 keluarga di Kecamatan Sepaku. Padahal, 20 tahun yang lalu, Sepaku cukup berlimpah air permukaan. Kondisi tersebut berbalik 180 derajat sejak perkebunan sawit mulai masuk ke Kecamatan Sepaku sekitar tahun 2000.
Bersamaan dengan itu, muncul aktivitas pertambangan batubara, bijih besi, dan bahan galian C. Pertambangan ini juga berkontribusi pada proses deforestasi di Kalimantan. Jutaan hektar lahan hutan beralih fungsi menjadi areal tambang yang terus-menerus digali.
Deforestasi
Deforestasi menjadi persoalan serius karena dampak nyata yang ditimbulkannya, yaitu memengaruhi pasokan air yang masuk ke air permukaan (sungai/bendungan/danau) dan cadangan air tanah. Hal inilah yang membuat Kaltim mengalami defisit air.
Kekurangan air bersih pun mencakup Kaltim. Kementerian PUPR mencatat, Kaltim defisit air hingga 919 liter per detik pada 2018. Ketersediaan air baku sebesar 8.079 liter per detik belum bisa memenuhi kebutuhan air baku warga sebanyak 8.968 liter per detik. Diperkirakan hingga tahun 2024, jika ketersediaan air tidak ditambah, defisit akan semakin besar, menjadi 1.568 liter per detik, seiring kenaikan populasi.
Defisit air bersih merupakan sebuah ironi karena sebagian besar wilayah Kaltim merupakan penyedia air bersih kategori tinggi dan sangat tinggi. Bentang alam Kaltim dialiri oleh 31 daerah aliran sungai (DAS) dan mempunyai luasan tutupan hutan tertinggi se-Kalimantan (5,2 juta ha).
Luasan areal hutan akan menjadi kawasan resapan air yang cukup besar untuk mengaliri sungai dan mengisi cadangan air tanah. Selain itu, ada kawasan karst dengan luasan terbesar se-Kalimantan (470.000 ha), yang berperan penting untuk menjamin pasokan air melalui sungai bawah tanah dan mata air.
Sayangnya, potensi air yang berlimpah tersebut tidak bisa langsung dikonsumsi masyarakat karena pencemaran. Pencemaran air karena limbah rumah tangga, limbah industri, sedimentasi alami, dan tumpahan batubara dari tongkang pengangkut batubara banyak ditemukan di aliran Sungai Mahakam serta perairan Teluk Balikpapan.
Tak hanya itu, tingkat deforestasi hutan yang tinggi juga berdampak pada tingginya sedimentasi di sungai dan bendungan. Sedimentasi inilah yang membuat kapasitas air permukaan berkurang sehingga terjadi banjir.
Dampak lain yang muncul dari deforestasi adalah semakin berkurangnya populasi satwa endemik Kalimantan. Sebut saja mamalia laut pesut di perairan Teluk Balikpapan. Data terakhir Yayasan Konservasi RASI, pesut hanya tersisa 73 ekor. Mamalia lain yang tinggal di hutan Kalimantan juga terancam habitatnya. Bekantan, orangutan, dan beruang madu, misalnya, kini berstatus terancam punah.
Padahal, Kalimantan juga memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang merupakan endemik lokal. Paling tidak ada 420 spesies burung, 222 spesies mamalia, 13 primata, 25 mamalia laut, dan 1 sirenian (sapi laut).
Adapun kekayaan flora Kalimantan mencakup 10.000-15.000 spesies tanaman berbunga, 3.000 jenis pohon berkayu, 2.000 spesies anggrek, dan 1.000 spesies pakis. Ekosistem yang terbentuk pun bervariasi, mulai dari mangrove, dipterokarpa, karst, pegunungan riparian, gambut, hingga danau dan pantai.
Meragukan reforestasi
Gambaran problem lingkungan serius yang sudah terjadi di Kalimantan tak urung memunculkan kegamangan publik meski ibu kota baru direncanakan akan dibangun dengan konsep kota hutan. Konsep ini berupa 75 persen wilayah IKN merupakan kawasan hijau. Lokasi inti yang merupakan bekas hutan tanaman industri akan akan dihijaukan kembali.
Kabar baik dari rencana itu tampaknya masih berkelindan dengan wajah buruk kondisi saat ini, dengan laju deforestasi hutan lebih cepat dibandingkan proses penanaman kembali. Di Kaltim, deforestasi 2017-2018 mencapai 44.709 ha, sedangkan reboisasi pada 2020 hanya 3.700 ha. Selain itu, proses reboisasi juga membutuhkan waktu lama, yang nantinya akan berpacu dengan proses pembangunan sarana penunjang ibu kota negara.
Pesimisme juga diungkapkan oleh salah satu suku Dayak, yakni Dayak Paser Mului, yang tinggal di Gunung Lumut, di barat daya lokasi inti IKN. Masyarakat Mului mengkhawatirkan hutan adatnya akan berubah menjadi seperti Jakarta yang banyak gedung. Sebelum rencana pemindahan ibu kota disuarakan pun, fakta menunjukkan bahwa hutan adat Mului telah beralih fungsi menjadi perkebunan, usaha kayu, dan tambang.
Baca juga : Problem Kritis di Air Bersih
Tak heran, publik masih terbelah dalam menilai dampak lingkungan dari pembangunan IKN. Sebanyak 44,5 persen pesimistis dan di sisi lain 46,2 persen optimistis bahwa pemerintah akan serius dengan upaya reboisasi di calon ibu kota negara serta mewujudkan konsep kota hutan yang ideal bagi masyarakat dan lingkungan.
Di tengah pandemi yang masih berkecamuk, saatnya pemerintah menepis kekhawatiran baik warga lokal maupun luar Kaltim tentang IKN melalui komunikasi massa, perencanaan yang matang, dan tahap pembangunan yang mencerminkan kepedulian pada lingkungan hidup. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Membendung untuk Surplus Air Bersih