Bertahan Hidup dari Bencana dengan Siskamling dan Kentongan
Adaptasi komunal dan kearifan lokal perlu terus dilestarikan untuk menekan dampak bencana alam di Indonesia.
Bagi masyarakat yang hidup di wilayah rawan bencana, adaptasi mitigasi bencana dibutuhkan untuk menghadapi situasi darurat dan menekan jumlah korban jiwa. Implementasi kearifan lokal berbasis mitigasi bencana, seperti siskamling dan kentongan, membawa banyak kisah sukses di Indonesia.
Sebuah kisah sukses penyelamatan puluhan nyawa di tengah gempa bumi terjadi di Kabupaten Lebak, Banten, pada Januari 2018 lalu. Saat itu, seorang warga Desa Cireundeu bernama Supardi menyadari bencana gempa saat sepeda motor miliknya tiba-tiba jatuh. Secara spontan, ia kemudian memukul kentongan untuk memperingatkan warga.
Bunyi keras kentongan yang menggema ke semua penjuru desa disambut warga dengan berlarian keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Alhasil, tidak ada korban jiwa di desa tersebut, padahal kekuatan gempa mencapai M 6,1 dan menyebabkan lebih dari 1.000 rumah rusak.
Kisah lainnya, kentongan menjadi satu-satunya alat peringatan terjadi bencana gempa bumi di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 17 Desember 2017. Saat itu, kentongan menjadi sarana komunikasi setelah pengeras suara dari masjid tidak berfungsi karena listrik padam setelah terjadi guncangan gempa.
Selain kentongan, kebermanfaatan kearifan lokal juga muncul dari sistem keamanan lingkungan (siskamling). Kegiatan ronda tersebut dirasakan manfaatnya oleh warga Desa Waisika, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
Siskamling menyelamatkan banyak warga Desa Waisika, NTT, sesaat sebelum diterjang banjir bandang pada 4 April 2021 lalu sebagai imbas dari siklon Seroja. Soleman Kamenglet, salah seorang ketua RT di Desa Waisika, segera berlari ke rumah-rumah warga, menggedor pintu, dan berteriak keras membangunkan warganya.
Saat itu banjir tiba-tiba naik drastis dalam waktu singkat hingga setinggi paha orang dewasa. Ia mengajak warganya lari ke arah pegunungan di tengah guyuran hujan. Soleman berhasil menyelamatkan 85 warganya dari hantaman banjir bandang yang membawa material pepohonan hingga bebatuan dari atas pegunungan.
Tiga kisah tersebut menjadi refleksi penanganan bencana skala komunitas yang sangat efektif dan dapat dilakukan di Indonesia. Siskamling yang melibatkan beberapa warga untuk berjaga sepanjang malam menjadi metode efektif untuk memberi peringatan mengingat kejadian bencana yang dapat terjadi kapan saja. Sementara kentongan berfungsi sebagai alat komunikasi darurat skala lokal.
Efek kentongan dianggap mampu membuat warga untuk terjaga, waspada, dan langsung diterima oleh siapa pun saat itu juga. Berbeda dengan diseminasi informasi darurat melalui ponsel yang sering kali tidak efektif. Bisa saja informasi tersebut terkirim, tetapi ponsel sedang dimatikan atau dalam kondisi mode senyap.
Peran penting siskamling dan kentongan semakin penting saat banyak alat peringatan dini bencana rusak, seperti yang terjadi di Banyuwangi dan Jember, Jawa Timur. Setidaknya ada sembilan sistem peringatan dini tsunami Banyuwangi, serta tujuh alat di Jember, yang sebagian besar rusak dan tidak berfungsi.
Komunikasi komunal
Komunikasi menjadi medium penting penyebaran informasi di tengah masyarakat. Berdasarkan KBBI, komunikasi merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan atau berita di antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.
Atas dasar pemahaman publik yang beragam, bentuk komunikasi sangat penting diturunkan hingga level komunal, seperti keluarga dan desa. Bentuk komunikasi level komunal tentu akan beragam implementasinya, salah satunya adalah menggunakan simbol dan kode untuk menandakan situasi darurat.
Masyarakat Indonesia memiliki banyak bentuk kode bunyi-bunyian sebagai tanda darurat, contohnya menggunakan kentongan. Dilansir dari Portal Literasi Sejarah Bencana BNPB, kentongan didefinisikan sebagai alat yang digunakan dalam mitigasi bencana secara tradisional. Bahan yang lazim dipakai untuk membuat kentongan adalah kayu atau bambu.
Keterkaitan manusia dengan kentongan telah terjalin lama. Sebuah artikel ”Makna Lambang dan Simbol Kentongan dalam Masyarakat Indonesia” (2007) dalam Jurnal Historia Vitae menyebut bahwa kentongan termasuk ciri komunikasi manusia menggunakan media, simbol/kode, atau alat tertentu, yang kemudian disebut sebagai animal symbolicum.
Kentongan menjadi alat yang digunakan untuk memberikan informasi tentang sesuatu hal atau kejadian dengan cara memukul sesuai kode-kode yang telah disepakati oleh masyarakat. Setiap wilayah dapat memiliki kode bunyi yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 5/INST/1980 tentang tanda bunyi kentongan. Kode bunyi kentongan dibagi menjadi enam jenis, yaitu saat keadaan aman, keadaan siap atau waspada, ada kejahatan khusus, kejahatan besar, bencana alam, dan kabar duka kematian.
Keberadaan kentongan memang tidak terlepas dari kehidupan masyarakat tradisional di Indonesia. Selain kentongan, istilah lain yang sepadan adalah kohkal dari Jawa Barat, gul-gul di Madura, dan kulkul di Bali. Setiap kali dibunyikan, masyarakat akan dengan saksama menghitung tabuhannya yang memiliki pesan tersirat.
Kentongan sebagai alat menyampaikan kondisi darurat tidak lepas dari kegiatan siskamling masyarakat. Kegiatan siskamling lazim dilakukan di tengah masyarakat desa, biasanya dimulai malam hari hingga menjelang pagi.
Siskamling berperan penting menjaga keamanan lingkungan sekitar karena saat warga tertidur, ada petugas jaga yang berkeliling desa. Apabila tiba-tiba didapati kondisi darurat, dengan cepat petugas jaga akan memberikan peringatan melalui kentongan yang dipukul dengan kode khusus, tergantung dari jenis informasinya.
Kesiapsiagaan komunitas
Dalam konteks kebencanaan atau situasi darurat lain, kesiapsiagaan menjadi salah satu faktor penentu dalam kerugian yang ditimbulkan. Apabila mitigasi bencana disusun dalam jangka waktu panjang, kesiapsiagaan adalah respons singkat masyarakat sesaat sebelum terjadi bencana.
Respons masyarakat yang dapat dipantau saat tanda-tanda bencana mulai muncul menjadi bukti telah terbangunnya kapasitas komunal. Definisi komunal dalam manajemen kebencanaan tentu beragam, mulai dari berdasarkan kesukuan, kekeluargaan, hingga satuan administratif tertentu. Urgensi kesiapsiagaan komunitas dapat disederhanakan hingga level desa mengingat level wilayah terdampak bencana yang luas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 59,87 persen desa di Indonesia terpapar bencana alam sepanjang 2016-2018. Jenis bencana yang menimpa banyak desa adalah banjir (30,57 persen), tanah longsor (15,84 persen), gempa bumi (15,64 persen), kekeringan (13,28 persen), dan angin puyuh/topan (11,21 persen).
Baca juga: Minimnya Mitigasi Bencana di Wilayah Kepulauan
Hidup di lokasi rawan bencana memang memiliki konsekuensi besar bagi setiap individu. Kajian risiko berbagai bencana BNPB di Indonesia turut menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Tercatat lebih dari 255 juta jiwa berpotensi terpapar bencana. Nilai kerugian aset ditafsir lebih dari Rp 650 triliun, sementara kerugian ekonominya sebesar Rp 480 triliun.
Kejadian bencana di Indonesia adalah keniscayaan mengingat posisi geologis dan geografisnya yang memang rentan. Dibutuhkan adaptasi komunal dan menggali kembali kearifan lokal untuk menekan dampak bencana, seperti siskamling dan kentongan. Kisah sukses siskamling dan kentongan yang berhasil menyelamatkan penduduk dari bencana menjadi bukti mitigasi lokal yang efektif bagi masyarakat Indonesia. (LITBANG KOMPAS)