Ramadhan, Bung Karno, dan Perjuangan Revolusi
Sejarah merekam, momentum Ramadhan juga diwarnai pergolakan mempertahankan kemerdekaan. Dari upaya diplomasi hingga pertumpahan darah.
”Selama beberapa lamanya dalam bulan suci ini, musuh kita bangsa penjajah Belanda, bangsa reaksioner Belanda, menyerang kita.... Jadikanlah setiap rumah pertahanan. Jadikanlah setiap hutan, sungai, parit-parit, pertahanan kita,” ujar Soekarno, 24 Juli 1947 (Pramoedya, dkk, 2001).
Pidato ini disampaikan Presiden Soekarno pada pekan pertama bulan Ramadhan tahun 1947. Seharusnya, umat Islam di Indonesia tengah bersukacita menyambut kedatangan bulan suci. Namun, Belanda melakukan agresi militer dan menduduki kota-kota penting sejak hari pertama pelaksanaan ibadah puasa.
Pada lustrum pertama kemerdekaan, bulan Ramadhan memang dilalui masyarakat Indonesia dengan perjuangan tumpah darah. Seluruh lini bergerak untuk menuntaskan agenda revolusi, baik secara diplomasi maupun pertempuran bersenjata.
Bulan Ramadhan memang kerap memiliki catatan sejarah tersendiri dalam perjalanan republik. Setelah disisipi oleh ragam kepentingan politik kolonial terkait beberapa kebijakan selama Ramadhan saat merdeka Indonesia mesti kembali berhadapan dengan sekelumit kisah perjuangan saat menjalankan ibadah puasa.
Kisah ini dimulai dari rangkaian peristiwa Rengasdengklok, proklamasi kemerdekaan, hingga sidang PPKI yang seluruhnya terjadi di bulan Ramadhan. Di tengah pelaksanaan ibadah puasa, seluruh agenda dalam pendirian republik tetap dilakukan dengan khidmat.
Momen puasa di tengah persiapan kemerdekaan ini bahkan masih terkenang dalam ingatan Soekarno. Kepada Cindy Adams, wartawan dari Amerika Serikat, Soekarno berkisah tentang tindakan yang dilakukannya setelah ditunjuk sebagai presiden pada 18 Agustus 1945. Seusai sidang PPKI dan dalam perjalanan pulang, Soekarno memutuskan membeli sate.
”Aku jongkok di sana dekat got dan tempat sampah dan menyantap sate dengan lahap. Itulah seluruh pesta perayaan terhadap kehormatan yang kuterima,” kenang Soekarno.
Namun, euforia ini tidak berlangsung lama. Segera setelah bulan Ramadhan berakhir dan pemerintahan terbentuk, Indonesia harus berhadapan dengan pertempuran pada tahun-tahun berikutnya.
Jika Perang Diponegoro pada tahun 1830 berhenti karena pelaksanaan ibadah puasa, maka situasinya amat berbeda pada tahun-tahun awal kemerdekaan. Tiada ada kata untuk gencatan senjata. Serangan bahkan dilakukan pada awal bulan Ramadhan atau saat-saat menjelang buka puasa.
Baca juga: Ramadhan dan Siasat Politik Pemerintah Kolonial
Perlawanan
Suasana Ramadhan selama periode revolusi salah satunya terekam dalam catatan Frans Goedhart, seorang wartawan dan anggota parlemen Belanda yang berkunjung pada perayaan perdana kemerdekaan Indonesia di tengah bulan Ramadhan pada Agustus 1946. Menurut Goedhart, di Belanda ramai tersiar kabar bahwa telah terjadi kerusuhan di pedalaman Jawa. Namun, ia cukup heran ketika menginjakkan kaki di tanah Jawa karena kondisi yang ditemukan justru sebaliknya.
”Saya telah mempersaksikan sendiri keadaan di sini. Tidak ada tanda-tanda terjadinya perampasan rumah, pembunuhan, ataupun kerusuhan-kerusuhan,” kata Goedhart seperti yang direkam oleh Pramoedya Ananta Toer dan beberapa penulis lainnya dalam buku Kronik Revolusi Indonesia Jilid II (1999).
Pandangan dari Goedhart ini dapat dipahami dari dua sudut pandang. Pertama, kondisi saat itu yang memang dalam keadaan tenang dalam suasana bulan Ramadhan. Di tengah perayaan hari kemerdekaan dan pelaksanaan ibadah puasa, wajar jika tidak terlihat adanya pertumpahan darah meskipun perjuangan banyak dilakukan secara diam-diam oleh tentara republik.
Kedua, dari sisi seorang Belanda, bisa saja komentar yang diutarakan saat itu bertujuan untuk menutupi kondisi sesungguhnya sehingga memberikan pesan ketenangan pada dunia internasional. Kenyataannya, sebelum Goedhart mengemukakan pandangannya tentang kondisi Indonesia, telah terjadi sejumlah serangan yang menewaskan banyak penduduk.
Serangan ini salah satunya terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 7 Agustus 1946. Saat itu, di tengah bulan Ramadhan, dua pesawat pemburu Inggris menyerang wilayah Tasikmalaya dengan senapan mesin yang menewaskan 15 orang.
Pasukan Inggris memang telah berada di Indonesia sejak 1945 yang awalnya bertugas untuk membebaskan tahanan perang bangsa Eropa dan memulangkan tentara Jepang. Namun, kehadiran Inggris saat itu menimbulkan sejumlah perlawanan, salah satunya adalah karena sejumlah senjata yang coba diamankan telah dikuasai oleh pemuda Indonesia.
Artinya, sejak bulan Ramadhan pertama di era kemerdekaan, masyarakat telah mulai dihadapi oleh pertempuran berdarah. Kondisi ini semakin mencekam setelah Belanda melancarkan agresi militer pada Juli 1947 atau pada permulaan bulan Ramadhan.
Sejumlah aksi telah dilakukan oleh Belanda di Jakarta pada dua hari pertama bulan Ramadhan. Di Jakarta, misalnya, pada 20 Juli 1947 pasukan di bawah komando Belanda mulai menduduki kantor dan gedung instansi yang sebelumnya telah berada di bawah penguasaan Indonesia. Keesokan harinya, sejumlah serangan silih berganti dilakukan oleh Belanda untuk menduduki satu per satu wilayah, terutama di Pulau Jawa.
Serangan yang dilancarkan oleh Belanda memiliki beberapa tujuan, salah satunya adalah memukul mundur tentara republik untuk kembali menguasai Indonesia. Namun, sepanjang bulan Ramadhan pada tahun 1947, perlawanan terus dilakukan oleh para pemuda dan tentara Indonesia.
Perlawanan salah satunya dilakukan di Sumedang, Jawa Barat, pada sore hari jelang berbuka puasa pada tanggal 23 Juli 1947. Sayangnya, upaya mempertahankan wilayah mengalami kendala karena pasukan tentara Indonesia saat itu kalah dalam persediaan senjata.
Hingga 1949, sejumlah perlawanan kerap diberikan oleh masyarakat pada berbagai daerah di tengah ibadah puasa yang dijalankan. Tidak ada pilihan selain berusaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia hingga titik daerah penghabisan.
Baca juga: Yogyakarta dan Pesan Kemerdekaan Soekarno
Diplomasi
Selain perlawanan, cara diplomasi juga ditempuh oleh Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan di tengah-tengah pelaksanaan ibadah puasa. Strategi ini pernah dilakukan oleh Indonesia saat memberikan bantuan beras kepada India.
Pada 20 Agustus 1946, atau memasuki pekan terakhir bulan Ramadhan, penyerahan bantuan beras secara simbolik turut disaksikan oleh Mohammad Hatta bersama rombongan wartawan di Pelabuhan Probolinggo, Jawa Timur.
Diplomasi beras ini dilakukan pada saat Indonesia masih berupaya untuk membangkitkan perekonomian sebagai negara yang baru merdeka. Selain tujuan kemanusiaan, diplomasi ini dilakukan agar Indonesia mampu menembus blokade ekonomi yang saat itu dilakukan oleh Belanda.
Diplomasi lainnya juga pernah dilakukan pada 22 Juli 1947 di tengah pelaksanaan ibadah puasa dan agresi militer Belanda. Menyikapi kemelut yang dihadapi, Indonesia melalui Perdana Menteri Amir Sjarifuddin meminta kepada menteri luar negeri Australia untuk memperkuat bantuan guna menghentikan pertumpahan darah di Indonesia.
Saat itu, Indonesia memang berusaha mencari bantuan dunia internasional untuk menghadapi serangan dari Belanda. Beberapa hari setelah pernyataan Amir Sjarifuddin, giliran Soekarno yang melakukan hal serupa. Secara tegas, Soekarno berseru kepada Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman agar menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan peperangan di Indonesia.
Baca juga: Damai di Kala Beda, Kisah Perdebatan Para Pendiri Bangsa
Pidato Soekarno
Soekarno, sebagai kepala negara memang kerap mengeluarkan pernyataan yang menggetarkan musuh dan menyulut semangat persatuan selama periode revolusi. Pada perayaan kemerdekaan pertama tahun 1946, misalnya, di tengah suasana Ramadhan dan perjuangan revolusi, Soekarno dengan tegas menyampaikan pidato yang mempersatukan semangat bangsa Indonesia.
”Kita cinta damai, tetapi lebih lagi cinta kemerdekaan. Kita memelihara perdamaian sampai batas yang sejauh-jauhnya, tetapi kalau kita diperkosa oleh pihak Belanda, kita akan melawan!” kata Soekarno.
Pernyataan ini disampaikan Soekarno untuk membangkitkan daya juang para pemuda Indonesia. Menurut Soekarno, perjuangan harus terus dilakukan dengan beragam cara untuk mempertahankan kemerdekaan. ”Siapa ingin memelihara mutiara, harus ulet menahan nafas, dan berani terjun menyeberangi samudera yang sedalam-dalamnya,” kata Soekarno.
Melalui pidatonya di Radio Republik Indonesia (RRI), Soekarno juga mencoba untuk membangkitkan semangat persatuan melalui pidatonya di sela-sela agresi militer Belanda pertama dan pelaksanaan ibadah puasa pada tahun 1947. Dalam pidatonya, Soekarno menyerukan agar seluruh rakyat bersatu untuk menjaga pertahanan pada segala lini.
”Ingatlah kata almarhum Abraham Lincoln, kalau perbudakan itu keadilan, maka tidaklah ada keadilan di dunia ini. Maka kita bertanya, jikalau penjajahan bukan keadilan, maka di dunia ini tidak ada keadilan,” ujar Soekarno sembari membangkitkan semangat para pendengar RRI saat itu.
Pidato ini ternyata memperoleh perhatian yang luar biasa dari masyarakat di Aceh. Bahkan, pejabat penerangan di Aceh segera mencetak isi pidato Soekarno sebanyak 15.000 lembar dan menyebarkannya hingga ke berbagai pelosok.
Pidato Soekarno, upaya diplomasi, dan pertumpahan darah selama bulan Ramadhan di tengah kecamuk revolusi adalah bukti bahwa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dilakukan tanpa mengenal waktu.
Di tengah pelaksanaan ibadah puasa, perjuangan terus dilakukan hingga akhirnya membuahkan hasil berupa pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?